Selain faktor tersebut, satu sisi jumlah permintaan terhadap batubara akan semakin berkurang sebesar 15,7% sebagaimana diungkapkan oleh Badan Energi Internasional ( IEA) dengan alasan faktor perubahan iklim. Dewasa ini, negara-negara berkembang dan maju sudah lebih condong ke pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber daya energi dibanding dengan migas dan tambang.Â
Berkurangnya permintaan negara importir dan persepektif renewable energy membuat Indonesia mau tidak mau harus mencari alternatif ekspor yang baru atau pengelolaan batubara dan CPO menjadi alternatif energi yang lain.Â
Sejalan dengan itu, ekspor negara Indonesia akan berkurang dan mengakibatkan defisit neraca perdagangan semakin bertambah, ditambah lagi dengan nasib para petani sawit dan komoditas ekspor di Indonesia akan semakin terancam.
Kebijakan moneter The Fed
Jika AS perang dagang berpengaruh negatif terhadap perekonomian AS, maka Bank Sentral AS mau tidak mau harus menaikkan suku bunga guna mengamankan skala perekonomian makro dan mikro, perkembangan domestik khususnya neraca dagang dan transaksi berjalan. Hal ini akan berimbas kepada seluruh nilai mata uang didunia, terutama mata uang yang paling rentan seperti Rupiah.
Melemahnya nilai rupiah dalam perhitungan perkembangan perekonomian masih dalam realistis jikapun mencapai angka Rp 15.000,00. Indonesia sebagai negara maju masih sangat tergantu kepada negara dua negara adikuasa yakni AS dan Tiongkok.Â
AS dan Tiongkok adalah sasaran utama ekspor Indonesia, demikian juga Indonesia sangat tergantung kepada kedua negara ini sebagai negara asal impor produk bagi negara Indonesia. Jika kedua negara ini bergejolak, maka Indonesia juga akan merasakan multiplier effectnya ditambah dengan fluktuasi perkembangan perekonomian Indonesia yang mengalami ketidakpastian membuat Indonesia harus memiliki banyak alternatif dalam mengatasi defisit neraca perdagangan agar nilai rupiah bisa bertahan atau tidak ingin mencapai angka 15.000,00
Angka Rp 15.000,00/ Dolar AS merupakan angka yang sangat menyentuh kemanusiaan Indonesia secara psikologis karena sejak tahun 1998, Indonesia tidak pernah mencapai angka tersebut, padahal negara kita tidak sedang dalam keadaan krisis moneter. Akan banyak efek lain yang muncul jika angka tersebut tersentuh.Â
Tetapi, prediksi ini lebih kepada faktor eksternal, artinya Indonesia tetap masih bisa mengatasi sendiri dengan berbagai kebijakan moneternya, kebijakan impor, penambahan jumlah negara sasaran ekpor, variasi komoditas, pembangunan industri manufakturing, hilirisasi migas, dan lain-lain sehingga akan mengurangi defisit neraca berjalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H