Mohon tunggu...
Jhosef Nanda
Jhosef Nanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Unika Soegijapranata - Pegiat Permakultur di Alam Lejar Bhumi Immaculata - Pendidik di Wisma Remaja Bagimu Negeriku

Menulis itu kemerdekaan!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Pancasila sebagai Alat Kendali Penggunaan Ponsel Pintar pada Anak-Anak

4 Februari 2022   11:07 Diperbarui: 4 Februari 2022   11:14 1376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena kebanjiran informasi ini akan berimplikasi kepada ketergantungan anak-anak pada ponsel pintar, spesifik pada media sosial. Bahkan, hal ini menjadi penybab kemunculan sebuah penyakit baru seperti misalnya facebook depression (Alcianno G. Gani, 2020). Penyakit ini awal nya terlihat sama seperti kecemasan, kelainan psikologis, kecanduan atau kebiasaan buruk lainnya. Facebook Depression ini terkait dengan keadaan dimana pengguna facebook akan merasa cemas bila tidak menggunakan media sosial tersebut; dunia mereka seperti mengecil. Meskipun hanya terlihat di facebook kelainan ini harus mendapat respon yang serius. Tidak mampu mengontrol penggunaan media sosial berarti menandakan ketidakberdayaan mengontrol diri sendiri. Mereka yang mengalami kecanduan yang amat parah memiliki self-control yang amat rendah. Mereka juga cenderung memperhatikan kehidupan sosial di dunia maya ketimbang di dunia nyata.  

Anak Tidak Bisa Personalisasi Informasi

Poin ini berkaitan dengan anak-anak tidak bisa membedakan informasi yang patut mereka terima dan mana yang tidak patut mereka terima (tidak bisa personalisasi informasi). Hal ini terjadi karena sungguh amat deras arus informasi yang anak-anak terima. Bahkan seseorang sampai sulit membedakan mana berita palsu dan mana yang benar. Sampai pada satu titik, masyarakat secara umum dan anak-anak secara khusus juga mengalami keanehan ketika tidak menerima informasi dari ponsel pintar (Alcianno G. Gani, 2020).

Informasi yang anak-anak terima mengandung berbagai unsur budaya dan gaya hidup. Tentu tidak semuanya cocok diterapkan di Indonesia sebagai negara berketuhanan. Sebut saja 10 fenomena pernikahan antar sesama jenis. Di beberapa negara maju pernikahan sesama jenis dianggap wajar saja. Bahkan ada negara yang sudah melegalkan pernikahan sesama jenis. Hal seperti ini perlu disaring, tidak selamanya tepat diserap di Indonesia. Itulah yang disebut sebagai personalisasi informasi. 

Sikap Apatis Pada Anak 

Dengan mudahnya anak-anak menerima informasi tentang suatu hal, maka mobilitas fisik anak pun menurun. Belajar pun bisa dimana saja dan dapat dilakukan secara instan. Hal ini akan berdampak pada menurunnya aktivitas sosial anak di dunia nyata. Anak dan remaja menjadi malas belajar berkomunikasi di dunia nyata (Alcianno G. Gani, 2020). Tingkat pemahaman bahasapun menjadi terganggu. Anak terlalu banyak berkomunikasi di dunia maya. Selain itu, situs jejaring sosial yang amat mudah diakses melalui ponsel pintar cenderung akan membuat anak dan remaja lebih mementingkan diri sendiri. Mereka menjadi tidak sadar akan lingkungan di sekitar mereka, karena kebanyakan menghabiskan waktu di internet. Hal ini dapat mengakibatkan menjadi kurang berempati di dunia nyata. 

Sikap apatis ini sangat mengkhawatirkan. Anak-anak yang berpotensi untuk mengembangkan berbagai kemampuannya harus mengalami proses yang mengkerdilkan dirinya sendiri. Sadar atau tidak sadar, anak-anak semakin tidak peduli dengan lingkungannya. Mereka memiliki keasyikan sendiri didunia maya. Anak-anak yang dikemudian hari menjadi generasi penerus bangsa ini seharusnya memiliki kepekaan tinggi terhadap gejala-gejala sosial di lingkungan sekitarnya. 

Pendidikan Pancasila Sebagai Alat Kendali Penggunaan Ponsel Pintar Pada Anak

Sumber : pixabay.com || Ilustrasi Pendidikan Pancasila sebagai alat kendali penggunaan ponsel pintar
Sumber : pixabay.com || Ilustrasi Pendidikan Pancasila sebagai alat kendali penggunaan ponsel pintar

Manusia yang berkualitas sejatinya diperlukan untuk pembangunan bangsa yang akan datang. Terbentuknya manusia yang berkualitas membutuhkan proses yang melibatkan seluruh unsur masyarakat, tidak hanya negara saja. Hal ini tidak dapat dengan serta merta diwujudkan secara mudah. Pembimbingan dan pengasuhan yang dimulai sejak usia dini harus dilakukan. 

Dalam rangka mewujudkan manusia yang berkualitas tersebut salah satu cara kunci yang perlu ditempuh adalah melalui pendidikan. Pendidikan sesungguhnya amat luas. Sekolah adalah salah satu tempat pendidikan formal yang amat penting. Sekolah merupakan tempat kedua membangun kualitas diri dari anak setelah lingkungan keluarga. Melalui sekolah anak-anak dididik untuk berperilaku baik. Sejak dibangku sekolah dasar anak-anak sudah dikenalkan dengan nilai-nilai Pancasila 

 Nilai-nilai pancasila merupakan nilai yang dikandung Pancasila baik yang berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi negara maupun sebagai falsafah negara dalam arti sebagai pandangan hidup bangsa. Nilai-nilai Pancasila harus selalu dijadikan landasan pokok dalam berpikir dan berbuat, dalam hal ini mengharuskan bangsa Indonesia untuk merealisasikan nilai-nilai Pancasila itu kedalam sikap dan perilaku baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. 

Nilai-nilai Pancasila penting untuk dihidupi pada masa perkembangan anak-anak terutama sejak usia dini. Hal ini disebabkan karena usia dini merupakan masa keemasan, dimana pada masa ini perkembangan otak anak berkembang dengan sangat pesat. Pada dasarnya anak usia dini masih mudah dibimbing daripada anak yang sudah berada pada tahap perkembangan berikutnya. Kepribadian anak usia dini juga masih belum stabil. Mereka sering meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa maupun orang yang sudah tua. Oleh karenanya pada masa ini anak harus benar-benar distimulasi perkembangannya secara maksimal demi masa depannya. Stimulasi dapat diberikan tentu melalui penididkan. Baik pendidikan formal maupun non formal. 

Pendidikan anak tersebut sebetulnya sudah ada dalam kerangka nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup adalah relevan sebagai dasar dari praksis pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia (Purwastuti L, 2018). Hal demikian dimungkinkan karena Pancasila memiliki objektivitas bagi seluruh warga masyarakat Indonesia sehingga memberikan ruang amat luas bagi publik. Dalam istilah Kuntowijoyo, Pancasila harus menjadi common denomination, yakni menjadi rujukan seluruh warga negara dari beragam suku, agama, ras dan budaya (Kuntowijoyo, 2018). Objektivitas nilai-nilai Pancasila ini penting digunakan dalam dunia pendidikan. Nilai dan norma Pancasila ini berlaku secara universal. Sehingga dapat mengatur kehidupan beragam jenis warga negara Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun