Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Deflasi Nyata Menghantui, Sinyal Resesi Ekonomi Makin Jelas

4 September 2020   21:38 Diperbarui: 5 September 2020   18:40 2064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi komoditas pasar tradisional. Sumber : trubus.id

Badan Pusat Statistik (BPS) telah resmi mengumumkan tingkat inflasi Indonesia sepanjang bulan Agustus 2020. 

Seperti perkiraan sebelumnya, Indonesia masih akan berkutat pada angka inflasi negatif (deflasi) setelah pada bulan Juli 2020 Indonesia mencatatkan angka deflasi pada nilai 0.10%. 

Meski tercatat mengalami perbaikan, tetapi Deflasi Agustus sebesar 0,05% semakin menambah sinyal resesi itu semakin nyata akan melanda Indonesia.

Setelah negara Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, Korea Selatan hingga Filiphina dinyatakan resesi pada bulan lalu, kini Australia resmi menyusul jurang resesi setelah ekonominya terkontraksi 7% di quartal II tahun 2020. 

Indonesia nampaknya musti mengencangkan sabuk pengaman dengan memaksimalkan berbagai stimulus fiskal untuk mendukung daya beli dan konsumsi rumah tangga.

Deflasi yang tercatat 0.05% di bulan Agustus 2015 merupakan yang pertama sejak tahun 2011 tepatnya bulan Maret-April 2011. Secara tahunan (year on year) YoY, inflasi kita tercatat 1,32% atau terendah sejak Mei 2000. 

Inflasi inti tercatat 2,03 YoY menjadi inflasi inti terendah sejak 2009. Ini menimbulkan kekhawatiran karena deflasi kali ini menggambarkan melemahnya daya beli akibat Pandemi Covid-19.

Penyumbang utama deflasi berasal dari komditas daging ayam ras sebesar -0,05% month-to-month (mtm), bawang merah sebesar -0,03% mtm, cabai merah dan telur ayam ras masing-masing menyumbang sebesar -0,02% mtm. 

Komoditas lain juga menyumbang sebesar -0,01% seperti cabai rawit, jeruk dan emas. Sementara penyumbang inflasi ada pada bawang putih dan minyak goring sebesar 0,01 % mtm.

Secara umum, deflasi terjadi karena penurunan daya beli berpengaruh pada tingkat konsumsi masyarakat, yang selama ini menjadi penopang kuat pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Rendahnya tingkat konsumsi ini berpengaruh besar pada penurunan harga di sejumlah sektor vital. Dari sisi permintaan, produsen mengalami tekanan dan ketidakpastian jangka pendek maupun jangka panjang sehingga tidak berani menaikkan harga jual barangnya.

Konsumen sendiri juga mengalami tekanan pendapatan akibat aktivitas ekonomi yang dibatasi dan PHK massal diberbagai sektor juga mempengaruhi naiknya tingkat deflasi meski sudah memasuki masa new normal.

Stimulus Fiskal

Pemerintah memang sudah melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi melambatnya pertumbuhan ekonomi dengan menjaga daya beli. Salah satu yang gencar dilakukan adalah program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang menyasar masyarakat yang benar-benar tidak mampu hingga masyarakat menengah.

Ada program Bantuan Sosial (Bansos) tunai dan non tunai, program kartu pra kerja, bantuan UMKM, Subsidi gaji khusus karyawan bergaji dibawah Rp 5 juta, Subsidi Listrik, Uang Pulsa bagi ASN, dll. 

Semuanya itu bertujuan untuk menjaga daya beli agar tingkat konsumsi rumah tangga tidak menurun. Ingat, Angka konsumsi rumah tangga kita menyumbang hampir 57% terhadap PDB kita.

Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam memepertahankan daya beli masyarakat nampaknya belum bisa mengembalikan tingkat konsumsi ke level normal karena ketidakpastian global maupun regional. Penurunan tingkat konsumsi pada masa Pandemi adalah sebuah keniscayaan atau sesuatu yang tidak terelakkan.

Pun begitu dengan upaya internal pemerintah sendiri. Stimulus fiskal dengan mendorong upaya percepatan belanja anggaran pemerintah untuk mendorong pemulihan dampak kesehatan dan ekonomi akibat pandemi. 

Presiden Jokowi bahkan menyoroti rata-rata nasional realisasi APBD 2020 hingga bulan Agustus masih berada di angka 44,74%, sementara untuk realisasi di tingkat kota dan kabupaten baru mencapai 48,4%.

Ini artinya. Hingga ujung kuartal III, realisasi belanja pemerintah tingkat daerah belum menyentuh angka 50%, dimana seharusnya realisasi belanja pemerintah di daerah sudah harus menyentuh angka 75%. 

Angka ini menyebabkan jumlah uang yang beredar semakin sedikit dan belanja modal serta realisasi terhadap bantuan sosial menjadi terhambat. Pada akhir Agustus, bahkan masih terdapat Rp 170 Triliun anggaran daerah yang belum cair dari perbankan. Ini perlu dicairkan segera.

Jika demikian kondisi Pandemi yang belum berakhir, kondisi global dan regional, kemudian rendahnya eksekusi stimulus fiskal dari pemerintah ke masyarakat  semakin membuat ancaman resesi tak terelakkan. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa PDB Indonesia pada kuartal III masih berada dibawah 0%. 

Sri Mulyani bahkan mematok di angka -1,1%. Meski akan mengalami pertumbuhan positif dibanding kuartal sebelumnya sebesar -5,32%, Indonesia tetap diprediksi akan mengalami resesi karena pertumbuhannya dibawah 0% atau minus dua kuartal berturut-turut.

Walaupun kita terjatuh di jurang resesi, bukan berarti ekonomi kita akan tenggelam selamanya. Sesuai skenario dan prediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV diprediksi akan membaik di angka 1,38%. 

Secara keseluruhan dalam setahun, PDB Indonesia diprediksi akan bertambah 0.49%, angka yang lumayan baik ditengah situasi ketidakpastian global dan pandemi yang belum berakhir.

Pada akhirnya, semua elemen butuh kepastian soal kapan Pandemi Covid-19 bisa berakhir dengan ditemukannya vaksin yang sah dan benar-benar telah melewati uji klinis. 

Jika kepastian itu sudah didapat oleh masyarakat, masyarakat akan lebih leluasa dalam membelanjakan uangnya karena vaksin memberikan kepastian menghentikan penyebaran virus yang berdampak pada psikologi pasar secara positif.

Masyarakat bahkan akan lebih gencar untuk melakukan investasi diberbagai sektor karena semua orang tentu tahu jika vaksin sudah ditemukan maka rebound pertumbuhan ekonomi dipastikan akan terjadi. 

Seperti prediksi pertumbuhan ekonomi yang dipatok dalam RUU APBN 2021 diproyeksi akan menyentuh angka 5,8% jika sesuai dengan skenario yang diharapkan.

Kepastian global dan kesehatan yang positif berpengaruh besar terhadap tingkat deflasi karena menambah gairah konsumen dalam melakukan belanja barang dan jasa. 

Mungkin deflasi berpengaruh positif terhadap sektor mikro dalam jangka pendek, tetapi untuk sektor makro dan jangka panjangnya, kondisi deflasi yang berkepanjangan akan membuat ekonomi semakin lesu, pendapatan negara menurun dan konsumsi rumah tangga yang berkurang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun