Mohon tunggu...
Jhon Mejer Purba
Jhon Mejer Purba Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pasca Sarjana UI

menghimpun Mahasiswa dan Pemuda yang beridentitaskan Habonaron Do Bona

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Rakyat Vs Partai Politik

7 Desember 2020   15:19 Diperbarui: 7 Desember 2020   15:38 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Khusus : Tengah Pristanto Haloho, Penulis 

Pada akhirnya politik yang bersifat kepartaian akan tiba pada pascakebenaran (Post truth) atau dengan kata lain adalah politik pascafakta, politik tersebut lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan. 

Situasi ini hadir karena harapan warga akan perbaikan atau perubahan yang lebih baik justru pupus ditangan partai-partai yang bermain dan tidak mempedulikan dengan keadaan dan kebenaran di lapangan, masyarakat yang hidup dalam kebohongan bukanlah lagi hal tabu. Karena kebohongan-kebohongan yang disebarkan pada kandidat-kandidat yang sudah “terkunci” oleh kekuatan partai politik. 

Fakta-fakta tersebut tidak bisa dikesampingkan, sehingga alternatif yang ditawarkan serta diperjuangakn oleh aktivitas 98 yang kemudian tertuang pada Undang-Undang No 8 Tahun 2015 tentang pencalonan perseorangan

Hal ini adalah cerminan dari wajah demokrasi yang sesungguhnya, dimana setiap warga negara dapat mengekspresikan serta berkontribusi dalam politik kenegaraan tanpa melibatkan partai politik yang memiliki kecendrungan tidak baik walaupun tidak semua partai politik seperti itu.

Sejak awal kontestasi pilkada Simalungun sudah jelas terlihat ada 2 kekuatan besar yang bertarung. Pertama adalah kekuatan rakyat yang selama ini anti dan muak dengan partai politik. 

Kedua adalah kekuatan partai politik; hegemoni yang terbentuk selama ini mengkondisikan seolah-olah kekuasan tertinggi adalah milik kelompok mereka semata, mereka lupa padahal kekuasan tertinggi ada pada rakyat. Ini jelas berbahaya jika dipelihara terus menerus dan menjadi subur serta membudaya di kalangan masyarakat tanpa terkecuali di daerah Simalungun. 

Memang untuk mengembalikan kondisi ini bukan hal yang mudah, bagaimanapun ini jelas perlu kekuatan rakyat untuk melawan  dan meruntuhkan tembok raksasa yang selama ini sudah dibangun dengan dasar yang kuat oleh oligarki politik. 

Jalan terbaik yang harus ditempuh adalah harus masuk dan terlibat langsung dalam pertarungan. Hal inilah yang dilakukan dan diperjuangkan oleh salah satu calon kepala daerah di Simalungun. Jenderal (Purn) Maruli Wagner Damanik untuk Simalungun.

Pertanyaan besar mengapa harus WD ?

Sosok Jenderal (purn) Maruli Wagner Damanik adalah seorang pemimpin yang cukup jelas track recordnya di salah satu instansi negeri ini. Kemajuan beliau memilih bertarung maju di simalungun 1 adalah bentuk manisfestasi dari kegelisahan melihat kondisi Simalungun yang selama ini menjadi sorotan dan pusat perhatian karena kondisi simalungun yang stagnan dan cenderung tertinggal. Yang mengejutkan jalan yang dipilih adalah jalur perseorangan atau independen

Jelaslah bahwasanya niat dan keinginan nya benar-benar untuk melayani Masyarakat simalungun bukan melayani egaliter politikus di simalungun. Hal ini dipertegas dalam mottonya “Datang untuk memberi dan bukan untuk mengambil”.

Sebenarnya, kita meyakini bukan tanpa pertimbangan yang matang, beliau memilih jalur independen. Beliau sadar pastinya jalur yang diambil ini secara tidak langsung beliau siap menjadi common enemy nya partai politik yang mengusung calon-calon lain untuk memperjuangkan kepentingan politiknya.

