Mohon tunggu...
Zulkarnaini
Zulkarnaini Mohon Tunggu... Petani - Wartawan lokal Pidie jaya

Menulis itu hobi saya.kritik dan saran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara langit dan bumi

23 Desember 2024   01:45 Diperbarui: 23 Desember 2024   01:45 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bu Sis menjulurkan tangannya pada Idris, Idris pun meraihnya.

Perawat rumah lansia akhirnya berdatangan membantu. Namira mundur ke pojok kamar dengan tubuh gemetar setelah tugasnya diambil alih. Idris berdiri menatap Namira dengan Bu Sis di sampingnya. "Anak itu akan lebih bersedih dibanding anak-anakku," ucap Bu Sis. Namira bersimpuh di lantai kamar dengan linangan air mata. Idris terpaku melihatnya.

"Apakah kita mau di sini terus melihat dia menangis atau kamu mau mengantar saya ke suatu tempat?" celetuk Bu Sis pada Idris. Idris menoleh pada Bu Sis lalu mengangguk. Mereka berdua pun berjalan di jalanan panjang yang sepi. "Saya tahu kamu malaikat, apakah kamu malaikat yang mencabut nyawa saya?" tanya Bu Sis yang berjalan di samping Idris.

"Saya hanya menjemput," jawab Idris. "Apakah kamu sudah punya nama?" tanya Bu Sis lagi. "Idris,' jawabnya. Bu Sis tersenyum. "Nama yang bagus, saya nyaris mau memberimu nama suami saya tadi, Sunyoto." Idris menggeleng. "Apakah di sana saya bisa bertemu suami saya? Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu," tanya Bu Sis bersemangat. "Saya hanya menjemput," jelas Idris. Bu Sis manggut-manggut tak bertanya lagi. Mereka pun terus berjalan menuju ujung jalan yang terang.

 Namira duduk termenung memandangi kamar Bu Sis yang telah kosong. Ia merapikan barang-barang milik Bu Sis dan menyimpannya dalam sebuah tas untuk diserahkan pada anak-anaknya. Buku tentang malaikat yang sering dibacakannya untuk Bu Sis ditatapnya untuk beberapa saat. Ia yakin Bu Sis pergi ke tempat yang indah karena Bu Sis adalah orang baik yang taat beribadah.

Idris muncul di samping Namira yang tengah menatap buku itu. Ia mendengarkan apa yang ada dalam pikiran Namira. Seharusnya aku bisa menyelamatkan Bu Sis! Dia bilang dada kirinya sakit, tapi aku tidak peka! Namira berdecak sesal. Kalau saja aku membawanya ke rumah sakit saat itu, Bu Sis pasti masih hidup. Idris menatap wajah Namira. Wajah perempuan muda itu terlihat sedih dan penuh penyesalan.

Pintu kamar diketuk dan seorang perawat masuk. Namira menyerahkan tas milik Bu Sis juga buku itu. "Sus, titip pesan sama anak-anaknya Bu Sis kalau mereka kesini mengambil barang-barang ibunya, buku ini kesukaannya Bu Sis hampir tiap hari beliau minta dibacakan, jadi suruh mereka jaga baik-baik," kata Namira. Perawat itu mengangguk. Namira kemudian keluar kamar berjalan di sepanjang lorong rumah lansia dengan Idris di sampingnya. Kenapa Bu Sis mati di tanganku? Idris masih mendengarkan apa yang ada di pikiran Namira. Apakah aku kurang melakukan kompresi di dadanya? Ya Tuhan, sepertinya ini salahku! Idris menggeleng.

Namira mengusap-ngusap wajahnya kesal. Ia pun sampai di ruang penerimaan tamu rumah lansia di mana seorang pria tengah menunggunya. "Mi," panggil pria itu. Idris menoleh, melihat pria tersebut. "Ferdi," ucap Namira. "Aku tadi ke kantormu, tapi kata rekan kerjamu kamu sudah pulang duluan dan kesini," kata Ferdi. "Iya, aku membereskan barang-barang milik mendiang Bu Sis untuk dibawa pihak keluarganya Fer," terang Namira.

 Ferdi menarik lengan Namira ke sudut ruangan yang lebih sepi. Idris mengikutinya. "Mi, kenapa kamu yang repot sih?" tanya Ferdi pelan, "di sini sudah ada perawatnya, biar mereka yang bekerja, kamu itu hanya penjenguk, kamu ga punya kewajiban melakukan itu semua."

"Aku tahu Fer, tapi aku ingin membantu, aku merasa ada ikatan batin dengan mendiang," jelas Namira. "Kamu selalu begitu, dulu kamu pun mengatakan hal yang sama ketika Bu Tutik dan Pak Dirman meninggal ... Mi, ini rumah lansia, panti jompo, sudah hal yang biasa itu terjadi, lagi pula kamu bukan anak mereka," tukas Ferdi.

Idris menatap dekat wajah Ferdi lalu geleng-geleng. Seakan mengatakan lekaki ini keterlaluan. "Tapi kenapa mereka semua meninggal setelah aku dekat dengan mereka Fer?" tanya Namira. Ferdi mengangkat kedua bahunya. "Aku ga tahu itu, mungkin itu hanya kebetulan saja." Namira menghela nafas. "Aku tahu sejak ibumu meninggal kamu berusaha mengobati lukamu dengan mengabdikan dirimu di sini tapi--" Ferdi tak melanjutkan kalimatnya karena Namira telah menatapnya tajam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun