Mohon tunggu...
Jhon Rivel Purba
Jhon Rivel Purba Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti BRIN

Hidup sederhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan dan Kota Layak Anak

28 Juli 2023   05:39 Diperbarui: 28 Juli 2023   13:24 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com)

Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa perempuan adalah pria yang tidak lengkap. Seolah-olah perempuan adalah manusia yang tidak sempurna yang selalu diidentikkan dengan fisik dan psikologis yang lemah, emosional, pasif, dan tidak memiliki pendirian. 

Hingga kini, kaum perempuan masih ditempatkan pada posisi marginal dan inferior. Bahkan mulai dari kandungan hingga nafas terakhir, perempuan sering diposisikan sebagai manusia kelas kedua. 

Budaya, agama, pendidikan, ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial, justru menjadi tembok penghambat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Akhirnya, diskriminasi terhadap perempuan semakin berurat berakar.

Sistem yang dibangun dengan cara pandang dan pemahaman laki-laki, menempatkan perempuan sebagai obyek yang bertugas mengurus anak, menyuci, menyapu, melayani suami, dan sebagainya. Istilah populernya adalah urusan 3r (dapur, sumur, dan kasur). 

Sementara posisi laki-laki ditempatkan sebagai pemimpin (baik dalam organisasi besar hingga terkecil), minimal kepala rumah tangga. Interpretasi agama yang didominasi laki-laki juga, semakin mengokohkan tembok ketidakadilan gender ini.

Memang sejak hadirnya tokoh-tokoh emansipasi perempuan seperti Raden Ajeng (RA) Kartini, Dewi Sartika, dan tokoh-tokoh lainnya, perjuangan perbaikan nasib perempuan semakin berkembang. Bahkan sekarang akses pendidikan, pekerjaan, politik, sudah terbuka lebar untuk perempuan. Namun, masih banyak persoalan serius yang menyangkut diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap perempuan.

Persoalan-persoalan tersebut diantaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang pada umumnya perempuan menjadi korban, perdagangan perempuan, kekerasan seksual di ruang publik, pemerkosaan, persoalan hak dan kesehatan reproduksi, perkawinan kontrak, poligami, buruh migran, pornografi, dan prostitusi. 

Budaya dan hukum yang sering memarginalkan perempuan, ditambah lagi dengan rasa malu, membuat perempuan yang menjadi korban jarang meminta keadilan di depan hukum. Dengan mempertahankan nama baik keluarga dan juga dirinya sendiri, perempuan-perempuan itu pun mengurungkan niatnya mengadu ke jalur hukum.

Beberapa riset menunjukkan bahwa kebanyakan perempuan korban kekerasan tidak melapor ke jalur hukum. Berdasarkan riset Komnas Perempuan pada 2020, menyatakan 80,3 persen perempuan korban kekerasan memilih diam. Kemudian dalam Jajak Pendapat Kompas pada November 2021, menyebut 61,1 persen publik juga berpendapat bahwa korban kekerasan lebih memilih diam karena takut stigma negatif dan dikriminalisasikan (kompas.id, 24/12/2021).

Kondisi demikian semakin menurunkan posisi perempuan. Sementara pelaku kekerasan tidak akan jera mengulangi perbuatannya. Pada gilirannya akan menaikkan tingkat kekerasan. Maka tidak mengherankan ketika tingkat kekerasan (pemerkosaan) meningkat setiap tahunnya. Bahkan lebih parahnya, pemerkosaan itu terjadi di ruang publik.

Dari survei yang dilakukan INFID dan IJRS pada 2020, menunjukkan bahwa lokasi yang dianggap rentan terjadi kekerasan seksual adalah tempat umum.

(Sumber: kompas.id, 4 Desember 2021)
(Sumber: kompas.id, 4 Desember 2021)

Selain itu, tubuh dan suara perempuan sering dijadikan sebagai obyek demi kepentingan bisnis dan politik. Di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan, tayangan televisi, media cetak, tempat prostitusi, hingga pada saat kampanye politik, perempuan dijadikan sebagai magnet penarik demi kepentingan ekonomi dan politik.

Selain karena sistem yang terbangun begitu rapi dengan cara pandang laki-laki, ketertindasan perempuan juga diperparah ketika kurangnya perlindungan terhadap perempuan dari diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. Tidak ada kebijakan yang sistemik dalam melindungi dan memberdayakan perempuan.

Kita sangat prihatian ketika banyak perempuan "penyumbang devisa" atau tenaga kerja wanita (TKW) yang mempertaruhkan hidupnya bahkan nyawanya di negara asing, sering mendapat tindak kekerasan. Bahkan tidak sedikit yang sudah dihukum mati di negara tempat mereka bekerja. Di mana harga diri kita sebagai bangsa yang sudah merdeka?

Sesungguhnya jutaan perempuan Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri asing adalah karena tidak ada akses pekerjaan dengan upah yang layak di negeri ini. 

Mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga karena tidak memiliki keahlian yang lain. Mereka tidak memiliki keahlian karena tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak (rata-rata hanya mengecap pendidikan sampai sekolah dasar). Mereka tidak mendapkan akses pendidikan yang layak karena negara belum sepenuhnya hadir dalam mewujudkan kecerdasan bangsa.

Seandainya RA Kartini, Dewi Kartika, S.K Trimurti, dan tokoh perempuan pendidik lainnya masih hidup, mereka pasti akan marah dan sedih melihat kaum perempuan terbelenggu dalam kebodohan, kemiskinan, serta menjadi obyek kekerasan. 

Perjuangan emansipasi perempuan dan kesetaraan gender hendaknya dimulai dari perempuan itu sendiri. Tanpa hal itu, tembok-tembok ketidakadilan dalam relasi gender akan tetap berdiri kokoh. Tanpa kesadaran dan perjuangan perempuan, maka diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap perempuan akan tetap menghiasi kehidupan.

***

Kota Layak Anak (KLA)

Pada 2023, sebanyak 360 kota/kabupaten ditetapkan dalam sejumlah kategori layak anak dari 459 daerah yang ikut dalam penilaian. Daerah yang masuk dalam kategori Utama sebanyak 19 kabupaten/kota, Nindya 76, Madya 130, dan Pratama 135 (kompas.id/23/7/2023).

Angka-angka tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika melihat angka-angka tersebut, kita optimis program Indonesia Layak Anak 2030 yang menargetkan 87 juta anak terlindungi, akan tercapai. Tetapi apakah hal ini menjminan berkurangnya kekerasan terhadap perempuan dan anak?

Program Indonesia Layak Anak harus sejalan dengan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Sebab, perempuan dan anak selalu rentan menjadi korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual. 

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) 2021, memperlihatkan bahwa dari 11.952 kasus kekerasan terhadap anak, sebanyak 7.004 (58,6 persen) merupakan kasus kekerasan seksual (kompas.id, 23/11/2022). 

Oleh sebab itu, perlindungan terhadap perempuan dan anak dari kekerasan seksual harus mendapat perhatian serius dari semua pihak, mulai dari lingkungan keluarga hingga pemerintah.

***

(Depok, 28 Juli 2023)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun