KPK bukan lagi menjadi suatu momok yang menakutkan bagi mereka mengingat status mereka sebagai pemimpin di provinsi, pengacara senior, dan anggota DPRD. Semuanya berjalan biasa saja tanpa ada rasa penyesalan yang berarti dan ingin benar-benar bertobat. Meski agak berbeda dengan aksi Rio Capella yang langsung mundur dari NASDEM dan keanggotaan DPR RI, hal ini juga tidak lepas dari intervensi Surya Paloh, Ketua Umum NASDEM agar Rio menyerahkan jabatannya seluruhnya kembali pada partai dan DPR itu sendiri.
Sudah menjadi Budaya
Di Sumatera Utara, korupsi adalah hal yang lazim dilakukan oleh para pelaku birokrasi. Tidak heran jika setiap pergantian kepemimpinan kepala daerah baik Gubernur maupun walikota atau Bupati, nama-nama mereka akan terjerumus kedalam ruang sidang KPK dan akhirnya memakai rompi kuning dan dijebloskan sebagai tahanan KPK atas kasus korupsi dan suap. Karena pada saat kampanye pemilihan kepala daerah sudah terlalu banyak menghamburkan uang yang sangat banyak, maka motif dan fokus utama seorang pemimpin daerah di Sumut adalah bagaimana mencari uang sebanyak-banyaknya untuk mengembalikan harta yang hilang untuk dana kampanye sebelumnya.
Pada saat demikian, tentu harus melibatkan lebih banyak orang agar tercapai target Milyaran rupiah, sehingga harus melakukan suap kepada orang-orang disekitar (lembaga yang bersangkutan) sebagai ganti tutup mulut, dan akhirnya Jaksapun mau tidak mau disuap. Jaksa juga seakan tergiur dengan warna merah dan biru uang yang ditawarkan pelaku sehingga dengan lidah menjulur dan air liur, Jaksa juga menerima aliran dana suap dan akhirnya memalsukan putusan pidana. Hasil pidana menjadi jauh dari apa yang terjadi seharusnya. Sehingga jadilah korupsi beramai-ramai atau lebih dikenal dengan “korupsi berjamaah”.
Korupsi berjamaah bisa diartikan sebagai, kegiatan pengambilan/ penyelewengan/ penyalahgunaan dana untuk masyarakat sehingga memperkaya para pelaku tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari sasaran dana, korupsi ini dilakukan banyak pihak secara serentak dan memiliki pola yang sangat teratur, dan semua pihak setuju dan diam atas hal-hal yang sebenarnya melanggar hukum telah terjadi.
Keberadaan korupsi berjamaah membuat satu pihak saling tahu sama lain, dan mau tidak mau pihak yang belum menerima harus mendapatkan dana hasil korupsi dan suap agar tidak ada yang melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Meski pada akhirnya ketahuan juga, korupsi seperti ini sebenarnya lebih mudah untuk ditangkap karena satu sama lain akan saling memberitahukan siapa saja yang terlibat dalam kasus ini. Lumayan kan untuk membantu KPK dan lembaga penyelidik kejaksaan.
Korupsi di Sumatera Utara termasuk di Kabupaten dan kecamataan serta desa sudah pasti hal yang lumrah. Yang tidak biasa dan mengejutkan adalah jika seorang kepala daerah tidak masuk penjara sehabis masa jabatannya. Di Sumut, kita tidak akan menemukan seorang bupati Yoyok yang baru-baru ini menerima Bung Hatta Anti Corruption Award. Di Sumut, kita tidak akan menemukan pembangunan yang berjalan dengan lancer sesuai dengan janji manis mulut calon bupati dan Gubernur, yang ada hanya fasilitas yang tersedia 20 tahun yang lalu, itu yang tetap ada dan berdiri kokoh sehingga mobilitas ekonomi dan sosial masyarakat sangat sulit untuk berjalan.
Perubahan yang Berarti
Sumatera Utara membutuhkan turun tangan KPK secara langsung, jika perlu Presiden Jokowi harus sering-sering Blusukan ke Sumut. Sudah saatnya rotasi kepemimpinan yang independen dan transparan diberlakukan dan disadarkan kepada masyarakat Sumut agar tercipta birokrasi dan pembangunan yang transparan dan tepat sasaran. Dana-dana bantuan sosial yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat tidak lagi masuk ke saku para birokrat tak berotak yang duduk dikursi empuk pemerintah daerah. Semoga Sumatera Utara cepat berbenah agar pembagunan berjalan dengan baik.
Saya malu mendengar berita korupsi berjamaah di Sumatera Utara. Saya juga sudah lelah di PHP-in oleh bupati-bupati di Toba tentang janji-janji untuk membangun jalan ke kampong saya. Harapan itu begitu manis saat kampanye, tetapi ketika terpilih, kami hanya bisa menjilat air liur sendiri melihat mereka yang duduk dipemerintahan lupa melihat kebawah. Setelah mejabat, saya sangat malu saat bupati di kabupaten saya masuk jeruji KPK. Aduuuuh malunya jadi warga di Sumatera Utara dan Toba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H