[caption caption="Gatot Pujo Nugroho (kanan, rompi kuning) beserta Istrinya Evy Susanty (kiri, rompi kuning) saat diwawancara didepan Gedung KPK. (sumber, waspada.co.id)"][/caption]Provinsi Sumatera Utara menjadi perhatian publik pada belakagan ini karena banyaknya pejabatnya yang terjerat oleh hukum karena kasus korupsi dan berbagai kasus penyuapan yang telah terungkap. Bermula dari ditangkapnya Gubernur Non-aktif Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho bersama Isterinya Evy Susanty yang mengaku memberikan uang kepada pengacara senior OC Kaligis, uang tersebut dimaksudkan kepada Maruli Hutagalung agar tidak mengusut kasus bansos yang tengah ditangani oleh kejaksaan agung. Setelah Gubernur dan isterinya terseret ke meja hijau, sudah jelas pengacara (yang katanya senior) juga terseret ke jeruji KPK dan dijadikan sebagai tersangka.
Berangkat dari pengakuan korupsi dana hibah dan bansos pemerintah Provinsi Sumatera Utara oleh Gatot, maka semua yang terlibat didalamnyapun mau tidak mau harus diseret ke meja pengadilan. Secara psikologis, mungkin Gatot dan isterinya juga tidak mau yang menjadi korban KPK yang mereka berdua saja, siapa yang menikmati hasil bagi-bagi dana bansos, itu juga yang menikmati nikmatnya menjadi tahanan KPK. Bansos tersebut diperkirakan tidak tepat sasaran karena Gatot tidak memverifikasi penerima dana bansos dan merekayasa satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pengelola dana tersebut sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,2 Milyar.
Bersamaan dengan itu, kejaksaan juga menetapkan Armyansyah (anak buah Gatot, pegelola dana Bansos) dan Eddy Sofyan (eks Kepala Badan Kesbanglinmas pemprov Sumut) sebagai tersangka. Eddy berperan meloloskan data penerima bansos meski belum melengkapi syarat prosedur tertentu.
Begitu juga dengan ketua pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Tripeni Irianto Putro, KPK menetapkannya sebagai justice collaborator atau pelaku yang berkerja sama dalam kasus dugaan suap kepada hakim dan panitera PTUN Medan. Tripeni diduga menerima suap dari kaligis sebesar 5.000 Dollar Singapura dan 15.000 Dollar AS. Selain Tripeni, KPK juga menetapkan OC Kaligis serta anak buahnya bernama Yagari Bhastara (Gery), dua hakim PTUN Medan Dermawan Ginting dan Amir Fauzi sebagai tersangka terkait dengan kasus ini. Dan baru-baru ini, sekjen partai Nasional Demokrat (Nasdem), Patrice Rio Capella menjadi bulan-bulanan KPK karena ikut juga dalam aliran dana suap yang diberikan kepada Gatot terkait hak interplasi.
Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada tujuh organisasi masyaraka penerima dana bantuan sosial adalah lembaga fiktif, sehingga semakin memberikan tanda Tanya besar dan memberikan ruang yang lebih besar bagi KPK, BPK, dan penyelidik kejaksaan untuk menyelidiki kasus ini secara maksimal.
Tak puas dengan temuan dan tersangka tersebut, KPK bersama tim penyelidik kejaksaan kembali menggali lebih dalam masalah dana sosial ini. Lebih dari 300 orang telah diperiksa untuk mengembangkan kasus dugaan hibah dan dana bantuan sosial Sumatera Utara.
Tak hanya itu saja, KPK juga telah menetapkan empat pimpinan DPRD Sumut yang turut berpartisipasi aktif dalam kasus ini. Mereka adalah Ketua DPRD Sumut Ajib Shah, Mantan ketua DPRD Sumut 2009-2014, Saleh Bangun, serta dua anggota DPRD 2004-2009 Sumut, Chaidir Ritonga dan Sigit Pramono. Ajib merupakan saudara kandung anggota DPD, Rahmat Shah, yang kini menjabat sebagai ketua DPRD. Mereka bernasib sama, masuk ke tahanan KPK dan mengenakan rompi “keramat” yang paling ditakuti oleh para Pejabat Indonesia.
Berdasarkan keterangan Sigit Pramono, masih ada sekitar 40 anggota DPRD yang menerima suap, hanya Sigit enggan menyebutkan siapa namanya. Tetapi, salah satu diantara 40 orang penerima suap berjamaah itu adalah Evi Diana, Istri Plt Gubernur Sumut Teuku Erry Nuradi. Uang tersebut diterima Evy saat masih mejadi anggota DPRD Sumut periode 2009-2014.
Berikutnya, wakil ketua DPRD tahun 2009-2014 dari fraksi PAN juga menjadi status tersangka karena terlibat aliran dana suap tersebut. Begitu juga dengan teman dekat Rio Patrice Capelaa, Fransisca Insani Rahesti juga turut serta dalam kasus penyuapan berjamaah ini sesuai dengan keterangan dari KPK. Fransisca didakwa mengambil uang suap Rp. 200 juta, menerima suap dari Evy sebesar Rp 10 juta, kemudian mendapat suap dari Rio Capella sebesar Rp 50 juta. Temuan ini juga diarahkan oleh pengacara Rio Capella kepada KPK, sehingga semakin membantu dan mempermudah tugas KPK untuk menyikat para pelaku kejahatan ini.
