Sektor manufaktur yang pertumbuhannya menurun menjadi salah satu penyebab utamanya. Meski menyumbang terhadap PDB sebesar 19,52%, pertumbuhannya hanya sebesar 3,54% melambat dari periode yang sama di 2018 sebesar 3,88%. Ekspor utama Indonesia adalah Batubara dan CPO minyak sawit. Penurunan harga berpengaruh besar terhadap nilai ekspor yang merupakan penunjang utama perolehan PDB. Kondisi perekonomian global yang tak menentu juga menjadi penyebabnya, apalagi perang dagang antara AS dan Tiongkok masih belum mereda.
Mestinya, jika ditelisik dari faktor konsumsi, pertumbuhan ekonomi kuartal II harusnya mencatatkan pertumbuhan yang positif atau lebih besar karena didorong oleh faktor konsumsi yang tinggi karena bulan Ramadhan dan Pilpres. Jika seandainya bulan Ramadhan dan Pilpres tidak ada, maka logikanya pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II akan jauh menurun dari angka 5,05%.
Investasi juga tak kalah berperan dalam penurunan PDB pada kuartal II 2019. Investasi yang berkontribusi 1,59 persen terhadap PDB, justru mengalami perlambatan signifikan, yakni hanya tumbuh 5,01 persen. Jauh di bawah pertumbuhan kuartal II-2018 yang sebesar 5,85 persen. Investasi yang menurun ini disebabkan oleh situasi politik dan sosial terutama soal pasca Pilpres dan berita sosial yang sangat berpengaruh terhadap persepsi para investor.
Terbaru, saat lebih dari 30 perusahaan asing minggat dari Tiongkok, tak satupun yang melirik Indonesia. Mereka lebih memilih Vietnam daripada Indonesia. Alasan keamanan dan stabilitas menjadi alasan utamanya. Indonesia dalam beberapa bulan ini digoncang dengan berbagai berita yang menguras pikiran, seperti aksi 22 Mei, aksi demonstrasi Papua, kasus Ras, aksi buruh untuk kenaikan upah dan masalah-masalah lain yang sebenarnya tidak perlu dicampur aduk pemerintah.
Faktor berikutnya yang membuat Investor mengabaikan Indonesia adalah proses perizinan yang berbelit-belit. Meski sudah berusaha disederhanakan oleh presiden Joko Widodo, nyatanya para investor lebih memilih proses perizinan Vietnam karena lebih sederhana dan cepat.
Di sisi yang lain, faktor ekonomi global berpengaruh besar dan sangat menentukan terhadap Indonesia. Karena perang dagang, resesi dan kondisi negara raksasa ekonomi, IMF sampai harus memangkas pertumbuhan ekonomi dari 3,3% menjadi 3,2% saja untuk tahun 2019. IMF juga hanya mematok 3,5% untuk tahun 2020, angka yang bisa saja lebih rendah berdasarkan perkembangan ekonomi dunia terbaru.
Optimis?
Di tengah kondisi perekonomian global yang tak menentu, resesi berbagi ekonomi negara, penurunan pertumbuhan ekonomi negara didunia, angka pertumbuhan ekonomi dunia masihkah Indonesia bisa optimis? Masihkan Indonesia bisa mencapai asumsi makro pertumbuhan ekonomi RAPBN 2019 sebesar 5,3%? Apakah pertumbuhan ekonomi kuartal III yoy bisa bertumbuh diatas 5,17%? Jawabannya  adalah masih bisa bertumbuh sesuai harapan.
Kunci dari target pertumbuhan tersebut adalah inflasi, Investasi, Ekspor, dan Konsumsi. Inflasi per tahun 2019 terbilang cukup dapat ditekan oleh pemerintah. Per Agustus 2019 saja, tingkat inflasi hanya menyentuh angka 0,12% lebih rendah dibanding bulan Juli sebesar 0,31%. Keseluruhan per 2019 hingga September, Inflasi hanya sebesar 2,48% masih dibawah target 3,5% apalagi trendnya sedang menurun. Jika inflasi bisa ditekan lagi, maka BI bisa menurunkan suku bunga acuannya untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi.