Orang lebih banyak membaca dibanding menulis? Ketika  orang diperhadapkan dengan pertanyaan  semacam ini, lantas orang akan bertanya  apa yang terjadi?
 Tentunya orang memiliki jawaban yang beragam dan bervariasi menurut sudut pandangan dalam  mencari suatu jawaban. Orang lebih banyak nonton dari pada membaca merupakan ungkapan dan pernyataan seseorang yang diangkat atas kenyataan hidup manusia yang mungkin kurang berpengetahuan.
Hal itu biasanya dinilai dari cara merangkaikan kata dalam berbicara, memberikan suatu informasi kepada orang lain yang membutuhkanya. Selain itu, ungkapan ini diangkat  seorang penulis buku  atau pun artikel serta jurnal yang submit di media masa. Kemungkinan di rasa orang kurang minat membaca karya tulisnya dan membuatkan kesal karena tidak mengalami bangga pada dirinya, yang dipublikanya dengan disadari bahwa orang lebih banyak menonton daripada membaca.
Dalam tulisan ini, saya membahaskan bagaimana mengenali penyebab orang lebih banyak nonton dibanding membaca. Saya hendak menggunakan pengalaman pribadi sendiri sebagai contoh.
Kita ketahui bahwa membaca adalah aktivitas medapatkan informasi, menganalisis dan mengidentifikasi suatu masalah. Bacaan-bacaan seperti buku, koran, jurnal, artikel dalam bentuk Pdf di media sosial dan lain-lain. Untuk memahami isi bacaan dan kemudian dijadikan sebagai suatu infomasi dengan melalui tuntutan suasana ketenngan batin, tempat duduk dalam membaca untuk  menangkap sebuah isi bacaan.Â
Namun, tidak dipungkiri bahwa lebih banyak orang tidak sanggup mengurus diri dalam susasan yang aman dan tenang  dalam membaca buku dan menangkap suatu infomasi itu.Berbeda dengan nonton. Nonton hanyalah sebuah aktivitas hiburan tanpa mengidentifikasi suatu persoalan yang disaksikan dalam layar televisi, komputer atau pun smartphon.Â
Aktivitas nonton tidak menuntut ketenangan suasana batin, tetapi bebas bisa dengan sambil berbaring di tempat tidur, duduk semau gue. Apalagi kaset film juga yang diperjualbelikan di pasar, dengan harga yang murah-meriah dibanding buku-buku yang terjual di tokoh buku.
Padahal tanpa disadari bahwa aktivitas nonton itu sebagai sebuah konsep yang diinterpretasikan atau imajinasi para pembuat adonan film. Ketika saya menulis beberapa artikel dan  dipublikasikan di media sosial seperti di Kompasiana dan kemudian share di fecebook serta instagram dengan berharap orang banyak membacanya hasil karya tulisan sendiri demi menerima  kebanggan pada diri sendiri sebagai mahasiswa.
Ternayata yang memberi tanda like dan komen hanyalah berjumlah kurang  10 orang. Dengan begitu, saya kemudian membandingkan postingan foto atau video di fecebook dan instagram ternyata lebih banyak komen dan like dibanding postingan tulisan. Dari situlah saya menyadari bahwa orang lebih banyak nonton dibanding membaca.
Saya dengan kesadaran itu mencari apa alasan yang terjadi dibalik fenomena ini di google. Dilansir dari LMP Jurnal Kampus, tentang minat membaca orang Indonesia 1 persen dibanding negara lain, dalam catatan Program from Internasional Studen Assessment for Economic Coperation and Development (OCED). Menurut Dede Yusuf yang juga wakil ketua X DPR RI, mengatakan "ada tiga faktor yang membuat tingkat membaca di Indonesia rendah. Pertama, harga buku yang mahal, kedua, akses informasi yang sulit, dan ketiga, buku yang tidak berinovasi ".
Dengan begitu merangkai informasi melalui nonton dengan menatap smartphone dan komputer,sebenarnya kurang pengalaman ilmu pengetahuan untuk merealisasikanya di lapangan. Sebab di lapangan tidak menerima tawaran pampangan video sebagai syarat untuk masuk seorang pekerja. Namun terima di lapangan adalah pengetahuan intelektual, yang di dukung berbagai sumber buku bacaan.
Kenyamanan nonton lepas dari suasana ketenangan batin yang ditawarkan, memiliki dampak yang berbahaya. Salah satu dampak negatif dari nonton adalah radiasi layar televisi, smartphone atau pun komputer. Dalam kehidupan kita sangat tergantung pada smartphone. Kita merasa sering tidak nyaman kalau duduk tanpa smartphone untuk mengerjakan tugas sekolah dan komunikasi online di via watsaap dan messenger dsb.
itu saya alami dan jujur bahwa ketika saya membaca buku untuk membuat tugas kampus, merasa bahwa membaca buku untuk mengerjakan tugas itu cukup lama untuk menangkap isi bacaan, sehingga jalan terakhirnya lari ke Google untuk mengerjakan tugas. Namun dianggap hal itu bukan sebuah kebenaran, tetapi perlu dilihat tatap layar di smartphon atau komputer dampak lebih membahayakan dibanding tatap muka di kertas buku putih.
Oleh karena itu, saya menyarankan agar membudayakan membaca buku untuk membuat tugas sekolah daripada membiasakan diri di layar smartphone atau komputer sebagai sarana utama. Kita bisa memulainya dengan membaca buku perlahan-lahan, lagian lama kelamaan akan menjadi terbiasa dan mudah menangkap alur dan isi bacaanya yang kita cari untuk mengerjakan tugas sekolah. Dengan cara-cara membaca buku inilah mata kita tetap stabil dan sejumlah informasi yang didapatkan bisa direalisasikan untuk mengajar dan memberi pengaruh kepada orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI