Mohon tunggu...
Jhon Wamaer
Jhon Wamaer Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apa Coba?

21 Maret 2017   18:15 Diperbarui: 21 Maret 2017   18:31 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku akan memperlambatnya dengan menyerangnya menggunakan tempat pensilku. Sebab kesempatan untuk mngambil batu sangatlah mustahil, karena ttidak satu pun dapat ku jumpai sebuah batu yang cukup besar untuk kulempar. Untungnya tas yang saat ini kugunakan adalah tas samping. Sehingga mudah untuk mengambil tempat pensil secara langsung tanpa harus berhenti. Ketika sudah kugenggam tempat pensil ini aku harus benar-benar menargetkan kepala anjing tersebut, karena aku berharap anjing itu bisa gegar otak atau setidaknya berhenti mengejarku. Whuss…takkk…, lemparanku pas mengenai kepala anjing itu, namun hanya moncong anjing itu. Aduh! Anjing itu melambat, namun tetap saja mengejarku.  Anjing sialan!

Apa pun yang terjadi aku harus tetap dapat naik ke atas pohon manga itu. Tidak apa-apa jika sepatuku digigit. Akhirnya, aku menemukan pohon itu secara langsung tanpa piker panjang. Aku hanya memanjat tanpa peduli anjing itu sudah seberapa jauh dariku. Haaa…aaa (teriakan), kuraih setiap batang kayu itu dan akhirnya sampai di atas tanpa tahu bagaimana caranya bisa disini. Semuanya terasa seperti khayalan. Tidak nyata. Tapi tetap ku yakinkan diriku bahwa aku berhasil selamat. Anjing itu melompat-lompat berusaha menggigitku sayangnya dia kalah cepat. Sekarang apa yang harus kuperbuat. Apa aku harus menunggu sampai anjing itu pergi. Mungkin akan kulakukan, tetapi akan lama. Ibu pasti akan marah besar kalau aku tak sampai dirumah. Aku harus bergegas pulang dengan cara kembali menyerang anjing itu. Sekarang adrenalin ku memuncak.

Kelepaskan seragam, sepatu, dan tas ku agar aku dapat bergerak dengan lebih mudah. Tidak ad acara lain lagi selain mengikatnya agar aku bisa pulang. Sedikit luka tidak apa-apa. Gigitan jangan, karena aku mengkhawatirkan resiko terinfeksi virus rabies. Sebab dari penampilan anjing itu saja sudah seperti zombie yang siap menyerang. Air liurnya menetes tidak karuan. Menjijikan.

Aku akan langsung menyerangnya. Kulepaskan tali sepatuku dari sepatunya sehingga hanya tali sepatu yang akan kugunakan untuk menyerang anjing itu. Secara cekatan aku mempertimbangkan teknik lompatan yang sesuai agar langsung dapat menindih anjing itu langsung dari atas pohon sehingga aku dapat langsung menyergap anjing itu tanpa melakukan banyak perlawanan.

Aku harus bisa. Ibu sedang menunggu ku di rumah. Aku harus cepat untuk sampai pulang ke rumah. Aku pasti bisa, sebab aku bukan saja satu-satunya anak yang pernah mengalami situasi seperti ini. Kugenggaam tali sepatu ini dengan kuat-kuat. Tanpa pikir lagi aku langsung menindih anjing itu. Haa…pp (hinggap), anjing itu terkejut kemudian memberikan aksi perlawanan. Namun, sepertinya anjing itu sudah cukup lelah berlarian sehingga aku mudah untuk menahannya. Awalnya aku memegang erat mulutnya agar tidak digigit. Lalu aku memeluknya dengan kuat agar tidak banyak bergerak.  Dengan cekatan ku lilit semua kaki serta moncongnya dengan tali. Berhasil. Anjing itu kini tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya meringis agar dilepaskan. Ikatan ku cukup kencang agar anjing itu tak dapat banyak bergerak.

Adrenalin yang ku puaskan ternyata belum surut. Emosi ku masih membara bagaikan menanam dendam yang sangat atas semua apa yang pernah anjing itu lakukan. Aku ingin membunuhnya. Aku tak punya alasan yang jelas, namun yang pasti taka da lagi yang mengharapkan keberadaan anjing itu. Banyak orang yang dirugikan oleh anjing ini. Jika tidak dihentikan semua masalah akan terus terjadi.

Dengan emosi yang masih membara aku memukul hingga membabi buta dengan gilanya. Aku tak menghiraukan kesakitan yang dialami oleh anjing itu. Aku memukulnya hingga habis-habisan dengan tangan kosong, balok kayu, hingga batu. Entahlah, namun rasanya cukup menyenangkan buat ku. Ketika melampiaskan suatu emosi ternyata rasanya seperti ini. Segala sesuatu yang kita perbuat rasanya seperti sangat ringan. Sebab yang ada adalah lagi dan lagi. Aku merasa puas hampir seperti orang gila.

Ketika aku terus memukulnya tidak sengaja aku memukul bagian kepala belakangnya yang mengakibatkan anjing itu kejang-kejang. Aku panik. Aku tak tahu harus berbuat apa sehingga kulepaskan semua ikatan tadi, namun anjing itu tetap kejang-kejang. Aku sinting. Aku sudah berbuat hal yang keji. Aku menyesalinya. Aku harus berbuat sesuatu. Ku peluk anjing itu agar tenang meskipun anjing ini masih kejang, tetapi setidaknya aku melakukan sesuatu agar tidak panik. Kumohon jangan mati!

Aku mulai meneteskan air mata, sebab ini adalah ulah ku. Ibu akan marah besar jika tahu hal. Hal terbesarnya jika Tuhan membenci aku karena ulah ku ini. Aku akan berdosa. Sambil memeluk anjing ini aku berdoa meminta pertolongan dan pengampunan kepada Tuhan, “Ya Tuhan…tolong anjing ini! Dia sedang sekarat, aku menyesali perbuatanku. Ampuni aku Tuhan,” aku bersoa sambal menangis tersedu-sedu.

Anjing ini mulai tenang, jangan-jangan dia mati! Aku meraba dada anjing ini berusaha meyakini bahwa anjing ini tetap hidup. Deg-deg….deg-deg…(jantung berdetak), syukurlah. Anjing ini hanya diam sambal tetap meringis dengan suara yang lebih pelan. Sudah sore, sudah pasti ibu akan memarahi ku. Namun, aku tak tega meninggalkan anjing ini disini sendirian. Bisa saja ketika aku kesini untuk melihat anjing ini ternyata dia sudah mati. Baiklah, aku membaringkan anjing ini ditanah kemudian mengambil semua barang-barang yang ada di atas pohon dan dijalan tadi. Ketika sudah selesai dengan jiwa yang bijaksana dan bertanggung jawab aku membawa anjing ini ke rumah. Aku tahu ibu pasti akan memarahi ku habis-habisan, tetapi aku percaya dengan memberikan alasan yang sesungguhnya serta bukti ibu akan mempercayaiku dan membiarkanku merawat anjing ini sampai pulih.  

Drrr…drrrr… (dering handphone), aku terkejut mendengar handphone-ku berdering. Ternyata ada panggilan masuk dari pak satpam kompleks rumahku. Ketika aku mengangkatnya ternyata dia memberi tahu bahwa pintu pagar rumah sedang terbuka. Ia menanyakan situasi yang ada. Jadi ternyata motor yang berhenti di depan rumah tadi adalah motor pak satpam kompleks. Syukurlah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun