Untuk beberapa saat terpejam dalam keheningan lalu mereka membuka mata mereka. Raju menatap Idris mengucapkan, "Selamat bertugas." Idris mengangguk. Matahari pun terus muncul menyinari bumi.
"Tuhan yang Maha Tinggi telah menciptakan malaikat dan memberinya akal. Dia menciptakan binatang buas dan memberinya nafsu. Dia menciptakan anak Adam dan memberinya akal dan nafsu," ucap seorang perempuan muda yang tengah membacakan sebuah buku pada seorang wanita lanjut usia yang berbaring di ranjang rumah lansia.
"Menarik sekali buku tentang malaikat ini," ucap wanita lanjut usia, "apakah kamu percaya adanya malaikat Mi?" Perempuan muda bernama Namira yang ditanya itu mengangguk. "Tentu saja Bu, bukankah itu bagian dari keimanan kita?" Wanita lanjut usia itu tertawa. "Syukurlah, saya hanya khawatir, generasi sekarang lupa dengan apa yang harus dipercaya."
Namira menutup bukunya lalu merapikan selimut wanita lanjut usia itu. "Gimana kondisi Ibu sekarang?" tanyanya. "Masih terasa sakit di sini," tunjuk wanita lanjut usia itu di dada kirinya. "Tapi kemarin setelah kontrol di rumah sakit, dokter bilang tidak ada yang harus dikhawatirkan bukan?" senyum Namira. Wanita lanjut usia itu mengangguk.
"Baiklah Bu Sis, sekarang saya harus tinggal Ibu untuk istirahat, saya mau menjenguk yang lain," ucap Namira. Bu Sis, wanita lanjut usia itu menggenggam jemari Namira sebelum pergi. "Mi, terima kasih ya, kamu selalu menyempatkan diri kesini di sela kesibukanmu untuk menemani saya, bahkan di saat anak-anak saya tak datang kesini. Apa yang kamu lakukan kepada kami sangat berarti, hatimu baik sekali Mi."
Namira mengusap lembut jemari Bu Sis. "Tidak masalah Bu, saya senang berada di sini." Namira kemudian mencium tangan wanita lanjut usia itu dan meninggalkannya dalam senyuman. Di balik pintu setelah Namira menutupnya, Idris tampak berdiri di situ. Wanita lanjut usia itu tertegun menatap Idris. Idris menatapnya teduh. "Apakah ini saatnya?" tanya Bu Sis. Idris mengangguk. Namira yang masih berada di depan pintu terkejut mendengar suara Bu Sis itu. Ia mengerutkan keningnya.
Bu Sis ngomong sama siapa? Tanya Namira dalam hati.
Idris mendekat, menatap wajah ibu tua itu dari dekat hingga berjarak beberapa senti saja. "Tapi aku masih ingin bertemu dengan anak-anakku," ucap Bus Sis. Tatapan Idris semakin meneduhkan hati wanita tersebut. Namira membuka perlahan pintu kamar, ia ingin tahu dengan siapa Bu Sis bicara. Tapi di dalam kamar, ia hanya melihat wanita lanjut usia itu berbaring sendiri sambil memegangi dada kirinya.
"Bu Sis, apakah Ibu baik-baik saja?" tanya Namira. Idris menoleh pada Namira yang melangkah masuk ke dalam kamar. Ia memerhatikan perempuan itu. "Dadaku sakit Mi," jawab wanita itu dengan wajah pucat. Namira dengan cepat berteriak meminta bantuan perawat di rumah lansia itu tetapi belum ada yang datang.
Bu Sis semakin tampak kesakitan dan mulai kehilangan kesadaran. Tanpa menunggu lagi Namira memutuskan untuk menolongnya dengan apa yang diketahuinya mengenai pertolongan pertama pada orang yang terkena serangan jantung. Idris semakin memerhatikan perempuan itu dengan seksama. Namira menarik bantal untuk membuat Bu Sis terbaring di ranjang yang datar. Ia lalu melakukan kompresi di dadanya.
"Ayo Bu Sis, bertahan Bu," ucap Namira seraya melakukan tindak kompresi di dada wanita lanjut usia itu dengan cepat. Bu Sis tak merespon, wajahnya semakin memutih. "Tidak Bu, jangan menyerah, ayo Bu, bangun!" teriak Namira bergetar. Idris menatap wajah Namira dari dekat. Namira tampak cemas dan tegang. "Tolong! Bu Sis serangan jantung!" teriaknya tanpa melepas kompresi dengan kedua tangannya itu, ia terus berusaha sekuat tenaga.