Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cikeas Family, Denny Siregar dan Masa Depan Partai Demokrat di 2024

6 Mei 2020   14:22 Diperbarui: 6 Mei 2020   14:30 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilusrasi Keluarga Cikeas dengan Denny Siregar. Sumber: tribunnews

Babak baru kasus tuduhan bullying oleh Denny Siregar kepada Anak Agus Harimurti Yudhoyono, Almira Tunggadewi Yudhoyono rupanya makin menarik untuk disimak dan dibahas.

Bagaimana tidak, sepertinya untuk menghadapi Denny Siregar, segenap kekuatan partai dikerahkan untuk mengeroyok Denny Siregar setidaknya mulai dari media sosial. 

Ada apa gerangan? Apakah Denny Siregar sebesar dan sekuat itu hingga kekuatan partai dikerahkan hanya untuk menjawab sebuah opini? Bukankah opini cukup dijawab saja dengan opini yang sesuai nalar dan logika?

Berawal dari cuitan Denny Siregar di Twitter tentang surat terbuka Almira kepada Presiden Jokowi agar segera melakukan lockdown sebagai satu-satunya opsi terbaik seperti negara lain, Denny berpendapat bahwa AHY atau keluarga Cikeas kini mulai menerjunkan anaknya ambil panggung terhadap dunia politik.

Sang Ibunda, barangkali dengan naluri keibuannya mengadu kepada Presiden Jokowi lewat cuitannya. Annisa Pohan beranggapan bahwa kasus ini perlu ditangani oleh Presiden Jokowi karena Denny Siregar adalah pendukung Jokowi.

Padahal, Denny Siregar hanyalah pendukung biasa, bukan berada didalam struktural pemerintahan Jokowi-Amin. Denny bukan pula tim resmi dari kampanye Pilpres dulu, melainkan simpatisan yang memang terlanjur jatuh hati kepada sosok Jokowi.

Protes Annisa memang tak tepat sasaran dan tidak elok, apalagi dirinya adalah menantu presiden RI ke-6 (dua periode). Dirinya mestinya menjaga marwah bapak SBY sebagai tokoh besar bangsa, bukan menurunkan wibawa beliau dengan kasus receh seperti ini.

Demokrat Sengaja Mendesain?

Partai Demokrat merupakan salah satu partai besar direpublik ini, berkat nama SBY dan keluarganya yang bernaung atau memimpin disana. Tahun 2009, partai demokrat bahkan menjadi partai paling berjaya dengan perolehan 20,85% suara di legislatif. Tetapi, perolehan itu mulai menyusut di 2014 hanya 10,19% dan tahun 2019 hanya 7,77% atau terbawah kedua setelah  saudara sejawatnya, PAN.

 Melihat angka diatas, prihatin memang melihat nasib partai sekaliber Demokrat karena pernah berjaya meski usianya masih muda. Sayangnya, SBY tak bisa lagi berkuasa, karena telah menuntaskan jabatan 2 periode. Satu sisi lagi, Demokrat krisis kader terbaik. Meski ada AHY yang sekarang diangkat menjadi ketua umum Demokrat, tetapi mayoritas anggapan masyarakat, AHY belum dan tidak akan mumpuni sebagai calon presiden.

Kegagalan di Pilgub DKI 2017 lalu, usianya yang masih muda, minim pengalaman, stereotif terhadap partai Demokrat menjadi penghalang terbesar AHY untuk berjuang. Berbanding terbalik dengan PDI-Perjuangan, yang memiliki stok kader berkualitas dan siap dimajukan macam Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, Hendrar Prihadi, dll dimana mereka ini sudah menancapkan rekam jejak meyakinkan di daerah masing-masing.

Kelemahan ini jelas menjadi batu sandungan bagi Demokrat, belum lagi kepastian bisa mencalonkan AHY 2024 belum tentu berjalan mulus karena harus memenuhi syarat Presidential Treshold sebesar 20%. Butuh sekitar 13% suara lagi untuk menggenapinya, itupun jika ada partai yang mau berkoalisi karena jejak Demokrat 2 Pilpres belakangan terlihat selalu bermain dua kaki.

Dari hitung-hitungan ini, jelas sulit mencari peluang Demokrat menang di 2024, apalagi pak Prabowo saat ini berkoalisi dengan Jokowi, besar kemungkinan Prabowo dan PDIP akan bersatu di 2024.

Lockdown sebagai Percobaan Pertama.

Dalam situasi Pandemi Covid-19, seluruh dunia dilanda tanpa kecuali. Beberapa negara menerapkan lockdown, meski tak ada satupun negara yang sukses meski lockdown dilaksanakan. Malah, beberapa negara bahkan lebih parah dari Indonesia, macam India dan Italia.

SBY terbilang kalem, mungkin sikap santainya memikirkan soal pribadinya sebagai tokoh pemersatu dalam kondisi ini, kurang tepat untuk protes sana sini, meski beberapa kali juga mengomentari kebijakan pemerintah agar menerapkan lockdown.

Tapi yang pasti, Demokrat adalah partai yang menyuarakan lockdown, disaat Jokowi sedang mencari cara agar bagaimana bisa menerapkan mengatasi Covid-19 sekaligus mempertahankan perekonomian negara. AHY juga menyampaikan hal itu dalam pidatonya sebagai ketua umum Demokrat yang baru.

Masih ingat bulan Maret lalu dimana walikota Tegal memberlakukan Lockdown secara sepihak tanpa persetujuan pemerintah pusat. Padahal, Jokowi sebelumnya dengan tegas menyatakan bahwa lockdown adalah wewenang pusat, bukan daerah. Walikota Tegal itu menutup jalan untuk menghalangi kendaraan yang mau masuk ke Tegal, hal ini tentu makin memperumit kerja pemerintah pusat, bukannya malah mempermudah.

Anda tau dari partai mana yang mengusung walikota tersebut? Ya, tentunya dari Demokrat, mantan ketua DPC Demokrat di Brebes. Walikota Malang juga sempat menerapkan lockdown, kader Demokrat itu sendiri. Tak ketinggalan Gubernur Papua, Lucas Enembe yang merupakan kader Demokrat.

Dari kasus diatas, narasi lockdown bukan tanpa disengaja, tetapi dibangun lewat partai secara terorganisir agar semua kader dibawah menerapkan dengan mengabaikan instruksi dan komando dari pusat.

Padahal, kita mestinya berkaca, tidak ada negara yang sukses menerapkan lockdown, malah yang terjadi adalah masalah sosial lainnya seperti kelaparan, kerusuhan, kriminalitas, dan lain-lain.

Kini, narasi lockdown sepertinya gagal digaungkan oleh petinggi partai, bahkan oleh SBY sebagai usaha untuk mengambil simpati rakyat hingga sang anak yang masih SD bisa jadi dijadikan tumbal pencari simpati rakyat.

Apa pasal? Anak SD mana yang paham betul tentang konsep lockdown sebuah negara secara lengkap dan komprehensif? Tentu logika berpikir kita mengatakan bahwa Almira didalangi oleh sang Ayah, Ibu atau jangan-jangan juga suara sang Pepo.

Jika iya berarti ini adalah titipan, titipan entah dalam niat baik memberi saran atau sekedar sindiran sehingga sampai di posting di media sosial dan dari analisis dan latar belakang tadi, bisa jadi suara Almira kepada Presiden Jokowi adalah suara segenap partai itu sendiri, demi 2024 yang memang peluang untuk mencari koalisi pun terbilang amat susah. 

Layakkah suara Partai ditangung dipunggung seorang anak SD yang harusnya memikirkan tentang cita-cita originalnya? Biar anda saja yang menilai. Dengan demikian, siapakah yang melakukan bullying? Denny Siregar, atau keluarga itu sendiri hingga kekuatan Demokrat dihimpun melawan Denny Siregar? Anda yang menilai juga.

Opini Denny Siregar mestinya dicerna dengan baik, tak perlu pula mengaitkan dengan Presiden Jokowi karena Presiden Jokowi sedang sibuk mengurusi Corona dan dampak yang diakibatkannya.

Tapi memang ada sesuatu yang menarik, karena Demokrat harus menurunkan Ferdinand Hutahean, Jansen Sitindaon, Didik Mukrianto, Andi Arief hingga Rachland Nashidik diturunkan sebagai line up garda terdepan melawan Denny Siregar.

Terbaru, Demokrat akan mengajukan kasus ini ke ranah Hukum jika Denny Siregar tidak minta maaf dan menuruti somasi dari Demokrat. Sungguh sebuah ironi, gara-gara membasmi kancil, segenap Tank, Heli, dan Jet Tempur dikerahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun