Mohon tunggu...
Jhon Rivel Purba
Jhon Rivel Purba Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti BRIN

Hidup sederhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan dan Kota Layak Anak

28 Juli 2023   05:39 Diperbarui: 28 Juli 2023   13:24 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: kompas.id, 4 Desember 2021)

Dari survei yang dilakukan INFID dan IJRS pada 2020, menunjukkan bahwa lokasi yang dianggap rentan terjadi kekerasan seksual adalah tempat umum.

(Sumber: kompas.id, 4 Desember 2021)
(Sumber: kompas.id, 4 Desember 2021)

Selain itu, tubuh dan suara perempuan sering dijadikan sebagai obyek demi kepentingan bisnis dan politik. Di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan, tayangan televisi, media cetak, tempat prostitusi, hingga pada saat kampanye politik, perempuan dijadikan sebagai magnet penarik demi kepentingan ekonomi dan politik.

Selain karena sistem yang terbangun begitu rapi dengan cara pandang laki-laki, ketertindasan perempuan juga diperparah ketika kurangnya perlindungan terhadap perempuan dari diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. Tidak ada kebijakan yang sistemik dalam melindungi dan memberdayakan perempuan.

Kita sangat prihatian ketika banyak perempuan "penyumbang devisa" atau tenaga kerja wanita (TKW) yang mempertaruhkan hidupnya bahkan nyawanya di negara asing, sering mendapat tindak kekerasan. Bahkan tidak sedikit yang sudah dihukum mati di negara tempat mereka bekerja. Di mana harga diri kita sebagai bangsa yang sudah merdeka?

Sesungguhnya jutaan perempuan Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri asing adalah karena tidak ada akses pekerjaan dengan upah yang layak di negeri ini. 

Mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga karena tidak memiliki keahlian yang lain. Mereka tidak memiliki keahlian karena tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak (rata-rata hanya mengecap pendidikan sampai sekolah dasar). Mereka tidak mendapkan akses pendidikan yang layak karena negara belum sepenuhnya hadir dalam mewujudkan kecerdasan bangsa.

Seandainya RA Kartini, Dewi Kartika, S.K Trimurti, dan tokoh perempuan pendidik lainnya masih hidup, mereka pasti akan marah dan sedih melihat kaum perempuan terbelenggu dalam kebodohan, kemiskinan, serta menjadi obyek kekerasan. 

Perjuangan emansipasi perempuan dan kesetaraan gender hendaknya dimulai dari perempuan itu sendiri. Tanpa hal itu, tembok-tembok ketidakadilan dalam relasi gender akan tetap berdiri kokoh. Tanpa kesadaran dan perjuangan perempuan, maka diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap perempuan akan tetap menghiasi kehidupan.

***

Kota Layak Anak (KLA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun