Pada 20 september 2018 telah dicanangkan mega proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru yang berlokasi di sungai batang toru, kecamatan Sipirok, Marancar, dan batang toru, kabupaten Tapanuli Selatan, provinsi Sumatera Utara.Â
Pembangunan PLTA ini dikembangkan oleh PT North Sumatera Hydro Energy serta didukung oleh bank of china dengan nilai investasi sebesar 1.67 miliar US dollar. Pembangunan pembangkit listrik dijadwalkan akan beroperasi pada tahun 2022.
PLTA tersebut dirancang dengan kapasitas 4 x 127,5 mega watt, akan dibangun sebuah bendungan setinggi 72,5 meter dengan luas bendungan kurang lebih  90 ha yang akan dialihkan melalui terowongan bawah tanah sepanjang 13 kilometer menuju turbin yang akan menghasilkan listrik.Â
Dengan pembangunan PLTA tersebut dapat berkontribusi sekitar 15 % dari kebutuhan listrik yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Adapun pembangun proyek PLTA batanng toru merupakan bagian dari program strategis nasional Indonesia untuk membangun sejumlah pembangkit listrik dengan total kapasitas sebesar 35.000 mega watt.
Dalam pembangunan tersebut mendapatkan respon baik dari masyarakat dan respon tidak baik juga dari masyarakat. Banyak pro dan kontra terjadi dalam menyikapi pembangunan proyek PLTA bahkan ada yang menolak pembangunan tersebut, adapun pihak-pihak yang menolak pembangunan tersebut berasal dari kalangan masyarakat dan pegiat konservasi lingkungan yang mereka anggap bahwa pembangunan tersebut berdampak buruk terhadap lingkungan.Â
Namun, ada sebagian masyarakat mendukung pembangunan tersebut bahkan masyarakat yang mendukung berasal dari wilayah pembangunan PLTA tersebut karena mereka menganggap proyek tersebut akan memberikan dampak positif yakni meningkatkan kesejahteraan setelah berdirinya PLTA yanga berkapasitas 510 mega watt di wilayah mereka.
Pembangunan proyek PLTA batang toru menggunakan 122 ha lahan atau sekitar 0,07 % ekosistem dari batang toru. ekosistem ini juga memiliki hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produkasi serta area non-hutan. Total luas wilayah keseluruhan batang toru ialah 163.000 ha.Â
Kontrak pun semakin disemarakkan oleh para penggiat lingkungan karena mereka menganggap pembangunan ini merusak ekosistem di daerah batang toru dan mengancam habitat hewan yang dilindungi seperti orang utan dan hewan-hewan lainnya.
Siapa yang Paling Dirugikan Pembangunan PLTA Batang Toru ?
Pro dan kontra terus terjadi di tengah masyarakat dalam menyikapi pembangunan PLTA tersebut. Masyarakat yang berada dihulu dari sungai batang toru tepatnya di Desa Bulu Payung, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara mulai merasakan dampak negatif dari pembangunan PLTA batang toru tersebut.Â
Sikap awal mereka mendukung pembangunan tersebut kian berubah menjadi menolak, dipicu masyarakat yang ditipu oleh pihak perusahaan. Desa Bulu Payung adalah tempat yang akan dijadikan kampung utama dimana akan dibangun sebuah perkantoran, perumahan pekerja, dan gudang logistik.Â
Masyarakat awalnya mendukung niat baik dari perusahaan yang membangun PLTA tersebut, mereka berpikir dengan adanya pembangunan di desa mereka dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat tersebut.Â
Namun, kenyataan itu berbeda dari yang mereka bayangkan, masyarakat di desa tersebut tidak diterima bekerja di proyek pembangunan dengan alasan kapasitas masyarakat lokal  tidak memumpuni untuk bekerja dalam pembangunan PLTA tesebut namun kebanyakkan pekerja di pembangunan PLTA tersebut berasal dari tiongkok.Â
Ini merupakan suatu hal yang ironis dimana seharusnya pemerintah Indonesia memperkerjakan masyarakat local yang berada disekitaran pembangunan agar mereka memiliki pekerjaan dan dapat meningkatkan taraf hidup mereka bukan mendatangkan para pekerja asing untuk bekerja di Indonesia. Kesenjangan sosial ini menimbulkan kembali kontra yang dilakukan masyarakat di desa bulu payung.
Tidak hanya masyarakat di desa bulu payung saja yang merasakan dampak negatifnya tetapi masyarakat di Kecamatan Marancar juga merasakan dampak negatif dari pembangunan tersebut karena wilayah mereka merupakan pusat proyek utama PLTA yang dimana turbin dan terowongan yang merupakan hal yang vital dari proyek 510 mega watt itu dibangun didaerah mereka.Â
Hal yang memicu ketidakpuasan masyarakat marancar ialah perusahaan kerap menggunakan lahan masyarakat tapi membayar ganti rugi dengan harga tidak wajar. Masyarakat di iming-imingi oleh perusahaan jika tanahnya dijual masyarakat untung bisa usaha lain kemudian di iming-imingi bisa bekerja di perusahaan.
Akan tetapi proses jual-beli tanah itu tidak langsung perusahaan namun melalui calo. Mereka menganggap perusahaan tidak ingin terlibat langsung dengan masyarakat agar tak dapat di gugat dikemudian harinya. Perusahaaan dianggap banyak melanggar komitmen terhadap masyarakat lokal yang lahannya akan dibeli untuk dijadikan area pembangunan PLTA.Â
Perekonomian masyarakat di Marancar mulai kian menurun dan terganggu. Awalnya mereka ingin bertani dan bercocok tanam namun mereka tidak memiliki tanah, sementara mereka tidak memiliki pekerjaan lagi, uang ganti-rugi juga tidak jelas dan masih bermasalah.
Sementara di daerah hilir yakni di Kecamatan Batang Toru, masalah yang ditemukan adalah sosialisasi tentang rencana pembangunan PLTA ini tidak merata dilakukan ke seluruh masyarakat yang ada didaerah tersebut.Â
Banyak masyarakat di batang toru tidak mengetahui pembangunan tersebut padahal masyarakat yang tinggal di hilir sungai batang toru adalah wilayah yang paling rawan terkena dampak negatif dari proyek pembangunan PLTA tersebut.
Orang Hutan Tapanuli adalah Korban lain dari pembangunan PLTA Batang Toru
Dampak negatif dari pembangunan PLTA Batang Toru tidak hanya dirasakan oleh masyarakat lokal yang tinggal di wilayah pembangunan PLTA tersebut, namun juga berdampak kepada habitat orang utan yang merupakan salah satu hewan yang sudah langkah spesiesnya yang berada di wilayah hutan tapanuli.Â
Pasalnya kepadatan populasi orang utan paling banyak terdapat dilembah dan sungai Batang Toru. Pembangunan PLTA itu membuat orang utan tapanuli kehilangan sumber makanan nya.Â
Wilayah selatan dari ekosistem Batang Toru yang merupakan dataran rendah, diketahui sebagai sumber pakan orangutan Tapanuli paling banyak dibandingkan di daerah dataran tinggi ekostistem Batang Toru. semakin berkurangnya akses jelajah orangutan Tapanuli di ekosistem membuat jumlah spesies ini menurun.
Orang utan termasuk salah satu habitat yang harus dilindungi agar spesiesnya tidak punah. Namun, dengan adanya proyek pembangunan di daerah sungai Batang Toru akan berdampak langsung kepada orang utan.Â
Hal inilah yang menyebabkan pegiat lingkungan dan organisasi pelindung orang utang sangat kontra terhadap pembangunan PLTA yang dinilai merusak ekosistem. Kerugian secara umum oleh orang utan akses jalan mereka tidak ada lagi untuk mencari makan maka dari itu perlu dibuatkan sebuah hutan jembatan koridor.Â
Akan tetapi pembangunan jembatan koridor itu asesmennya harus jelas dan benar-benar orang utan yang menggunakan itu untuk akses mencari makan ya misalnya seperti terfragmentasi yang artinya harus ada penanaman pohon baru untuk menjaga ekosistem diwilaya tersebut.Â
Hal-hal seperti itu harusnya sudah ditanggulangi pihak perusahaan melihat dapat yang dirugikan dari pembangunan tersebut bukan menjadi tidak peduli akan lingkungan sekitar yang seharusnya itu tempat yang asri dan tentram sebagai tempat tinggal orang utan kini berubah menjadi sebuah bendungan besar dari sebuah proyek pembangunan PLTA.
Melakukan sebuah pembangunan mega proyek seperti membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air di Batang toru akan menimbulkan efek positif dan negatif dalam proses pelaksanaannya.Â
Akan tetapi, seharusnya pihak-pihak yang terlibat didalamnya sudah memikirkan langkah-langkah seperti apa yang harus mereka perbuat dalam mengatasi segala permasalahan yang ada akibat dampak dari pembangunan tersebut.Â
Masyarakat mengaminkan bahwasanya pembangunan PLTA tersebut telah merusak ekosistem lingkungan termasuk mempengaruhi habitat orang utan Tapanuli yang habitat aslinya berada di sekitaran hutan dan sungai Batang Toru. Pihak perusahaan harus melakukan tindakan penyelesaian masalah agar tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan.Â
Mungkin dari aspek lingkungannya, pihak perusahaan melakukan penanaman kembali pohon-pohon baru menjaga kelestarian hutan lindung disekitaran PLTA tersebut. Go green langkah yang cukup efisien untuk dilakukan agar ekosistem tetap terjaga.Â
Serta permasalahan antara masyarakat dengan perusahaan dapat diselesaikan dengan seksama bukan malah menghindar dan berusaha lari dari tanggung jawab atau tidak peduli sebagai pengelolah/pekerja proyek pembangunan tersebut.
Jika hal-hal tersebut tidak dapat diatasi oleh pihak perusahaan maka akan terjadi sebuah penolakkan dan pertikaian antara masyarakat lokal yang tinggal di daerah pembangunan PLTA Batang Toru.Â
Proyek strategis nasional juga harus memberikan win solution terhadap masalah yang ditimbulkan bukan malah mencoba selalu membenarkan diri dan tidak mencari jalan keluarnya.Â
Masyarakat dan pegiat lingkungan dan organisasi pelindung orang utan akan tetap pada prinsip mereka yakni menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang toru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H