Pertarungan sang Jenderal bukan lah pertarungan politik, lebih dalam lagi ini adalah sebuah pertarungan Iman bagi dirinya. Sementara untuk masyarakat simalungun, pertarungan ini bukanlah pertarungan menang kalah calon pemimpin yang di idolakan, akan tetapi ini adalah pertarungan Maju atau Mundur nya simalungun. Sesungguhnya masyakat simalungun sudah rindu perubahan, masyarakat sudah resah dan muak dengan kondisi yang ada selama ini.

Memang tidak mudah perjuangan yang ditempuh bagi pak Wagner menjadi pemimpin di Simalungun. Dari awal pencalonannya dari jalur independen mungkin banyak pertanyaan masyarakat yang harus dijawab, dan banyak juga mungkin masyarakat yang tidak suka dengan jalur ini dan idealis yang diperjuangkan. 

Jika secara frontal pun, kita telah ketahui bersama pemimpin yang dikehendaki Tuhan sekalipun memang tidak selamanya pada awalnya adalah sosok yang dicintai mayoritas rakyatnya. Banyak pemimpin pilihan Tuhan harus berhadapan dengan mainstream.

Tuhan Yesus adalah role model seorang pemimpin besar, Dia membuktikan telah memiliki ratusan juta hingga milyar an pengikut di seluruh dunia. Namun, kita perlu ingat kembali ketikapun Dia mulai memroklamasikan sebagai Mesias, perlawanan keras datang dari berbahai sudut, mulai dari mayoritas masyarakat, penguasa, dan para ahli-ahli taurat, bahkan Dia sampai menerima vonis hukuman salib.

Sebagai pemimpin, Yesus tidak pernah menjanjikan uang kepada calon pengikutnya, ini jelas. Namun sebaliknya: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya” (Lukas 13:23-24).

Jujur saja, pemimpin yang dicintai rakyat pada saat ini adalah identik dengan bagi-bagi bingkisan dan amplop atau lebih parahnya secara terang-terangan bermain money politik. Apalagi dengan kondisi pandemi saat ini, perbuatan money politik jelaslah jualan yang sangat laris di moment-moment pilkada.

Sementara jika mereka menyadari yang mereka lakukan merupakan salah satu cara kotor berpolitik yang paling hina. Kondisi saat ini masyarakat di seluruh indonesia tak terkecuali di Simalungun sedang mengalami kesusahan ekonomi karna banyak juga masyarakat yang terdampak dari COVID-19 inii seperti ada yang di PHK, usahanya tidak berjalan dengan lancar dan lain sebagainya, sedangkan kebutuhan sehari-hari mereka harus tetap terpenuhi bagaimanapun caranya.

Imbas dari money politik terjadilah pilkada transaksional dan efeknya jelaslah akan maraknya korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik nantinya terutama kepala daerah, demi mengembalikan modal ketika berperan sebagai “juru selamat” palsu. Secara tidak langsung inilah yang menjerumuskan kedalam lubang kehancuran daerah.

Kepala daerah terpilih juga harus bagi-bagi proyek dan jabatan kepada para relawan dan tim suksesnya. Siapa ditempatkan pada jabatan apa tidak dinilai dari latar belakang akademis dan jejak rekam prestasi dalam bidangnya, tetapi pada seberapa besar kontribusi dalam pemenangan pilkada, terlepas dari yang bersangkutan memiliki kompetensi dan performance di bidang itu atau tidak.

Hari-hari ini banyak orang berpikiran pragmatis, tak peduli apakah pilihannya adalah suara hatinya dan demi masa depan daerahnya. Semoga hal ini tidak terjadi di simalungun. Karena suara hati yang paling dalam adalah suara Tuhan. 

Sayang sekali, banyak orang yang tidak mendengarkan suara hatinya. Yang didengar adalah suara "hantu-hantu" yang bergantayangan menjelang pencoblosan. Mereka hanya menjanjikan kenikmatan sesaat, namun membawa penderitaan jangka panjang. Jadi penting sebelum menentukan pilihan di kotak TPS mempertanyakan yang dengar apakah suara Tuhan atau suara hantu ?

Selamat menjalani pertarungan iman untuk sang Jenderal pak Wagner Damanik.


Salam...

Penulis Pristanto Sihaloho (Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun