Oleh Josef H. Wenas
KITA bicara suasana genting di bulan Juli 1947. Indonesia masih dalam “kekacauan” revolusi. Pengakuan internasional terhadap kemerdekaan maupun tata organisasi pemerintahan masih payah betul. Perjanjian Roem-van Roijen, perjanjian Renville belum terjadi, jangan lagi bayangan Konferensi Meja Bundar yang hasilnya adalah pengakuan kedaulatan [terhadap Republik Indonesia Serikat]. Masih gelap segalanya.
Baru ada perjanjian Linggarjati, telah ditandatangani 25 Maret 1947, yang pelaksanaannya terseok-seok hantaman kecaman dan kritik dari berbagai faksi politik. Celakanya, ternyata tanggal 21 Juli Belanda menghianati Linggarjati, menggempur posisi Republik melalui Agresi Militer I yang berlangsung sampai 5 Agustus tahun itu. Lebih sial lagi, Kabinet Sutan Sjahrir ke-III baru saja jatuh sebulan sebelumnya, 27 Juni 1947.
Dalam suasana gelisah begini, di bulan Desember 1947 itu juga, Apostolic Delegate Vatikan yang pertama mulai bekerja di Jakarta dibawah pimpinan Mgr. G.M.J.H. Ghislain de Jonghe d’Ardoye. Vatikan adalah negara Eropa pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia, 6 Juli 1947, atau sebagai negara kedua di dunia setelah Mesir melakukannya sebulan sebelumnya, 10 Juni 1947.
Kenapa Vatikan mau ikut-ikutan solidaritas bersama kaum Republik yang hampir tanpa harapan untuk mengusir kolonialisme Belanda pergi selamanya? Apa kepentingannya? Padahal saat itu masih sangat mungkin nasib Proklamasi 17 Agustus 1945 hilang kembali ditelan imperalisme Belanda yang faktanya termasuk barisan pemenang Perang Dunia II bersama Sekutu.
****
KEHADIRAN misi Gereja Katolik itu obyektif dan historis ada di Indonesia sejak sebelum zaman konglomerasi Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Sejak seorang Yesuit di tahun 1546 mengikuti jalur perdagangan rempah-rempah Portugis ke Malaka hingga terus jauh ke Timur mencapai perairan Ambon, Saparua dan Ternate [perlu diingat, ada versi historis lain yang menemukan bukti-bukti kehadiran Gereja Katolik di Sibolga, Sumatera Utara dari abad ke-7].
Nama Yesuit itu Fransiskus Xaverius, di kemudian hari menjadi Santo dalam Gereja Katolik, dia adalah salah satu dari tujuh figur pertama ordo Serikat Yesus yang bersumpah di kapel Montmartre bersama-sama sang pendiri, Santo Ignatius dari Loyola.
Lalu masuk ke zaman VOC yang kental Protestanisme, sehingga Gereja Katolik dicancang habis-habisan. Imam-imam Katolik dilarang masuk, yang sudah ada ditindas keras. Dibawah administrasi Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, tahun 1624 imam Yesuit Egidius d’Abreu dibunuh di Kastil Batavia karena mengajar agama dan merayakan Misa Kudus di penjara. Tahun 1646, Yesuit lainnya, A. de Rhodes, diusir setelah terlebih dulu salib dan alat-alat ibadat lainnya dibakar.
Seorang evangelis awam Katolik, Yoanes Kaspas Kratx, asal Austria, terpaksa meninggalkan Batavia sebab usahanya dipersulit oleh pejabat-pejabat VOC, ia dituduh memberikan bantuan kepada beberapa imam Katolik yang singgah di pelabuhan Batavia. Kratx lalu pindah ke Makau, masuk Serikat Yesus, dan mati sebagai seorang martir di Vietnam pada 1737.
Masuk ke zaman Hindia-Belanda pasca kebangkrutan konglomerasi VOC tahun 1799, ada sedikit perbaikan nasib Gereja Katolik. Sebabnya adalah negeri Belanda dikuasai Napoleon Bonaparte yang mengangkat adiknya Louis Napoleon, seorang Katolik, menjadi raja di tanah kincir angin itu.