Situasi tersebut dikhwatirkan akan terjadi di negara Indonesia dalam beberapa waktu yang akan mendatang. Ketidakmampuan membatasi antara aktivitas politik dengan kegiatan keagamaan akan membawa masalah baru yang memicu berbagai permasalah sosial yang berakibat fatal bagi persatuan negara Indonesia.
Seseorang calon tidak akan dilihat lagi berdasarkan kecakapan dirinya dalam memimpin, tetapi membuat agama menjadi penentu utama siapa yang akan layak dipilih. Seorang calon yang memiliki elektabilitas yang tinggi tidak akan terpilih lagi hanya karena latar belakang agama yang berbeda, padahal seorang kepala daerah bertugas untuk mengadministrasikan keadilan sosial bagi rakyat yang dipimpinnya. Masalah agama adalah masalah pribadi seseorang dengan Tuhannya, bukan masalah seorang gubernur atau bupati dengan Tuhannya.
Seorang Gubernur atau Bupati adalah pemimpin bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya sehingga harus bisa seadil-adilnya dan sebaik-baiknya berkasih sayang dan berkebijakan yang sama kepada masing-masing umat yang dipimpinnya. Demikian juga para pendeta, ulama, ustad, harus bisa memberikan pelajaran dan teladan hidup yang benar sesuai kaidah dasar agamanya masing-masing agar materi ceramah dan kutbah tidak menyimpang dari tema yang akan disampaikan.
Begitu juga dengan calon yang akan dipilih, kemampuan menguasai dan membedakan aktivitas politik dengan aktivitas agama wajib menjadi kemampuan dasar agar menjadi calon pilihan. Kebiasaan terbaru dan terpanas selama pemilihan kepala daerah kali ini, calon terpilih akhirnya terpancing juga kedalam isu primordialisme yang begitu sensitif ini. Bahkan seorang calon yang terkenal pluralistik dan anti terhadap golongan ekstemes seketika saja berubah pikiran dan haluan menjadi pro dan pemuja kelompok ektremestis yang pada faktanya bukanlah kelompok yang menjaga kebhinekaan Indonesia.
Usaha untuk mencampuradukkan kegiatan politik dengan agama sepertinya sedang menjerumuskan Indonesia kembali kemasa Renaissance, dimana agama menjadi komoditas utama dalam kegiatan berpolitik, begitu juga dengan politik menjadi komoditas utama dalam hal beragama. Indonesia adalah negara demokrasi yang Pancasilais, bukan demokrasi yang liberal. Demokrasi yang dianut Indonesia bahkan mengedepankan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam dasar negaranya, bukan “Keagamaan yang Maha Esa”.
Prinsip ke-Tuhanan tersebut bersifat universal, artinya siapa saja bisa dan berhak untuk memuji Tuhan, memiliki Tuhan, dan mengakui Tuhan tanpa ada yang membatasi, termasuk agama tertentu. Prinsip ke-Tuhanan telah memberikan jaminan jika sistem demokrasi Indonesia tetap menjunjung tinggi etika dan moral beragama, tetapi bukan menjadikan agama sebagai sarana politik.
Berbeda dengan negara yang konstitusinya berdasarkan agama seperti Vatikan, Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, dan lain-lain, konstitusi negara-negar tersebut memang sudah jelas, dari awalnya berkonstitusi kepada satu agama saja dengan demikian segala bentuk peraturan hukum, tata negara, administrasi, eksekusi, birokrasi, dan segala bentuk kebijakan dilakukan berdasarkan hukum agama yang diresmikan.
Indonesia, negara yang mengakui keberadaan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Tionghoa menjadi warna tersendiri bagi dunia Demokrasi. Demokrasi adalah demokrasi, sistem pemerintahan yang berdasarkan kerakyatan. Rakyat yang mana? Seluruh rakyat yang ada di negara Indonesia tanpa membedakan SARAnya. Demokrasi adalah sistem pemerintahan dan politik yang menjamin kebebasan untuk memilih dan dipilih sesuai keyakinan dan kemampuannya terhadap seseorang dengan jumlah suara 1 untuk masing-masing. Jika sistem politik dicampur adukkan dengan agama, maka demokrasi bukanlah sebuah demokrasi lagi, tetapi sudah menjadi sebuah negosiasi politik berkedok agama, dan negosiasi agama berkedok politik.
Barang Murahan
Pernahkah anda berkunjung ke Pasar Senen? Tempatnya pakaian-pakaian bekas nan murah. Modal 50 ribu rupiah saja anda dipastikan pulang dengan kantong plastik besar berisi pakaian bekas seharga lima ribuan. Seperti itulah agama terlihat begitu murah dan murahan saat dijadikan sebagai komoditas dalam dunia politik. Agama terlihat begitu nista, tak bernilai ketika para pemuka-pemuka agama diadu dan disugesti untuk menceramahkan aktivitas politik, pilihan politik, serta siapa yang layak dalam aktivitas pemerintahan.
Yang lebih menyita perhatian, aktivitas murahan tersebut dilakukan di rumah-rumah ibadah. Sang pemuka agama dalam rumah ibadah tersebut berbicara layaknya diskusi orang-orang yang angkat satu kaki di tempat duduk warung kopi. Kutbah diisi dengan hinaan kepada salah satu pasangan calon, doa-doa yang buruk kepada orang lain padahal sebenarnya mereka tahu jika doa itu pada dasarnya baik-baik, bukan mendoakan orang yang buruk-buruk.