Tak Ada Rasa Penyesalan
Sudah didakwa dan terbukti melakukan suap, semua para tersangka suap/korupsi berjamaah ini tetap saja tidak memiliki rasa penyesalan karena perbuatan mereka yang memalukan. Lihat saja bagaimana Gatot Pujo Nugroho yang selalu tersenyum-senyum saat keluar masuk gedung KPK dan mengenakan rompi keramat KPK, begitu juga dengan isterinya yang terlihat biasa saja. Terutama pengacara yang katanya senior dan berpengalaman, OC Kaligis yang selalu membantah dan terkadang mangkir ketika dipanggil oleh kejaksaan dan KPK. Semuanya seakan tidak merasakan dan melakukan kesalahan apapun terkait dengan masalah yang dituduhkan walau sudah jelas terbutkti.
KPK bukan lagi menjadi suatu momok yang menakutkan bagi mereka mengingat status mereka sebagai pemimpin di provinsi, pengacara senior, dan anggota DPRD. Semuanya berjalan biasa saja tanpa ada rasa penyesalan yang berarti dan ingin benar-benar bertobat. Meski agak berbeda dengan aksi Rio Capella yang langsung mundur dari NASDEM dan keanggotaan DPR RI, hal ini juga tidak lepas dari intervensi Surya Paloh, Ketua Umum NASDEM agar Rio menyerahkan jabatannya seluruhnya kembali pada partai dan DPR itu sendiri.
Sudah menjadi Budaya
Di Sumatera Utara, korupsi adalah hal yang lazim dilakukan oleh para pelaku birokrasi. Tidak heran jika setiap pergantian kepemimpinan kepala daerah baik Gubernur maupun walikota atau Bupati, nama-nama mereka akan terjerumus kedalam ruang sidang KPK dan akhirnya memakai rompi kuning dan dijebloskan sebagai tahanan KPK atas kasus korupsi dan suap. Karena pada saat kampanye pemilihan kepala daerah sudah terlalu banyak menghamburkan uang yang sangat banyak, maka motif dan fokus utama seorang pemimpin daerah di Sumut adalah bagaimana mencari uang sebanyak-banyaknya untuk mengembalikan harta yang hilang untuk dana kampanye sebelumnya.
Pada saat demikian, tentu harus melibatkan lebih banyak orang agar tercapai target Milyaran rupiah, sehingga harus melakukan suap kepada orang-orang disekitar (lembaga yang bersangkutan) sebagai ganti tutup mulut, dan akhirnya Jaksapun mau tidak mau disuap. Jaksa juga seakan tergiur dengan warna merah dan biru uang yang ditawarkan pelaku sehingga dengan lidah menjulur dan air liur, Jaksa juga menerima aliran dana suap dan akhirnya memalsukan putusan pidana. Hasil pidana menjadi jauh dari apa yang terjadi seharusnya. Sehingga jadilah korupsi beramai-ramai atau lebih dikenal dengan “korupsi berjamaah”.
Korupsi berjamaah bisa diartikan sebagai, kegiatan pengambilan/ penyelewengan/ penyalahgunaan dana untuk masyarakat sehingga memperkaya para pelaku tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari sasaran dana, korupsi ini dilakukan banyak pihak secara serentak dan memiliki pola yang sangat teratur, dan semua pihak setuju dan diam atas hal-hal yang sebenarnya melanggar hukum telah terjadi.
Keberadaan korupsi berjamaah membuat satu pihak saling tahu sama lain, dan mau tidak mau pihak yang belum menerima harus mendapatkan dana hasil korupsi dan suap agar tidak ada yang melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Meski pada akhirnya ketahuan juga, korupsi seperti ini sebenarnya lebih mudah untuk ditangkap karena satu sama lain akan saling memberitahukan siapa saja yang terlibat dalam kasus ini. Lumayan kan untuk membantu KPK dan lembaga penyelidik kejaksaan.
Korupsi di Sumatera Utara termasuk di Kabupaten dan kecamataan serta desa sudah pasti hal yang lumrah. Yang tidak biasa dan mengejutkan adalah jika seorang kepala daerah tidak masuk penjara sehabis masa jabatannya. Di Sumut, kita tidak akan menemukan seorang bupati Yoyok yang baru-baru ini menerima Bung Hatta Anti Corruption Award. Di Sumut, kita tidak akan menemukan pembangunan yang berjalan dengan lancer sesuai dengan janji manis mulut calon bupati dan Gubernur, yang ada hanya fasilitas yang tersedia 20 tahun yang lalu, itu yang tetap ada dan berdiri kokoh sehingga mobilitas ekonomi dan sosial masyarakat sangat sulit untuk berjalan.
Perubahan yang Berarti
Sumatera Utara membutuhkan turun tangan KPK secara langsung, jika perlu Presiden Jokowi harus sering-sering Blusukan ke Sumut. Sudah saatnya rotasi kepemimpinan yang independen dan transparan diberlakukan dan disadarkan kepada masyarakat Sumut agar tercipta birokrasi dan pembangunan yang transparan dan tepat sasaran. Dana-dana bantuan sosial yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat tidak lagi masuk ke saku para birokrat tak berotak yang duduk dikursi empuk pemerintah daerah. Semoga Sumatera Utara cepat berbenah agar pembagunan berjalan dengan baik.
Saya malu mendengar berita korupsi berjamaah di Sumatera Utara. Saya juga sudah lelah di PHP-in oleh bupati-bupati di Toba tentang janji-janji untuk membangun jalan ke kampong saya. Harapan itu begitu manis saat kampanye, tetapi ketika terpilih, kami hanya bisa menjilat air liur sendiri melihat mereka yang duduk dipemerintahan lupa melihat kebawah. Setelah mejabat, saya sangat malu saat bupati di kabupaten saya masuk jeruji KPK. Aduuuuh malunya jadi warga di Sumatera Utara dan Toba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H