Mohon tunggu...
Kristian Suryo
Kristian Suryo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa Pascasarjana Universitas Atmajaya Yogyakarta

Mahasiswa dan Wiraswasta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Akses Informasi Bagi Difabel pada Era Digital

29 November 2020   05:25 Diperbarui: 29 November 2020   05:38 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Informasi merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Informasi berguna agar kita dapat mengetahui segala sesuatu untuk mengembangkan segala aspek kehidupan, sehingga kebebasan mengakses infomasi merupakan hak warga Negara yang dijamin oleh dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 28 f yang berbunyi:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala saluran yang tersedia.

Undang-undang menjamin setiap orang mendapat kesempatan dan hak yang sama dalam mengakses informasi baik yang berada di desa maupun yang di kota, baik yang sempurna fisiknya maupun tidak. Penyandang disabilitas medapatkan kesempatan yang sama dalam mengakses juga mendapatkan informasi, khususnya penyandang tunanetra juga seharusnya diberikan kesempatan yang sama sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 4 Pasal 5 tahun 1997 "Setiap penyandang cacat memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam setiap aspek kehidupan dan penghidupan." Kemajuan teknologi memungkinkan adanya fasilitas bagi para difabel untuk mendapatkan hak yang sama.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini semakin pesat dan membuat manusia tidak bisa untuk tidak mengikutinya. Yang dulunya bersifat analog saat ini beralih ke digital. Kemudahan demi kemudahan disajikan, penghematan daya listrik, hingga kualitas yang lebih baik, hampir semua media kini bermigrasi ke era digitalisasi. Saat ini sudah tidak memerlukan rak lebar untuk menyimpan buku karena buku versi digital atau lebih dikenal dengan electronic book (e-book) dapat dengan mudah disimpan sebagai file dalam komputer, laptop bahkan flashdisk.

Sistem penyiaran Indonesia juga mengalami digitalisasi. Bahkan industri musik dan film yang meski sangat rentan pembajakan, kini dapat lebih menghemat ongkos produksi dengan adanya system digital. Namun perkembangan teknologi ternyata tidak selaras dengan keterbukaan akses informasi terlebih bagi para penyandang disabilitas (difabel). Difabel adalah orang-orang yang menjalankan aktivitas hidup dengan kondisi fisik dan atau mental yang berbeda dengan orang kebanyakan. Kondisi ini bisa merupakan bawaan sejak lahir ataupun muncul saat dewasa, seperti akibat dari penyakit, malnutrisi, kecelakaan, penganiayaan, atau sebab-sebab lain sehingga menyebabkan cacat fisik dan atau mental.

Masyarakat difabel dibagi ke dalam lima kategori, yaitu:

(1) Tuna netra (keterbatasan pada indra penglihatan)

(2) Tuna daksa (keterbatasan pada anggota gerak)

(3) Tunarungu (keterbatasan pada indra pendengaran)

(4) Tuna wicara (keterbatasan dalam berbicara)

(5) Tuna grahita (keterbatasan mental).

Akan tetapi keterbatasan secara fisik dan atau mental tersebut tidak menghapus hak-hak mereka sebagai warga negara, termasuk pula hak untuk mengakses informasi.

Informasi juga menjadi kebutuhan bagi penyandang disabilitas terutama bagi mereka yang sedang mengenyam pendidikan. Namun kesenjangan akses informasi masih terjadi bagi penyandang disabilitas dan merupakan sebuah fakta bahwa diskriminasi akan akses informasi masih banyak terjadi bahkan dalam institusi pendidikan.

Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar pun, hampir sebagian besar Perguruan Tinggi belum memberi akses dan juga dinilai masih rendah dalam memberi akses fasilitas dan sarana maupun kurikulum pendidikan kepada para penyandang disabilitas. Diskriminasi juga terjadi dalam pembelajaran, misalnya minimnya literatur yang dapat diakses bagi tunanetra dimana tunanetra membutuhkan bahan ajar dalam bentuk huruf braile maupun bahan digital. Selain itu, perguruan tinggi-perguruan tinggi juga masih minim menyediakan instruktur bagi tunarungu, sehingga akses mendapatkan pendidikan masih sangat terhambat. Penyandang disabilitas sangat membutuhkan perhatian dalam hal ini khususnya pemerintah. Kemajuan teknologi seharusnya justru memudahkan akses informasi terhadap semua warga, tak membeda-bedakan ras, status ekonomi, maupun fisik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun