Mohon tunggu...
Josef H. Wenas
Josef H. Wenas Mohon Tunggu... Administrasi - Not available

Not available

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Lobi Vatikan” di Indonesia?

11 Juli 2015   09:53 Diperbarui: 11 Juli 2015   09:53 2138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 8 Mei 1807 raja Louis Napoleon mencapai kesepakatan dengan Roma untuk mendirikan Prefektur Apostolik di Hindia-Belanda. Dua orang imam Diosesan tiba di Batavia: Jacobus Nelissen yang kemudian menjadi Prefek Apostolik pertama di Hindia-Belanda, dan Lambertus Prinsen.

Perlahan-lahan mulai ada perkembangan jumlah imam, dari 5 orang di zaman Daendels (1808-1811), menjadi 50 orang di penghujung abad itu. Akan tetapi misi di wilayah Yogyakarta masih tertutup bagi Gereja Katolik. Keadaan mulai berubah sejak seorang imam Yesuit bernama Frans van Lith tiba di Muntilan tahun 1896. Di ujung tahun 1904, mata air Sendangsono di ketinggian perbukitan Menoreh menjadi simbol mulai berkembangnya Gereja Katolik di wilayah ini sejak pembaptisan 171 orang Katolik yang pertama oleh van Lith. Umat Katolik mulai berkembang, dan misi pendidikan menjadi salah satu sarana berbagi cinta kasih Tuhan bersama rakyat. Kader-kader intelektual dari kaum pribumi terus digodok dan didorong maju melalui pendidikan di pusat Muntilan.

Nama-nama seperti Albertus Soegijapranata, Adrianus Djajasepoetra, Ignatius Joseph Kasimo, C.L. Soepardjo dan R.M. Jakob Soedjadi, Frans Seda adalah kader-kader Muntilan didikan Pastor van Lith yang di kemudian hari berada sangat dekat disekitar Soekarno, mereka ikut membela kepentingan bangsa Indonesia melalui motto “100% Katolik, 100% Indonesia”.

Sikap van Lith memang tegas. Seperti dalam artikelnya di majalah Studien, 1922, tentang “De Politiek Van Nederland Ten Opzichte Van Nederlandsch-Indie” dimana dia sudah memecah antara Negeri Belanda vis-à-vis Hindia-Belanda, Pastor Belanda ini menulis: “Kulit putih tidak dapat lagi bertahan di Asia. Sangatlah berbahaya bermain api, untuk berlagak congkak terhadap bangsa Hindia Belanda. Akuilah hak mereka…”

Lebih keras lagi, van Lith juga yang menyerukan agar Volksraad dipecah menjadi stelsel dua kamar untuk menghindari dominasi orang-orang Belanda duduk disitu, tetapi usulannya ditolak. Dia sendiri menjadi anggota Herzienings-Commissie yang dibentuk tahun 1918 untuk mempersiapkan suatu ketatanegaraan baru, dan kemudian mendorong kader-kader pribuminya seperti I.J. Kasimo aktif berjuang melalui dewan rakyat itu.

“Bahwa semua orang kini tahu bahwa kami para misionaris ingin bertindak sebagai penengah. Tetapi, semua juga tahu, jika akhirnya sampai terjadi perpecahan, para misionaris terpaksa memilih untuk berpihak kepada golongan pribumi,” tulis van Lith di artikel itu. Pemerintah kolonial Belanda memang kurang suka pada pastor “penghianat” ini.

Alam pikir seperti inilah yang menyebabkan Soekarno dan para pemimpin kaum Republik lainnya sangat dekat dengan para kader Frans van Lith di masa itu, yang memiliki ideologi dan sikap politik jelas dan tegas berpihak kepada mereka yang tertindas dan terjajah.

Suatu option for the poor yang mau merasul dan merangkul kegelisahan-kegelisahan rakyat kecil.

****

TERCATAT empat orang Presiden Indonesia pernah bertemu dan bahkan mengunjungi Paus di Vatikan.

Presiden Soekarno bertemu tiga Paus yang berbeda di Vatikan. Pertama kali dia ke Roma mengunjungi Paus Pius XIII pada 13 Juni 1956, kemudian Soekarno bertemu Paus Yohanes XXIII tanggal 14 Mei 1959 dan yang terakhir dikunjunginya di Vatikan adalah Paus Paulus VI, tanggal 12 Oktober 1964.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun