KPK saat ini ibarat di ujung tanduk. Bagaimana tidak, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui rapat paripurna yang digelar pada Kamis, 5 September 2019 lalu membahas usulan Badan Legislasi (Baleg) atas revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK. Meski wacana ini sudah terkubur bertahun-tahun, tetapi menjelang periode DPR RI 2014-2019, UU KPK ini kemudian dimunculkan. Anehnya, saat rapat paripurna, semua fraksi menyetujui agar dilakukan revisi terhadap UU KPK. Ketukan palu pimpinan rapat saat ini menjadi pertanda bahwa rancangan revisi UU KPK telah sah menjadi RUU Inisiatif DPR.
Adapun poin kesepakatan DPR yang dihasilkan dari rapat paripurna tersebut adalah:
KPK menjadi cabang kekuasaan eksekutif, pegawai KPK menjadi ASN (pasal 1 dan 24)
-
Penyadapan harus seizin dewan pengawas KPK (pasal 12)
KPK harus sinergi dengan Lembaga Penegak Hukum lain sesuai dengan hukum acara pidana (Pasal 6, 43, dan 45)
Instansi/Kementerian/Lembaga wajib selenggarakan LHKPN sebelum dan setelah akhir masa jabatan (pasal 7)
Tugas KPK diawasi oleh Dewan Pengawas berjumlah 5 orang dibantu oleh Organ Pelaksana Pengawas (Pasal 37)
KPK berwenang menghentikan Penyidikan dan Penuntutan (SP3) Tindak Pidana Korupsi (Pasal 40)
Dari 6 poin di atas, ada beberapa pasal yang sangat memberatkan kinerja KPK kedepannya. Misalnya soal poin pertama, jika KPK menjadi cabang kekuasaan eksekutif, maka KPK tidak lagi menjadi lembaga independen atau menjadi lembaga pemerintah. Selama ini, KPK bukan bagian dari pemerintah, tetapi lembaga ad hoc Independen.
Kemudian masalah pegawai KPK yang akan berstatus sebagai ASN, dengan demikian pegawai KPK akan tunduk kepada UU ASN dimana UU ASN sangat membatasi ruang gerak para pegawai KPK dalam melakukan tindakan penyidikan dan penyelidikan perkara. Independesi para pegawai KPK akan semakin dibatasi serta sangat rawan terhadap berbagai intervensi saat melakukan tugasnya.
Poin berikutnya yang sangat krusial adalah, KPK diharuskan diawasi oleh dewan pengawas yang bersifat non-struktural dan mandiri. Artinya, akan ada badan atau pihak yang berstatus lebih tinggi dari ketua dan wakil ketua KPK. Dewan pengawas ini nantinya akan bertugas untuk memberikan izin atau tidak soal penyadapan, penggeledahan dan penyitaan serta menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.
Dewan pengawas ini secara psikologis akan menambah beban dan pekerjaan KPK. Bagaimana mungkin KPK bisa bekerja efektif dan efisien jika usaha untuk menyadap pun harus menunggu persetujuan dari dewan pengawas? Bagaimana independensi dari dewan pengawas tersebut dalam melakukan pengawasan dan memberikan izin jika anggota KPK sedang atau akan menggeledah orang dekat, kenalan atau keluarga dari dewan pengawas?
Masalah berikutnya yang sangat menggoyang independensi KPK sebagai lembaga anti rasuah adalah soal pengangkatan penyelidik dan penyidik. Dalam UU KPK yang berlaku, tidak ada aturan bahwa penyelidik KPK harus berasal dari Polri, namu dalam revisi UU pasal 43 disebutkan bahwa penyelidik harus diangkat dari kepolisian RI. Padahal, dalam pasal 45 yang berlaku saat ini dinyatakan bahwa penyidik KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Jika Revisi UU disahkan, maka kepolisian akan mencampuri terlalu dalam soal pemberantasan korupsi, padahal KPK dibentuk karena ketidakmampuan POlRI dalam memberantas korupsi di negeri ini.
Presiden "Sangat Bisa" Membatalkan Revisi UU KPK
Jika para anggota DPR dari semua fraksi sudah sepakat untuk revisi UU KPK, sekarang bola panas ada ditangan presiden Jokowi. Sebuah RUU harus disetujui oleh Legislatif dan Eksekutif barulah sah menjadi sebuah produk UU yang sah. Presiden Jokowi sebagai pimpinan lembaga eksekutif dinanti sikap tegas dan keputusannya untuk menolak revisi UU KPK yang menjadi usulan DPR ini.
Presiden Jokowi memiliki hak untuk tidak mengirim surat presiden (Surpres) ke DPR sebagai bentuk sikapnya dari eksekutif agar revisi tersebut tidak berjalan. Jika Presiden berani tidak mengirimkan Supres, maka RUU Inisiatif milik DPR tidak akan menjadi UU baru yang akan mengubah sistem di KPK.
Cara berikutnya yang bisa dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah meminta partai koalisinya atau pendukungnya untuk tidak meneruskan pembahasan RUU KPK. Partai pendukung Presiden Jokowi lebih dari 60% di DPR sehingga memiliki power yang besar untuk membatalkan revisi UU ini. Cara ini sedikit banyak dilematis karena yang memunculkan revisi UU KPK adalah inisiatif dari para anggota DPR dari fraksi pendukung pemerintah itu sendiri, terutama partainya sang Presiden, PDI-Perjuangan.
Jika presiden ingin menguatkan KPK sebagai lembaga yang independen dalam pemberantasan korupsi, maka sudah seharusnya Presiden Jokowi juga menempuh berbagai upaya agar tak ada intervensi yang mengganggu kinerja KPK serta independensinya sebagai pemberantas korupsi di negeri ini.
Ini sekaligus menjadi pertaruhan bagi Presiden Jokowi. Jika Jokowi tidak menyetujui Revisi UU KPK, maka tingkat keyakinan publik terhadap dirinya sebagai Presiden dan mendukung pemberantasan korupsi akan semakin tinggi. Jika Jokowi melakukan hal yang sebaliknya, maka kepercayaan masyarakat akan semakin menurun serta janji kampanye soal pemberantasan korupsi hanyalah sekedar janji belaka.
Selain upaya pelemahan lembaga pemberantas korupsi ini, Presiden juga perlu mempertimbangkan aspirasi publik terhadap revisi UU KPK ini. Tidak pernah ada masyarakat dari berbagai institusi perhatiannya seantusias ini dalam menolak sebuah Revisi UU, artinya apa? Artinya Rakyat memahami dan menginginkan agar UU KPK tidak perlu direvisi karena akan membatasi ruang gerak KPK, kewenangan KPK, independensi, dan berbagai hak KPK.
KPK juga bersikap sama dengan publik, mulai dari komisioner hingga para pegawainya mengeluarkan reaksi yang sama bahwa Revisi UU KPK ini harus ditolak. Satu-satunya cara adalah dengan berharap kepada Presiden Jokowi agar tidak menyetujui Revisi UU KPK, tidak ada jalan lain. KPK dan publik berharap besar pada Presiden Jokowi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H