Mohon tunggu...
Jhosef Nanda
Jhosef Nanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Unika Soegijapranata - Pegiat Permakultur di Alam Lejar Bhumi Immaculata - Pendidik di Wisma Remaja Bagimu Negeriku

Menulis itu kemerdekaan!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Pancasila sebagai Alat Kendali Penggunaan Ponsel Pintar pada Anak-Anak

4 Februari 2022   11:07 Diperbarui: 4 Februari 2022   11:14 1376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak-anak di era Globalisasi

Sejak dulu para orangtua sepakat, bahwa mendidik dan mengasuh anak-anak bukanlah perkara mudah. Hal ini dialami baik di keluarga oleh kedua orangtua kandung maupun di sekolah oleh para pendidik. Perubahan jaman pun tentu memiliki pengaruh dalam pendidikan anak-anak. Pendidikan seratus tahun lalu berbeda dengan pendidikan jaman sekarang. Demikian pula pendidikan saat ini belum tentu cocok bila diterapkan lima puluh atau seratus tahun kemudian. Hal ini menjadi tantangan bagi para pendidik. 

Di masa sekarang ini, merambahnya teknologi informasi dan komunikasi sebagai elemen utama globalisasi di kalangan anak-anak menjadi tantangan baru untuk para orangtua dalam mendidik anak-anak mereka. Persoalan pendidikan baik di rumah maupun di sekolah menjadi persoalan yang teramat kompleks. Pendidikan menjadi suatu aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Tidak hanya tentang proses pedagogik saja, pendidikan meluas menjadi bagian kehidupan yang multidimensional (Iskandar Agung, 2010). 

Topik yang cukup menarik dan sering menjadi bahan pembicaraan orangtua masa kini adalah mengenai penggunaan ponsel pintar di kalangan anak-anak. Topik ini sudah bukan hal asing dan aneh lagi di era globalisasi. Tak sulit menemukan anak-anak atau bahkan anak usia dini yang sudah pandai menggunakan ponsel pintar. Ponsel pintar adalah perangkat kunci (key device) dari berkembangnya globalisasi. Ponsel pintar juga merupakan produk globalisasi yang paling mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai usia, termasuk anak-anak Tak sulit bagi seorang anak untuk beradaptasi menggunakan ponsel pintar. Tak perlu ada yang mengajari, anak-anak akan lihai menggunakan ponsel pintar dalam waktu singkat saja. 

Isu penggunaan ponsel pintar pada anak-anak menuai banyak opini publik. Hal ini terjadi karena dampak negatif yang ditimbulkannya bagi perkembangan anak-anak. Kendati telah diketahui dampak negatifnya, penggunaan ponsel pintar pada anak-anak ternyata semakin menjamur. Kian hari kian tak sulit menjumpai anak-anak yang sedang asyik dengan ponsel pintarnya. Bahkan orangtua yang tak ingin repot mengurusi anaknya akan menggunakan ponsel pintar sebagai pengalih perhatian anak. Berharap anak akan mudah diatur dan tidak rewel. Hal ini 2 tentu sudah menjadi public secret. Tidak hanya itu, keadaan tersebut semakin dianggap normal oleh masyarakat. 

Berapa banyak sebenarnya waktu anak-anak dihabiskan untuk berada di depan layar ponsel pintar dalam sehari? Apa dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan ponsel pintar terhadap perkembangan anak? Pertanyaan demikian sesungguhnya tak sulit untuk dijawab. Tak sedikit anak-anak yang sudah terlanjur kecanduan menggunakan ponsel pintar. Mereka bisa menghabiskan sebagian besar waktu dalam sehari hanya untuk berada di depan layar ponsel cerdas. Hal demikian terjadi karena bagi anak-anak fitur yang terkandung dalam ponsel pintar memang menarik. Mulai dari permainan hingga media sosial ada di ponsel pintar. 

Mudah menjumpai platform-platform masa kini yang menjamur di rumah-rumah, seperti youtube, tiktok, instagram dan sebagainya. Platform tersebut tidak jauh di genggaman anak-anak. Mereka begitu mahir dan lincah menggunakan platform-platform tersebut. Tak sulit pula menjumpai anak balita yang sedang asyik bermain tiktok dengan ponsel pintar orangtuanya. Belum lagi model belajar online dalam masa pandemi covid-19 ini menambah erat hubungan anak-anak dengan ponsel pintarnya. Dalam sehari, bisa belasan jam waktu mereka habiskan didepan "layar bercahaya" ini. 

Pasti ada dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan ponsel pintar di kalangan anak-anak dengan frekuensi yang begitu tinggi. Hal ini sering dikaitkan karakteristik anak-anak generasi z yang dinilai amat individualistik, instan dan berorientasi hasil serta cenderung tidak menghargai proses. Meskipun demikian banyak pula karakteristik positif yang melekat pada generasi era digital ini. 

Satu hal yang perlu ditanggapi dengan serius adalah dampak negatif yang timbul akibat penggunaan ponsel pintar pada anak-anak secara berlebihan. Sulit sekali menemukan suatu alat kontrol bagi anak-anak dalam menggunakan ponsel pintarnya. Orangtua pun kesulitan dalam mengatur penggunaan ponsel pintar pada anak mereka. Banyak orangtua pada akhirnya menutup mata dan menganggap dampak negatif dari penggunaan ponsel pintar ini sebagai hal yang biasa-biasa saja terjadi. Para orangtua dihadapkan pada keadaan yang dilematis. Di satu sisi masih banyak yang menyadari akan bahaya penggunaan ponsel pintar secara berlebihan. Tapi di lain sisi, arus globalisasi tersebut kian cepat mengalir. Seolah-olah tak ada hal lain yang bisa dilakukan untuk menghindari globalisasi. 

Tentu arus globalisasi tersebut memang tidak bisa dihindari. Siap ataupun tidak siap, setiap bangsa sedang mengalami globalisasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi ini harus dihadapi sekaligus wajib diimbangi dengan kesiapan manusianya. Jangan sampai globalisasi membawa manusia, khususnya anak-anak kepada pusaran dehumanisasi.

Permasalahan Penggunaan Ponsel Pintar

Berdasarkan paparan diatas, maka dapat dirumuskan sebuah permasalahan bahwa penggunaan ponsel pintar di kalangan anak-anak perlu disikapi dengan bijak dan serius. Penggunaan ponsel pintar dengan frekuensi yang tinggi pada anak-anak sangat berpotensi pada kecanduan akan ponsel pintar tersebut. Mudahnya beragam informasi yang diterima oleh anak-anak melalui ponsel pintar pun sangat mempengaruhi perkembangan anak tersebut. Kemudahan akses informasi berdampak juga pada pembentukan moral dan keterampilan sosial anak (Ruslan dkk, 2016).

Anak-anak yang sudah mengalami kecanduan ponsel pintar memiliki beberapa indikasi. Diantaranya adalah sebagian kesibukannya berada di seputar media sosial, menggunakan media sosial untuk pengalihan atau mengurangi perasaan negatif, menggunakan media sosial untuk mendapatkan kesenangan, mengalami kegelisahan atau stres bila dilarang menggunakan media sosial, mengorbankan kegiatan atau kewajiban lain dan mencoba untuk mengontrol penggunaan media sosial namun gagal (Farida Coralia dkk, 2017). 

Fenomena ini merupakan dampak dari arus globalisasi terhadap anak-anak. Sungguh ironis bila pada kenyataannya belakangan ini anak-anak semakin erat dengan ponsel pintar akibat pengaruh pandemi covid-19. Keadaan yang membawa kepada ketergantungan akan ponsel pintar ditambah lagi dengan ketidaksiapan mendayagunakan alat tersebut menambah persoalan ini semakin rumit. Anak-anak yang kecanduan menggunakan ponsel pintar cenderung akan antisosial (Dindin, 2019: 274). Mereka yang mengalami larangan atau pembatasan penggunaan ponsel pintar akan cenderung menjadi agresif dan memberontak bila sudah terlanjur kecanduan. 

Pada sisi lain, efek penggunaan ponsel pintar secara berlebihan juga berpengaruh terhadap kesehatan. Mata yang berjam-jam menerima paparan sinar dari layar ponsel akan mudah lelah bahkan berpotensi mengalami kerusakan. Selain mata, tentu bagian tubuh lain juga terdampak. Seperti misalnya jari jemari yang digunakan untuk berselancar terlalu lama di dunia maya akan mudah lelah hingga sering mengalami kram. 

Meninjau Teori Pendidikan

1. Teori Pendidikan Humanistik

Pendidikan humanistik mengacu kepada teori pendidikan yang amat manusiawi dan menggunakan ideologi kemanusiaan sebagai basis dari proses pendidikan serta mengutamakan komunikasi yang jika diterapkan dengan benar akan menjadi jembatan pembentukan karakter (Sabaruddin, 2020). 

Poin penting dari pendidikan humanis adalah bahwa perkembangan anak bukan hanya perkembangan dalam arti sempit kognitif saja. Tetapi bagaimana anak berkembang secara holistik pada aspek psikomotorik dan afektifnya juga (Sabaruddin, 2020: 150-151). Hal ini penting karena sesungguhnya perkembangan kognitif bisa anak upayakan sendiri. Sementara itu yang tidak boleh lupa untuk diketengahkan adalah perkembangan moral anak. Pendidikan humanis ini ideal untuk penanaman nilai-nilai moral dan lingkungan secara riil kepada anak-anak. Dilihat dalam praktiknya, pendidikan humanis tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan dan pengalaman asli anak, seperti dikemukakan John Dewey dalam buku berisi esai-esai pendidikan (Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis, 2015) bahwa pendidikan harus menyatu-padu dengan lingkungan riil anak. Tidak boleh dipisah-pisah.

Mendefinisikan pertumbuhan anak dalam arti sempit bisa menjadi berbahaya. Anak bisa belajar menjadi siapa saja. Jika seorang anak tekun belajar membobol rumah, maka dikemudian hari ia bisa menjadi maling profesional dan lama kelamaan akan menjadi raja maling (Dewey, 2015: 245). Tentu contoh demikian sah-sah saja bila disebut sebagai pertumbuhan. Tetapi bukan pertumbuhan seperti itulah yang diupayakan oleh pendidikan humanistik. Pendidikan humanistik mengupayakan pertumbuhan yang tidak hanya bersifat kognitif saja, fisik saja dan atau moral saja. Melainkan pertumbuhan yang holistik baik dalam aspek kognitif, fisik dan juga moral. 

Sejalan dengan paparan diatas, Pancasila mengandung nilai humanis yang lebih lengkap dan ideal, yakni humanisme yang Berketuhanan. Lengkap dan relevan, nilai-nilai Pancasila sangat berguna diterapkan dalam medium pendidikan humanistik. Nilai-nilai tersebut penting bagi pondasi penelusuran intelektual para generasi muda agar tidak meninggalkan aspek-aspek moral-spiritualnya. Bagian ini akan dipaparkan pada bagian selanjutnya.

2. Pendidikan Pancasila

Pendidikan Pancasila dapat ditelusuri akar filofisnya dari pesan Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantara yeng menyatakan karakter yang harus dimiliki oleh pendidik yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Dari pesan Ki Hadjar, kunci penting pendidikan Pancasila adalah terletak dari keteladanan seorang pendidik. 

Pancasila memiliki beberapa kedudukan bagi manusia Indonesia. Selain sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, Pancasila juga merupakan sebuah pandangan hidup bagi manusia Indonesia. Itu kenapa Pancasila juga disebut sebagai ideologi yang realistik (Daruni, 1996: 33). Pendidikan pancasila pun demikian. Model pendidikan ini harus menyatu dengan realitas lingkungannya. Pendidikan Pancasila harus melek terhadap realitas dan kemajuan jaman, sekaligus tidak melepas jatidiri bangsa Indonesia. 

Pancasila memiliki beberapa kedudukan bagi manusia Indonesia. Selain sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, Pancasila juga merupakan sebuah pandangan hidup bagi manusia Indonesia. Itu kenapa Pancasila juga disebut sebagai ideologi yang realistik (Daruni, 1996: 33). Pendidikan pancasila pun demikian. Model pendidikan ini harus menyatu dengan realitas lingkungannya. Pendidikan Pancasila harus melek terhadap realitas dan kemajuan jaman, sekaligus tidak melepas jatidiri bangsa Indonesia. 

Menyoal Ponsel Pintar

1. Ponsel Pintar Sebagai Anak Kandung Globalisasi

Globalisasi dalam perkembangannya hingga sekarang ini sudah betul-betul merambah ke berbagai bidang kehidupan. Tak hanya persoalan masyarakat menengah keatas, dampak globalisasi juga mengena pada masyarakat papa. Arus globalisasi bisa membawa berkah bagi masyarakat tapi juga sekaligus dapat menggulung habis mereka yang tidak siap. Alih-alih menjadi jembatan kemajuan bangsa, arus globalisasi ini justru bisa menjadi alat penghancuran bangsa khususnya anak-anak muda. 

