Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Dolar AS akan Tembus Rp 15.000 pada Tahun 2020, Ini Sebabnya!

15 Juni 2019   19:51 Diperbarui: 16 Juni 2019   08:47 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Minyak sawit Indonesia (Sumber: merdeka.com/shuttershock)

Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS selalu berada di atas Rp 14.000,00 sejak tahun 2018 dan jika sampai menyentuh di bawah level 14.000, angka tersebut hanya bertahan dalam beberapa hari saja. Belakangan, nilai tukar Rupiah semakin menurun terhadap Dolar AS. Per Juni 2019 saja, Dolar AS berada di kisaran Rp 14.300,00. 

Asumsi dari pemerintah semakin mendukung jika Dollar AS bisa menyentuh angka Rp 15.000,00 dan lebih karena berbagai faktor terutama karena ketidakpastian ekonomi global yang masih fluktuatif diprediksi masih akan terjadi pada tahun 2020 mendatang.

Bank Indonesia juga membuat pernyataan yang hampir mendekati, d imana BI memprediksi jika tahun 2020 Rupiah akan menyentuh angka Rp 14.900,00/ Dolar AS. Bukan tidak mungkin, angka tersebut bisa lebih besar, dan mungkin juga lebih kecil dari prediksi BI.

Imbas Perang Dagang AS VS Tiongkok

Ilustrasi perang dagang antara Tiongkok vs AS yang saling beradu strategi dan tidak mau kalah (Sumber: dailyreckoning.com.au)
Ilustrasi perang dagang antara Tiongkok vs AS yang saling beradu strategi dan tidak mau kalah (Sumber: dailyreckoning.com.au)
Perang Dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok menjadi salah satu penyebab utama dari fluktuasi dan prediksi pelemahan nilai rupiah tahun 2020. Jika tidak ada kesepakatan positif antara Trump dan Xi JinPing, maka negara-negara lainnya akan terkena imbasnya terutama negara miskin dan negara berkembang, salah satunya negara Indonesia. 

Bagi Indonesia sendiri, baik AS maupun Tiongkok merupakan dua negara yang sangat dibutuhkan Indonesia terutama dalam hal ekspor maupun impor. 

Merujuk kepada pengaruh nilai kurs rupiah, salah satu faktor utamanya adalah tingkat ekspor negara Indonesia itu sendiri. Jika AS dan Tiongkok saling membatasi ekspor dan impor mereka, maka Indonesia akan kena imbasnya secara langsung.

AS dan Tiongkok merupakan dua negara utama tujuan ekspor non-migas negara Indonesia, terutama bahan baku. Pada 2018, Tiongkok menguasai 15,38% pasar ekspor Indonesia dengan nilai 14,48 Miliar Dolar AS. Sedangkan AS menguasai pasar ekspor Indonesia sebesar 10,29% dengan total nilai 10,11 Miliar Dolar AS. Dengan demikian, kedua negara tersebut berperan vital terhadap sumbangan ekspor negara Indonesia dengan persentase lebih dari 30%. 

Perang dagang akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat akibat tarif tinggi yang dikenakan oleh Trump terhadap produk unggulan Tiongkok, yaitu teknologi dan komunikasi. Jika pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat, maka Tiongkok akan berusaha melakukan pembatasan kegiatan impor bahan baku dan melakukan pencarian alternatif bahan baku sendiri dari dalam negeri.

Jika hal itu terjadi, maka aktivitas ekspor negara Indonesia terhadap Tiongkok menjadi imbasnya. Nilai ekspor negara Indonesia akan semakin berkurang bahkan mengakibatkan defisit bagi neraca perdagangan negara Indonesia. Sementara satu sisi, impor negara Indonesia terhadap Tiongkok tidak akan pernah menurun, justru sebaliknya karena tingkat konsumsi negara Indonesia yang semakin tinggi dan kurangnya industri manufakturing di Indonesia.

Tingginya impor dan defisit neraca perdagangan

Grafik dan tabel neraca perdagangan RI tahun 2013-2018. Tampak pada 2018, defisit neraca perdagangan sebesar 8,57 Miliar Dolar AS. (Sumber: ekonomi.bisnis.com)
Grafik dan tabel neraca perdagangan RI tahun 2013-2018. Tampak pada 2018, defisit neraca perdagangan sebesar 8,57 Miliar Dolar AS. (Sumber: ekonomi.bisnis.com)
Tahun 2018, Indonesia untuk pertama kalinya sejak tahun 1975 mencapai defisit Impor senilai 8,57 Miliar Dolar AS. Defisit ini disebabkan oleh defisit sektor migas (minyak mentah dan hasil minyak) masing-masing sebesar 4,04 Miliar Dolar AS dan 15,95 Dolar AS. Berbanding terbalik dengan sektor non-migas, Indonesia mencatatkan surplus sebesar 3,84 Miliar Dolar.

Nilai ekspor sepanjang tahun 2018 sebesar 180,06 Miliar Dolar AS sedangkan nilai Impor Indonesia mencapai 188,63 Miliar Dolar AS. Dibandingkan dengan tahun 2017, ekspor negara Indonesia hanya tumbuh sebesar 6,65% sedangkan impornya tumbuh jauh sebesar 20,15%. 

Jika tahun 2018 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan secara keseluruhan sebesar 8,57 Miliar Dolar AS, maka bukan tidak mungkin neraca perdagangan tahun 2019 dan 2020 akan mengalami defisit yang lebih besar lagi karena tred defisit neraca perdagangan kita semakin besar alias per tahun 2018 merupakan yang terburuk sejak 1975. 

Gejolak perekonomian yang  tidak pasti, hampir dimungkinkan nilai pertumbuhan ekspor Indonesia tahun 2020 tidak akan mampu mencapai angka 6,65% seperti tahun 2018 sementara tingkat impor biasanya tidak akan pernah menurun, tetap akan naik sejalan dengan mengingkatnya kebutuhan dalam negeri.

Jika defisit semakin naik, maka nilai Rupiah akan semakin melemah terhadap Dolar AS karena kita lebih banyak melakukan transaksi Dolar dari negara lain dibandingkan dengan memutar nilai rupiah. 

Berdasarkan simulasi ReforMiner, setiap inflasi sebesar 1 Miliar Dolar AS, maka nilai rupiah akan melemah senilai Rp 455,00. Hal yang wajar mengapa Dolar tetap berada di atas Rp 14.000,00 dengan kondisi defisit neraca perdagangan kita lebih dari 8 Miliar Dolar AS.

Stagnasi Harga Komoditas

Minyak sawit Indonesia (Sumber: merdeka.com/shuttershock)
Minyak sawit Indonesia (Sumber: merdeka.com/shuttershock)
Indonesia saat ini masih mengandalkan komoditas seperti Batubara dan minyak kelapa sawit mentah sebagai komoditas unggulan dalam ekspor. Minyak kelapa sawit misalnya, larangan ekspor dari Uni Eropa terhadap CPO Indonesia merupakan ancaman terbesar bagi komoditas sawit Indonesia mengingat Eropa adalah importir kedua terbesar setelah India kemudian disusul Tiongkok. 

Per tahun 2018, ekspor CPO Indonesia meningkat 8% ( 34,71 juta ton) dari tahun sebelumnya sebesar 32,18 juta ton. Khusus Uni Eropa, Indonesia memasok sebesar 4,7 juta ton atau total 14% dari ekspor keseluruhan. Isu tidak ramah lingkungan, deforestasi (pembalakan hutan secara liar) dan tidak bisa digunakan sebagai biodiesel menjadi alasan utama Uni Eropa untuk mengurangi bahkan menutup impor CPO Indonesia.

Meski kebijakan tersebut mulai akan diberlakukan tahun 2024, secara psikologis akan berpengaruh kepada petani sawit Indonesia secara nasional dan dipastikan Uni Eropa tidak akan menaikkan permintaan jumlah CPO dari Indonesia. 

Pun demikian dengan Batubara, dengan berbagai faktor ekonomi dunia dan perang dangan AS dengan Tiongkok, pada negara tertentu seperti Tiongkok permintaan akan batubara bisa berkurang. Padahal, Tiongkok mengimpor 44,8 juta ton batu bara pada tahun 2018 kedua terbanyak setelah India sebesar 99,14 juta ton.

Selain faktor tersebut, satu sisi jumlah permintaan terhadap batubara akan semakin berkurang sebesar 15,7% sebagaimana diungkapkan oleh Badan Energi Internasional ( IEA) dengan alasan faktor perubahan iklim. Dewasa ini, negara-negara berkembang dan maju sudah lebih condong ke pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber daya energi dibanding dengan migas dan tambang. 

Berkurangnya permintaan negara importir dan persepektif renewable energy membuat Indonesia mau tidak mau harus mencari alternatif ekspor yang baru atau pengelolaan batubara dan CPO menjadi alternatif energi yang lain. 

Sejalan dengan itu, ekspor negara Indonesia akan berkurang dan mengakibatkan defisit neraca perdagangan semakin bertambah, ditambah lagi dengan nasib para petani sawit dan komoditas ekspor di Indonesia akan semakin terancam.

Kebijakan moneter The Fed

Gedung Federal Reserve, Bank Central AS. sumber : kompas.com
Gedung Federal Reserve, Bank Central AS. sumber : kompas.com
The Fed dalam rencana jangka panjangnya masih akan menaikkan suku bunga hingga tahun 2020. Hal ini akan menimbulkan tekanan suku bunga dalam negeri juga. Tingkat suku bunga yang tinggi dalam kisaran 2-3% tersebut membuat aliran modal asing akan cenderung menuju negara maju. 

Jika AS perang dagang berpengaruh negatif terhadap perekonomian AS, maka Bank Sentral AS mau tidak mau harus menaikkan suku bunga guna mengamankan skala perekonomian makro dan mikro, perkembangan domestik khususnya neraca dagang dan transaksi berjalan. Hal ini akan berimbas kepada seluruh nilai mata uang didunia, terutama mata uang yang paling rentan seperti Rupiah.

Melemahnya nilai rupiah dalam perhitungan perkembangan perekonomian masih dalam realistis jikapun mencapai angka Rp 15.000,00. Indonesia sebagai negara maju masih sangat tergantu kepada negara dua negara adikuasa yakni AS dan Tiongkok. 

AS dan Tiongkok adalah sasaran utama ekspor Indonesia, demikian juga Indonesia sangat tergantung kepada kedua negara ini sebagai negara asal impor produk bagi negara Indonesia. Jika kedua negara ini bergejolak, maka Indonesia juga akan merasakan multiplier effectnya ditambah dengan fluktuasi perkembangan perekonomian Indonesia yang mengalami ketidakpastian membuat Indonesia harus memiliki banyak alternatif dalam mengatasi defisit neraca perdagangan agar nilai rupiah bisa bertahan atau tidak ingin mencapai angka 15.000,00

Angka Rp 15.000,00/ Dolar AS merupakan angka yang sangat menyentuh kemanusiaan Indonesia secara psikologis karena sejak tahun 1998, Indonesia tidak pernah mencapai angka tersebut, padahal negara kita tidak sedang dalam keadaan krisis moneter. Akan banyak efek lain yang muncul jika angka tersebut tersentuh. 

Tetapi, prediksi ini lebih kepada faktor eksternal, artinya Indonesia tetap masih bisa mengatasi sendiri dengan berbagai kebijakan moneternya, kebijakan impor, penambahan jumlah negara sasaran ekpor, variasi komoditas, pembangunan industri manufakturing, hilirisasi migas, dan lain-lain sehingga akan mengurangi defisit neraca berjalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun