Dalam sejarahnya, Demokrasi diciptakan untuk menciptakan dan mendapatkan keutuhan dan keadilan soal masalah pemerintahan, hak dan kewajiban, dan berbagai sendi kehidupan. Abad ke-5 SM, Demokrasi diciptakan di kota Athena, Yunani untuk menggantikan kekuasaan aristokrat yang hanya dimiliki oleh kaum elit saja. Dunia demokrasi menggunakan sistem pemilihan dengan suara terbanyak (Vooting) dimana masing-masing individu memilki jumlah suara yang sama yaitu 1 (satu) tanpa memandang status, posisi, kedudukan, wibawa, dan kemampuan individu yang dimiliki.
Dengan sistem tersebut, Demokrasi dimaksudkan agar sesuai dengan kaidah dasarnya yang berasal dari kata demos (rakyat)  dan kratos(kekuatan/pemerintahan), pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi menjunjung tinggi persamaan Hak Asasi Manusia (HAM) tanpa adanya intimidasi dalam menentukan pilihan. Demokrasi memberikan jaminan tempat dan waktu kepada seseorang untuk dipilih dan memilih sesuai dengan keyakinan dan kemampuannya masing-masing.
Pada awalnya, demokrasi dilakukan dengan cara musyawarah karena masih berada dalam ruang lingkup yang sempit, mirip dengan kegiatan rapat. Musyawarah jelas mendapatkan hasil terbaik daripada sekedar voting karena musyawarah tentu melalui pertimbangan-pertimbangan dan persetujuan peserta yang bermusyawarah. Lambat laut, luasnya wilayah yang mengadopsi demokrasi semakin luas, bahkan saat ini menjadi sistem pemerintahan yang paling banyak digunakan didunia karena ketidakmungkinan untuk melakukan musyawarah dalam suatu negara terutama negara-negara yang besar seperti Indonesia, Tiongkok, Amerika Serikat, dan lain-lain.
Mau tidak mau, voting adalah sistem terbaik untuk menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin meski sebenarnya hasil suara terbanyak belum tentu pemimpin terbaik yang terpilih nantinya. Tetapi begitulah kesepakatan yang sudah turun temurun sejak ribuan tahun silam, suara terbanyak menjadi pemenang, layaknya hukum rimba, yang terkuat menjadi penguasa.
Dalam pelaksanaannya, sistem demokrasi memiliki banyak penyesuaian yang di-iyakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Salah satunya adalah sistem noken dan aklamasi. Masing-masing tetap mencerminkan suara terbanyak, sah, dan diakui oleh semua pihak yang bersangkutan.
Dalam dunia demokrasi, salah satunya pemilihan kepala daerah (Pilkada), untuk mencapai suara terbanyak, segala sesuatu cara digunakan oleh satu pasangan calon untuk menaikkan elektabilitas dan popularitasnya serta secara diam-diam dan massif, beberapa kejadian memperlihatkan ada upaya menyerang pasangan calon yang lain agar elektabilitasnya turun. Strategi upaya menurunkan elektabilitas itu terlihat efektif dan sangat baik. Salah satu isu yang paling mudah digunakan adalah isu Agama.
Agama di dunia ini hanya ada beberapa, yang terbesar ada Kristen & Katolik, Islam, Budha, Hindu, Kong Hu Chu, Shinto, Yahudi, dan lain-lain. Dua agama terdepan dianut lebih dari 80% penghuni bumi ini yang mayoritas berada di pemerintahan demokrasi. Salah satunya Indonesia, lebih dari 85% adalah umat Muslim, 10 % Kristen & Katolik, selebihnya Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan kepercayaan lainnya.
Mempermainkan isu agama adalah hal yang sangat sensitif dalam dunia demokrasi. Saking sensitifnya, banyak pengikut yang beralih dukungan dari satu pasangan calon kepada calon yang lainnya meskipun calon tersebut memiliki kinerja dan kapabilitas yang baik dalam pemerintahan. Kutbah-kutbah dirumah ibadah berubah haluan, dari yang biasanya membahas dan membicarakan tentang perilaku yang harus dilakukan manusia sebagai umat beragama yang sepantasnya, menjadi membahas tentang pilihan politik. Mayoritas rumah ibadah mengumandangkan tema yang sama agar jangan memilih seseorang karena perbedaan latar belakang agama, suku, ras, dan tempat tinggal.
Masa Renaissance
Permainan agama dan politik mengingatkan kita kepada sejarah kelam bangsa Eropa, yaitu masa Renaissancepada abad ke-14 Masehi. Saat itu segala sesuatu aktivitas dikerajaan Romawi selalu tidak lepas dari majelis dewan Gereja. Kerajaan berdiri besar, tetapi tindakan politis bahkan perang bahkan harus berada dibawah naungan Gereja. Hampir sepertiga daratan Eropa menjadi kekuasaan Romawi saat itu tetapi parlemen tidak mampu berdaya apa-apa terhadap segala sesuatu keputusan dewan gereja.
Usaha yang dilakukan gereja pada hakikatnya bermaksud untuk tujuan yang baik. Tetapi, pada kenyataannya urusan politik dan pemerintahan bukanlah berada dalam ruang lingkup agama. Politik dan pemerintahan memiliki kamar dan ruangan tersediri agar suatu rumah bisa berdiri dengan kokoh. Kegiatan politik dan pemerintahan identik dengan urusan administrasi, perizinan, masalah perang, birokrasi, dan berbagai keputusan strategis. Dalam hal ini, diperlukan kemampuan mengambil keputusan yang matang, cepat, dan strategis tanpa membutuhkan diskusi kepada berbagai kelompok lain dalam agama yang bersangkutan.