Lelaki itu bernama Japra (40), seorang tukang ojek yang biasanya mangkal dan beroperasi di daerah Cibinong. Lelaki tersebut tewas begitu saja hanya karena masalah sepele dan berakhir dengan tembakan senjata api milik anggota TNI. Menurut saksi mata, pelaku (oknum TNI berinisial YH) dating dari arah sentul menggunakan mobil Honda CRV bernomor polisi F-1239-DZ yang berwarna silver.
Berdasarkan keterangan saksi, YH yang hendak berputar balik, tiba-tiba sepeda motor yang dikendarai korban menyalip kearah kiri sehingga menghalangi sebentar laju kendaraan pelaku. Pelaku kemudian berusaha menghentikan korban di depan SPBU Ciriung dan terlihat adu mulut dan saling dorong dan pukul ringan. Yang benar saja, tiba-tiba di YH langsung mengeluarkan senjata api jenis FN dan “dooorrrrrrr”, Japra tersungkur begitu saja karena kepalanya sudah dibologi oleh peluru YH. Naas, nyawanya tidak bisa tertolong lagi.
Berdasarkan keterangan dari Kapolres Bogor AKBP Suyudi Ario Seto, keterangan saksi tersebut benar. Setelah korban dibawa ke rumah sakit Kramatjati, pelaku berhasil diamankan beberapa jam setelah kejadian dan diserahkan ke Subdirektorat Polisi Militer Cibinong untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kepala Dinas Penerangan TNI-AD menyatakan permohonan maaf atas perilaku YH yang merupakan salah satu anggotanya dan akan menindak tegas pelaku penembakan tersebut.
Dari kasus diatas patut digambarkan bahwa aparat keamanan dan penegak hukum di Indonesia bisa dikatakan aparat yang tidak tahu diri karena memanfaatkan kekuasaannya berbicara kepada seseorang tanpa pada jalur yang benar. Hanya karena masalah sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan atau tanpa diselesaikan secara procedural pun ini merupakan hal yang biasa, tetapi rasa sombong menjadi bumerang sehingga tidak bisa mengendalikan diri.
Tentara Indonesia Mayoritas Bermental Pecundang
Jika kita menyelidiki latar belakang seseorang, “mengapa ingin menjadi seorang anggota TNI?”. Mayoritas anggota TNI bermotifkan ingin terlihat hebat, ingin terlihat gagah didepan masyarakat, supaya tidak ada yang berani menyentuh termasuk hukum. Motif yang demikian sangat jauh dari esensi seorang anggota aparat anggota keamanan negara dimana esensi utama anggota TNI adalah untuk melakukan bela negara dan upaya pertahanan negara. Apalagi sudah menjadi barang biasa jika seseorang yang masuk anggota TNI harus menghabiskan dana dan biaya ratusan juta sehingga timbul beban moral dan finansial untuk menutupi kerugian yang telah dikorbankan.
Jadi, seharusnya jika ditanya mengapa ingin menjadi anggota TNI, jawabannya adalah hanya “saya ingin membela negara saya.” Cukup itu saja karena rasa patriotisme adalah hal yang mutlak bagi setiap warga negara terutama para penegak hukum dan keamanan negara.
Dengan latar belakang yang negatif sebelumnya, tidak heran jika banyak anggota TNI yang merasa tersinggung jika dirazia oleh Polisi, merasa tersinggung jika kendaraannya dilewati atau tidak sengaja tersenggol sedikit, merasa tersinggung jika didahului dalam hal apapun. Pokoknya status mereka sebagai tentara mengubah stigma mereka menjadi penguasa nomor tiga setelah Tuhan dan Pemerintah.
Stigma yang demikian membuat rentannya dan rawannya konflik dalam suatu kegiatan tertentu. Sudah berita biasa jika anggota polisi tidak berani merazia anggota TNI, padahal oknum TNI juga banyak yang bermasalah dengan hukum. Demikian juga dengan masyarakat, arogansi yang ditunjukkan oleh anggota TNI membuat masyarakat memiliki rasa trauma terhadap konvoi dan anggota TNI.
Sikap TNI yang demikian adalah sikap yang sebenarnya melanggar norma bahkan hukum itu sendiri. Bisa dikatakan, mayoritas TNI memiliki mental pecundang. Mereka yang katanya disiplin dan tegas tetapi tidak mampu disiplin dan tegas ketika menghadapi masalah yang sepele. Justru masalah sepele tersebut membuat para anggota TNI menjadi tidak bisa mengendalikan diri.
Butuh Penanganan Yang Serius dan Tegas
Kasus sepele seperti ini seringkali luput dari perhatian pemerintah dan banyak kalangan pada beberapa saat kemudian, padahal ini menyangkut hilangnya nyawa seseorang. Sudah saatnya kejadian seperti langsung menindak tegas pelaku penembakan dengan menghukum seberat-beratnya berupa pemecatan dari dinas, sekurang-kurangnya hukuman penjara seumur hidup dan sudah sewajarnya oknum kurang ajar ini dihukum mati saja. Hukuman seperti itu wajar karena mengingat latar belakang masalah yang terjadi serta perilaku korban yang sama sekali tidak menyudutkan korban.
Penganganan kasus ini harus transparan dan dibuka apa adanya ke ruang publik agar trust terhadap TNI sebagai pengayom masyarakat tidak menjadi luntur. Kasus ini telah membuat rasa kepercayaan dan kenyamanan masyarakat yang kepada TNI mulai memudar. Masyarakat ingin melihat pengadilan militer sejauh mana mampu berpihak kepada masyarakat kecil atas arogansi anggotanya yang tidak tahu diri dan sangat kurang ajar.
Kepada para anggota TNI, sadarlah, kekuasaan dan dinas yang anda pakai bukanlah penentu hidup atau tidaknya seseorang, bukan penentu sejahtera atau tidaknya seseorang, penentu berkuasa atau tidaknya seseorang. Pakailah otak anda agar perbuatan tangan menjadi berbuah bagi masyarakat. TNI adalah abdi masyarakat, jadi sudah bukan zaman lagi TNI membentak-bentak orang yang bersalah.
Sudah bukan zaman lagi masyarakat harus mendahulukan TNI pada segala urusan. Anggota TNI juga manusia, anggota TNI juga makan nasi, anggota TNI juga minum air, anggota TNI juga menghirup udara. Jika anggota TNI sudah makan batu dan minum air comberan, baru masyarakat (termasuk saya) bisa takut. Janganlah sombong wahai Tentara Nasional Indonesia. Kesombongan membuat TNI jadi pecundang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H