Globalisasi dalam bentuknya yang paling nyata terwujud dalam genggaman hampir setiap orang saat ini. Ponsel pintar merupakan tool yang paling mudah dikases oleh masyarakat. Ponsel pintar adalah anak kandung globalisasi yang akrab di genggaman masyarakat jenis apapun. Ponsel pintar juga berkembang tidak memandang usia pengguna. Dari mulai orang usia produktif hingga lansia dan balita pun dapat mengakses ponsel pintar. Selain sebagai anak kandung globalisasi, ponsel pintar disebut juga sebagai perangkat kunci pelancar arus globalisasi. 

Ponsel pintar disebut sebagai perangkat kunci pelancar arus globalisasi dikarenakan kemudahan akses informasi oleh para penggunanya. Mengutip buku Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SD/MI Kelas IV (Arif Julianto, dkk) salah satu ciri globalisasi adalah informasi mudah menyebar. Ponsel pintar adalah perangkat yang berperan untuk itu. 

2. Siapa Saja Bisa Menggunakan Ponsel Pintar

Ponsel pintar merupakan alat yang berguna untuk manusia. Alat ini adalah telepon genggam yang memiliki spesifikasi menyerupai komputer. Ponsel pintar bisa melakukan beragam tugas dan fungsi secara bersamaan (multitasking). Dari waktu ke waktu, fitur-fitur yang ditawarkan oleh beragam ponsel pintar juga sangat canggih. Mulai dari surat elektronik hingga aplikasi editing foto maupun video tersedia pada ponsel pintar masa kini. Seseorang tidak perlu menggunakan komputer untuk berkirim surat elektronik. Untuk editing foto dan video pun ponsel pintar mampu menyediakan fitur dan aplikasi untuk itu. Sehingga secara sederhana ponsel pintar merupakan alat berkemampuan komputer dalam bentuk telepon genggam. 

Sejak munculnya produk pertama bernama SIMON pada tahun 1992, ponsel pintar mengalami perkembangan yang pesat. SIMON dirancang oleh IBM dan dipublikasikan pertama kali pada ajang pameran COMDEX di Las Vegas, Nevada. Setahun kemudian dipasarkan untuk 8 umum, SIMON memiliki spesifikasi yang sangat tinggi pada era itu. SIMON bukan perangkat telepon genggam saja. Alat ini memiliki buku telepon, world watch, notepad, game, kalender dan surat elektronik. 

Kemunculan SIMON kemudian diikuti dengan berbagai ponsel pintar pada masa itu. Beragam ponsel pintar generasi pertama ini diproduksi oleh berbagai perusahaan seperti Nokia, Handspring, Blackberry, Microsoft hingga Sony dan Motorola. Beberapa produk ponsel pintar generasi pertama yang legendaris adalah Nokia seri N, Nokia 9000, Palm OS Treo dan lainnya. 

Ponsel pintar terus berkembang dan bertransformasi. Hingga kini beragam merk ponsel pintar bermunculan. Era baru ponsel pintar dimulai ketika sistem operasi android dipopulerkan. Ponsel android memiliki fitur yang amat lengkap. Fitur tersebut memenuhi beragam kebutuhan manusia, mulai dari komunikasi, akses informasi hingga hiburan; mulai dari keluarga terdekat hingga menjangkau orang asing di belahan bumi manapun. 

Kenyataan ini menandakan bahwa ponsel pintar bukan lagi suatu barang mewah. Siapa saja bisa menjangkau perangkat ini. Hal demikian terjadi karena memang kian kemari beragam aktivitas sehari-hari kian tak bisa lepas dari ponsel pintar. Beberapa dasawarsa lalu mungkin tak terpikirkan bahwa seseorang bisa memesan makanan hanya dengan mengklik layar ponsel. Lalu sekonyong-konyong makanan itu datang didepan rumah, diantar oleh kurir. Setidaknya saat itu hal tersebut masih bertahan sebagai imajinasi masa depan. Tapi sekarang, kemudahan tersebut benar-benar terjadi dan menjadi hal yang lumrah karena kemajuan teknologi memungkinkan itu terjadi. Itulah kenapa ponsel pintar saat ini bukanlah barang mewah. Ia perangkat canggih yang bisa dijangkau oleh siapa saja.

Kemudahan akses kepada ponsel pintar tersebut menandakan jumlah pengguna ponsel pintar yang amat tinggi. Semakin hari, pengguna ponsel pintar kian bertambah banyak (Yosepha Pusparisa, 2020). Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun mendapat akses kepada ponsel pintar dengan sangat mudah. Kemudahan akses anak-anak terhadap ponsel pintar menjadi pintu gerbang kemudahan akses anak ke berbagai sumber informasi. Melalui medium informasi dan komunikasi anak-anak bisa menjangkau berbagai informasi dari berbagai negara. Dengan demikian terbukalah pengetahuan akan budaya dan gaya hidup negara luar. Tentu muncul berbagai kekuatiran apakah budaya dan gaya hidup bangsa asing tersebut sesuai dengan kehidupan riil anak? Tidakkah justru kemudahan akses ke berbagai sumber informasi tersebut juga merupakan pisau bermata dua? 

Dugaan tersebut tepat adanya. Oleh karena itu perlu untuk semakin serius mengaktifkan suatu alat kontrol agar setiap manusia Indonesia khususnya anak-anak bisa tetap hidup sesuai way of life yang sudah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Terutama dalam menghadapi arus globalisasi 

3. Bahaya Penggunaan Ponsel Pintar

Banjir Informasi Sejak Dini. 

Dalam jaman arus cepat informasi ini anak-anak mengalami kebanjiran informasi. Apapun yang menjadi arus utama informasi di media sosial akan dengan mudah anak-anak konsumsi. Terlepas apakah hal-hal itu patut mereka terima atau tidak. Inilah letak bahaya dari penggunaan ponsel pintar pada anak-anak. Mereka belum mengerti mana informasi yang pantas mereka konsumsi, mana yang harus dijauhi. Hal ini merupakan realitas sekaligus ironi. Perhatian mereka sudah sepenuhnya teralih pada ponsel. Lingkungan bermain riil anak-anak pun semakin mengecil. Jejaring pertemanannya justru mereka bangun secara virtual, berdampak pada berkurangnya sosialisasi.  

Inilah dampak dari mudahnya mendapat informasi tetapi anak-anak tidak diperlengkapi dengan kemampuan personalisasi informasi yang mereka terima.

Fenomena kebanjiran informasi ini akan berimplikasi kepada ketergantungan anak-anak pada ponsel pintar, spesifik pada media sosial. Bahkan, hal ini menjadi penybab kemunculan sebuah penyakit baru seperti misalnya facebook depression (Alcianno G. Gani, 2020). Penyakit ini awal nya terlihat sama seperti kecemasan, kelainan psikologis, kecanduan atau kebiasaan buruk lainnya. Facebook Depression ini terkait dengan keadaan dimana pengguna facebook akan merasa cemas bila tidak menggunakan media sosial tersebut; dunia mereka seperti mengecil. Meskipun hanya terlihat di facebook kelainan ini harus mendapat respon yang serius. Tidak mampu mengontrol penggunaan media sosial berarti menandakan ketidakberdayaan mengontrol diri sendiri. Mereka yang mengalami kecanduan yang amat parah memiliki self-control yang amat rendah. Mereka juga cenderung memperhatikan kehidupan sosial di dunia maya ketimbang di dunia nyata.  

Anak Tidak Bisa Personalisasi Informasi

Poin ini berkaitan dengan anak-anak tidak bisa membedakan informasi yang patut mereka terima dan mana yang tidak patut mereka terima (tidak bisa personalisasi informasi). Hal ini terjadi karena sungguh amat deras arus informasi yang anak-anak terima. Bahkan seseorang sampai sulit membedakan mana berita palsu dan mana yang benar. Sampai pada satu titik, masyarakat secara umum dan anak-anak secara khusus juga mengalami keanehan ketika tidak menerima informasi dari ponsel pintar (Alcianno G. Gani, 2020).

Informasi yang anak-anak terima mengandung berbagai unsur budaya dan gaya hidup. Tentu tidak semuanya cocok diterapkan di Indonesia sebagai negara berketuhanan. Sebut saja 10 fenomena pernikahan antar sesama jenis. Di beberapa negara maju pernikahan sesama jenis dianggap wajar saja. Bahkan ada negara yang sudah melegalkan pernikahan sesama jenis. Hal seperti ini perlu disaring, tidak selamanya tepat diserap di Indonesia. Itulah yang disebut sebagai personalisasi informasi. 

Sikap Apatis Pada Anak 

Dengan mudahnya anak-anak menerima informasi tentang suatu hal, maka mobilitas fisik anak pun menurun. Belajar pun bisa dimana saja dan dapat dilakukan secara instan. Hal ini akan berdampak pada menurunnya aktivitas sosial anak di dunia nyata. Anak dan remaja menjadi malas belajar berkomunikasi di dunia nyata (Alcianno G. Gani, 2020). Tingkat pemahaman bahasapun menjadi terganggu. Anak terlalu banyak berkomunikasi di dunia maya. Selain itu, situs jejaring sosial yang amat mudah diakses melalui ponsel pintar cenderung akan membuat anak dan remaja lebih mementingkan diri sendiri. Mereka menjadi tidak sadar akan lingkungan di sekitar mereka, karena kebanyakan menghabiskan waktu di internet. Hal ini dapat mengakibatkan menjadi kurang berempati di dunia nyata. 

Sikap apatis ini sangat mengkhawatirkan. Anak-anak yang berpotensi untuk mengembangkan berbagai kemampuannya harus mengalami proses yang mengkerdilkan dirinya sendiri. Sadar atau tidak sadar, anak-anak semakin tidak peduli dengan lingkungannya. Mereka memiliki keasyikan sendiri didunia maya. Anak-anak yang dikemudian hari menjadi generasi penerus bangsa ini seharusnya memiliki kepekaan tinggi terhadap gejala-gejala sosial di lingkungan sekitarnya. 

Pendidikan Pancasila Sebagai Alat Kendali Penggunaan Ponsel Pintar Pada Anak

Sumber : pixabay.com || Ilustrasi Pendidikan Pancasila sebagai alat kendali penggunaan ponsel pintar
Sumber : pixabay.com || Ilustrasi Pendidikan Pancasila sebagai alat kendali penggunaan ponsel pintar

Manusia yang berkualitas sejatinya diperlukan untuk pembangunan bangsa yang akan datang. Terbentuknya manusia yang berkualitas membutuhkan proses yang melibatkan seluruh unsur masyarakat, tidak hanya negara saja. Hal ini tidak dapat dengan serta merta diwujudkan secara mudah. Pembimbingan dan pengasuhan yang dimulai sejak usia dini harus dilakukan. 

Dalam rangka mewujudkan manusia yang berkualitas tersebut salah satu cara kunci yang perlu ditempuh adalah melalui pendidikan. Pendidikan sesungguhnya amat luas. Sekolah adalah salah satu tempat pendidikan formal yang amat penting. Sekolah merupakan tempat kedua membangun kualitas diri dari anak setelah lingkungan keluarga. Melalui sekolah anak-anak dididik untuk berperilaku baik. Sejak dibangku sekolah dasar anak-anak sudah dikenalkan dengan nilai-nilai Pancasila 

 Nilai-nilai pancasila merupakan nilai yang dikandung Pancasila baik yang berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi negara maupun sebagai falsafah negara dalam arti sebagai pandangan hidup bangsa. Nilai-nilai Pancasila harus selalu dijadikan landasan pokok dalam berpikir dan berbuat, dalam hal ini mengharuskan bangsa Indonesia untuk merealisasikan nilai-nilai Pancasila itu kedalam sikap dan perilaku baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. 

Nilai-nilai Pancasila penting untuk dihidupi pada masa perkembangan anak-anak terutama sejak usia dini. Hal ini disebabkan karena usia dini merupakan masa keemasan, dimana pada masa ini perkembangan otak anak berkembang dengan sangat pesat. Pada dasarnya anak usia dini masih mudah dibimbing daripada anak yang sudah berada pada tahap perkembangan berikutnya. Kepribadian anak usia dini juga masih belum stabil. Mereka sering meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa maupun orang yang sudah tua. Oleh karenanya pada masa ini anak harus benar-benar distimulasi perkembangannya secara maksimal demi masa depannya. Stimulasi dapat diberikan tentu melalui penididkan. Baik pendidikan formal maupun non formal. 

Pendidikan anak tersebut sebetulnya sudah ada dalam kerangka nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup adalah relevan sebagai dasar dari praksis pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia (Purwastuti L, 2018). Hal demikian dimungkinkan karena Pancasila memiliki objektivitas bagi seluruh warga masyarakat Indonesia sehingga memberikan ruang amat luas bagi publik. Dalam istilah Kuntowijoyo, Pancasila harus menjadi common denomination, yakni menjadi rujukan seluruh warga negara dari beragam suku, agama, ras dan budaya (Kuntowijoyo, 2018). Objektivitas nilai-nilai Pancasila ini penting digunakan dalam dunia pendidikan. Nilai dan norma Pancasila ini berlaku secara universal. Sehingga dapat mengatur kehidupan beragam jenis warga negara Indonesia. 

Pendidikan Pancasila dalam menyikapi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi khususnya ponsel pintar dapat dilakukan dimulai dari unit terkecil pada masyarakat, yaitu keluarga. Di dalam lingkungan keluarga banyak sekali hal yang bisa dilakukan sehari-hari dalam belajar menghidupi nilai-nilai Pancasila di era globalisasi ini. Tentu ini bergantung pada kreativitas orangtua. Misalnya saja dalam ranah tindakan preventif, sejak usia dini sebisa mungkin anak tidak dibiasakan "dekat" dengan ponsel pintar. Pada usia dini perkembangan otak anak terjadi sangat signifikan. Tanpa harus diajari menggunakan ponsel pintar mereka akan mahir dengan sendirinya. Ini juga terjadi lantaran anak-anak melihat orangtuanya menggunakan ponsel pintar di hadapan mereka. Hal demikian ini juga menjadi pelajaran bagi orangtua, ketika sedang bersama-sama dengan anak, letakkan lah ponsel pintar dan mulai lah berinteraksi bebas dengan anak-anak. 

Sebagai alternatif, di lingkungan keluarga orangtua patut memberi ruang bagi aktivitas fisik anak-anak. Melalui kegiatan fisik dan bersosialisasi anak-anak dapat mengenal banyak sekali nilai-nilai Pancasila. Seperti misalnya rutin berkunjung ke alam terbuka atau kebun binatang untuk menumbuhkan kecintaan akan lingkungan alam sekitarnya. Kemudian sering lah mengajak anak untuk bermain bersama teman-teman seusianya, misalnya melalui kegiatan outbond dan pengenalan kembali permainan tradisional yang semakin ditinggalkan. Tentu dalam kegiatan semacam itu anak-anak akan mengenal nilai-nilai luhur Pancasila seperti gotong-royong, toleransi, keadilan, solidaritas dan juga cinta kasih antar-teman. Intinya adalah jauhilah anak-anak dari jangkauan ponsel pintar sejak dini. 

Mengenai pernyataan, "Jika tidak terbiasa dengan kemajuan teknologi sejak dini, dikhawatirkan anak-anak justru akan gagap teknologi." sesungguhnya bisa ditanggapi dengan jernih. Anak-anak tidak perlu diajari mengenai hal itu. Input pengetahuan tentang penggunaan teknologi sudah banyak mereka terima dari lingkungan. Seserius apapun orangtua menjauhkan ponsel pintar dari anak-anak toh mereka akan menyaksikan lingkungan sekitarnya tetap asyik dengan ponsel pintarnya. Hal tersebut sudah cukup membuat anak mengenal teknologi. 

Di lingkungan pendidikan formal seperti sekolah penerapan pendidikan Pancasila dalam meresponi kemajuan teknologi dapat dilakukan secara lebih sistematis. Misalnya pemadatan kegiatan rutin literasi di perpustakaan. Buku-buku yang menjadi bahan literasi di perpustakaan harus dipersiapkan sedemikian rupa dengan tujuan membangun imajinasi anak. Sehingga pemilihan beragam jenis buku pun penting. Buku-buku fiksi dan sejarah dapat menjadi stimulus yang membangunkan imajinasi dalam pikiran anak-anak. Tentu hal ini dapat menjadi tandingan beragam kemajuan grafis pada ponsel pintar. Buku-buku yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan dan moral pun amat bagus sebagai jembatan pengenalan nilai-nilai luhur Pancasila. Disamping kegiatan literasi, banyak hal di sekolah yang dapat dilakukan dalam kerangka pendidikan Pancasila. 

Rekomendasi Penulis

Beberapa alternatif instrumen pendidikan penulis nilai perlu diterapkan sebagai penyeimbang kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di era globalisasi ini. Berikut penulis paparkan beberapa diantaranya :

Pendidikan Pancasila Berbasis Alam

Sumber : pexels.com || Ilustrasi bercocok tanam sebagai implementasi belajar diluar ruangan 
Sumber : pexels.com || Ilustrasi bercocok tanam sebagai implementasi belajar diluar ruangan 

Model pengembangan anak-anak yang dilakukan diluar ruangan untuk menumbuhkan kecintaan anak akan lingkungan sekitarnya. Berfungsi untuk memberi jarak jangkauan terhadap ponsel pintar dan menumbuhkan nilai-nilai Pancasila melalui kegiatan pembelajaran seperti outbond, retreat dan perkemahan. Para pendidik juga bisa mengenalkan kegiatan lokal kepada anak-anak. Seperti misalnya menyediakan ekstrakurikuler (kegiatan luar kelas) perkebunan (mengenai bunga-bunga dan tanaman hias), peternakan (mengenai budidaya ikan, ayam, unggas, dll) serta kegiatan membatik.

Pendidikan Pancasila Berorientasi Pengabdian

Sumber : pexels.com || Ilustrasi kegiatan berorientasi pengabdian
Sumber : pexels.com || Ilustrasi kegiatan berorientasi pengabdian

Poin ini dinilai sulit diterapkan pada pendidikan usia anak-anak sekolah dasar, padahal tidak demikian. Pendidikan ini tentu berlandaskan Pancasila dan bertujuan untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Misalnya di lingkungan formal, setiap seminggu sekali (misalnya hari Jumat), sekolah mewajibkan anak-anak untuk melakukan kegiatan social sukarela kepada warga sekitar, apapun bentuknya. Melalui kegiatan semacam ini, harapannya anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang peduli dengan lingkungannya. Pribadi peduli tentu semakin jarang ditemui akibat penggunaan ponsel pintar.

Pendidikan agama yang menekankan nilai-nilai moral universal 

Sumber : pexels.com || Ilustrasi cinta kasih sebagai nilai moral universal
Sumber : pexels.com || Ilustrasi cinta kasih sebagai nilai moral universal

Maksudnya adalah anak-anak tidak boleh ditumbuhkan menjadi pribadi yang fanatik akan agamanya. Kemudahan akses informasi sekarang ini sangat mudah membuat seseorang fanatic akan kepercayaan yang dianutnya. Hal tersebut bisa diatasi dengan membangun perspektif moral-universal pada generasi mendatang. Nilai-nilai moral-universal tersebut sudah terkandung dalam Pancasila.  

Daftar Pustaka

  1. Daeng Intan T.M, dkk. 2017. Penggunaan Smartphone Dalam Menunjang Aktivitas Perkuliahan Oleh Mahasiswa Fispol Unsrat Manado. E-journal "Acta Diurna" 6(1). 15 pages
  2. Sinulingga Setia P. 2016. Teori Pendidikan Moral Menurut Emile Durkheim Relevansinya Bagi Pendidikan Moral Anak di Indonesia. Jurnal Filsafat 26(2): 215-248.
  3. Asdi Endang D. 1996. Perbandingan Antara Moral Immanuel Kant dengan Moral Pancasila. Jurnal Filsafat, 1996. 10 pages.
  4. Sabaruddin S. 2020. Sekolah dengan Konsep Pendidikan Humanis. Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum 20(2). 147-162.
  5. Syahsyudin Dindin. 2019. Pengaruh Gadget Terhadap Pola Interaksi Sosial dan Komunikasi Siswa. Jurnal Kehumasan 2(1). 272-282.
  6. Akhtar Hanif. 2020. Perilaku Oversharing di Media Sosial : Ancaman atau Peluang?. PSIKOLOGIKA 25(2). 257-270.
  7. Gani Alcianno G. 2020. Pengaruh Media Sosial Terhadap Perkembangan Anak Remaja. Jurnal Mitra Manajemen 7(2). 32-42.
  8. Coralia Farida, dkk. 2017. Tipe Kepribadian dan Self-Esteem Pada Pecandu Media Sosial. SCHEMA (Journal of Psychological Research) 3(2). 140-149.
  9. Dalillah. 2019. Pengaruh Penggunaan Gadget Terhadap Perilaku Sosial Siswa di SMA Darussalam Ciputat. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
  10. Widhyharto D.S. 2014. Youth Identities and Social Transformation in Contemporary Indonesia. Jurnal Studi Pemuda 5(2): 507-513.
  11. Ruslan R. 2020. Penanaman Pendidikan Moralitas dan Nilai Pancasila Anak Usia Dini Dalam Perkembangan IPTEK. Abdimas : Papua Journal of Community Service 2(1).
  12. Iskandar Agung. 2010. Perspektif Multidimensional Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan: Pemikiran Awal Konsep dan Penerapan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 16(4). 453-468.
  13. Mangunwijaya, Y.B. 2020. Sekolah Merdeka Pendidikan Pemerdekaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  14. Freire, P., Illich, I., Fromm, E., dkk. 2015. Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  15. Bahar Saafroedin, dkk. 1998. Himpunan Risalah Sidang-Sidang dari BPUPKI dan PPKI, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
  16. Kuntowijoyo. 2018. Demokrasi dan Budaya Birokrasi, Yogyakarta: IRCiSoD

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun