Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Hanya Alam yang Bisa Mengatasi Bencana Kabut Asap

21 Oktober 2015   14:22 Diperbarui: 21 Oktober 2015   14:37 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sebulan lebih bencana asap masih menutupi sebagian besar wilayah pulau Sumatera dan pulau Kalimantan. Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah berusaha mengatasi dengan berusaha menyiram daerah lahan hutan yang terbakar dengan menggunakan pesawat terbang, hujan buatan dan berbagai cara atraktif lainnya. Pemerintah juga menggali parit melalui bantuan operasinal TNI-AD untuk menangkal persebaran api agar tidak menyebar ke daerah yang lain.

Dalam bidang kesehatan, pemerintah berusaha mendirikan posko-posko kesehatan untuk memantau dan menjaga tingkat kesehatan para masyarakat yang menjadi korban asap yang sangat pekat. Pun begitu dengan masyarakat, semua pihak saling membahu untuk membantu korban bencana buatan manusia ini. Terutama bagi mereka yang diluar pulau Sumatera dan Kalimantan, masyarakat berusaha membantu dengan bantuan masker untuk melindungi pernafasan para korban dari bahaya asap yang sangat membahayakan. Banyak tenaga kesehatan yang dikerahkan untuk mengatasi penyakit yang diakibatkan oleh asap tersebut.

Begitu juga dengan mahasiswa, selain menggalang dana, mahasiswa aktif menyuarakan aspirasi di depan para wakil rakyat agar pemerintah serius menangani bencana ini. Beberapa mahasiswa dari kampus bahkan berani menghardik dan memprotes presiden bersama jajarannya karena bencana asap yang tidak kunjung hilang.

Semua pihak tanpa terkecuali berusaha melakukan menyerahkan segenap kemampuan dan keahlian yang dimilikinya untuk memadamkan api yang makin berkobar di belantara hutan gambut Sumatera dan Kalimantan. Terakhir, bantuan dari pihak asing pun datang, seperti bantuan helicopter dan pesawat bom air dari Australia, Malaysia, Singapura, Jepang, dan Jerman.

Pemerintah berusaha maksimal

Saat ini, banyak media dan pihak yang melancarkan protes kepada pemerintah terkait dengan penanganan kabut asap ini. Banyak dari mereka yang menyuarakan bahwa pemerintah pusat bersama daerah tidak becus dalam menangani bencana ini. Banyak orang yang mengatakan bahwa pemerintah hanya tidur-tidur saja dan tidak ada usaha untuk mengangani bencana besar ini.

Alasan dan tuntutan diatas tidak sepenuhnya bisa diamini. Jika kita benar-benar serius dan memperhatikan kinerja pemerintah (terutama pusat), segala tenaga dan cara telah diupayakan agar asap dan kabut bisa segera berakhir. Lihat saja bagaimana presiden Joko Widodo (Jokowi) berulangkali memantau secara langsung penganganan penyiraman kebakaran serta posko kesehatan di Kalimantan Barat, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Lihat pula upaya keras dari TNI AD yang dipaksa untuk menggali parit berisi air sepanjang garis depan daerah kebakaran agar tidak membakar semua lahan yang belum tersentuh oleh api.

Ribuan ton air telah disiramkan dari atas menggunakan pesawat dan helicopter penyiram air. Tetapi, hal ini tidak sepenuhnya mampu memadamkan api di seluruh area kebakaran karena struktur lapisan tanah yang didominasi oleh lahan gambut. Perlu diketahui bahwa lahan gambut merupakan lahan yang terdiri dari timbunan dedaunan yang mengering selama bertahun-tahun sehingga membentuk lapisan yang sangat kering ketika musim kemarau dan sangat basah ketika musim hujan. Rata-rata ketebalan lahan gambut bisa mencapai 1 meter atau lebih.

Logikanya, jikapun disiram dengan berton-ton air, bisa saja api yang dipermukaan gambut mati seketika, tetapi setelah penyiraman selesai (kapal kembali mengisi air ke sumber air), maka api dengan cepat melahan kembali gambut karena api yang ada dibawah lahan gambut tidak sepenuhnya mati. Saat disiram, api yang dibawah lahan gambut tersebu akan memanasi dan menguapkan air yang ada diatasnya sehingga tidak sampai dalam satu jam api tersebut akan muncul kembali. Dan yang pasti, semakin banyak air disiramkan, semakin banyak asap yang muncul karena tanggungnya air yang disiramkan.

Harapan terbesar : Hujan

Sebanyak dan sebesar apapun air yang disiramkan oleh manusia diatas lahan kebakaran, selama masih musim kemarau dan lahan masih ada untuk makanan neraka api, selama itu pula api tidak akan mampu dilumpuhkan oleh siapapun. Jadi, jangan harap pemerintah atau dunia internasional mampu memadamkannya sampai benar-benar mati.

Harapan terbesar hanya satu yaitu kepada turunnya hujan diatas bumi Indonesia. Selama ini memang musim kemarau sangat mendukung (bahan bakar utama) pembakaran di bumi Sumatera dan Kalimantan. Saat hujan turun, tidak perlu berhari-hari, maka dijamin seluruh titik api akan berhenti menjalar. Tidak perlu manusia bersusah payah untuk menyiram kebakaran yang menyulut neraka bumi ini. Meski belum ada kepastian kapan hujan akan turun, tetap saja kita harus mengakui bahwa hujan merupakan pahlawan terbesar bagi umat manusia (korban bencana asap) di Indonesia.

Kita harus menyadari, kekuatan manusia itu tidak seberapa dibandingkan dengan kekuatan alam yang maha dashyat. Api yang kecil akan menjadi teman, tetapi api yang menyulut dan besar sudah barang tentu menjadi musuh selama lahapan api masih ada. Begitu juga dengan menyiram api tersebut, tidak perlu menghujat pemerintah karena tidak mampu mematika api dan menetralisir asap. Sudah seharusnya kita sadar, sehebat apapun usaha pemerintah dan masyarakat untuk memadamkan api, itu adalah tindakan yang sia-sia. Siraman air dari atas api malah akan memperparah dan menambah jumlah asap.

Selama ini masyarakat Indonesia sibuk dengan usaha mencari solusi dan meminta bantuan serta menghujat pemerintah dalam menangani masalah ini. Tetapi ada hal yang dilupakan oleh kita, kenapa kita tidak meminta saja kepada Tuhan agar hujan diturunkan? Bukankan kita percaya bahwa Tuhan adalah maha segalanya? Bukankah Tuhan selalu mendengar jeritan dan doa tulus dan iklas dari hambanya daripada bersungut-sungut setiap hari tanpa sebuah harapan dan kepastian?  Ahhh, barangkali Indonesia sudah mulai lupa dengan dirinya sendiri (yang katanya negara beragama) sehingga lebih mengandalkan kemampuan akal manusiawinya.

 

Oleh : Jhon Miduk Sitorus, Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Fakultas Ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun