Mohon tunggu...
Zulkarnaini
Zulkarnaini Mohon Tunggu... Petani - Wartawan lokal Pidie jaya

Wartawan lokal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara langit dan bumi

23 Desember 2024   01:45 Diperbarui: 23 Desember 2024   01:45 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antara langit dan bumi

Kudengar ada tujuh puluh ribu tapi bukan sebuah kepastian. Tersebar di dataran, di langit dan menyelinap di antara manusia. Menengok dan memerhatikan, yang kudengar lagi tujuh puluh kali dalam sehari. Mencatat dan melaporkan. Lalu ada segolongan penjemput saat nafas di ujung tenggorokan. Tidur, tidurlah, bisik mereka. Tidak selalu mengepakkan sayap kadang berjas dan menatap diam. Menatapku dalam keramaian yang menggema sunyi. Apakah benar kamu malaikat? (Ardneh Yzuaf -- Puisi Malaikat).

Suara keras dari dua benda yang bertumbukkan terdengar memekak telinga. Semua orang yang sedang bersiap melakukan aktifitas paginya terkejut. Mereka berlarian mendatangi asal suara tersebut. Apa yang dilihat mereka sesampainya di sana sungguh mengejutkan. Dua buah motor dan tiga orang penumpangnya bergeletakkan di tengah jalan yang masih sepi.

"Dua orang masih hidup! Cepat telpon ambulan!" teriak seorang pria. Seseorang dengan sigap menelepon rumah sakit terdekat. "Anak ini masih hidup tapi tampak lemas sekali!" seru seorang pria lain yang memeriksa satu dari tiga penumpang motor yang ternyata masih anak-anak. "Itu anak saya!" lirih seorang pria salah satu korban yang masih hidup. Pria itu memeluk putrinya yang tersenggal-senggal.

"Mana ambulan?!" teriaknya dengan wajah penuh luka. "Maafkan Bapak, maafkan Bapak Nak," lirihnya dengan linangan air mata. Putrinya hanya diam lalu menatap pada kerumunan orang-orang. Di antara kerumunan itu tampak seorang pria berwajah bersih dan berpakaian rapi berwarna hitam tengah menatapnya. Tatapannya teduh.

"Tidur, tidurlah," ucap pria itu perlahan.

Anak kecil itu menjulurkan tangannya, pria berpakaian itu pun meraihnya.

Suara sirine dari mobil ambulan terdengar. Beberapa petugas medis melompat turun dari mobil dan bekerja cepat untuk memeriksa korban kecelakaan. Mereka menggeleng saat memeriksa kondisi anak kecil itu. Sang bapak pun meraung sedih seraya memeluk putri kecilnya yang telah tiada.

Kini di sebelah pria berpakaian hitam itu telah berdiri sang anak. Mereka berdua menatap semua itu dan tak seorang pun melihat keberadaan mereka. "Semoga Bapak kuat," kata anak kecil itu. Pria berpakaian hitam mengangguk. "Apakah sekarang saatnya aku harus pergi?" tanyanya. Pria berpakaian hitam itu mengangguk lagi. Ia menggandeng jemari sang anak. Mereka berdua lalu pergi meninggalkan tempat kejadian dan berjalan di jalanan panjang yang sepi.

"Apakah kamu Tuhan?" tanya anak itu. Pria berpakaian hitam itu menggeleng. "Kalau gitu, kamu pasti malaikat," terkanya. Pria berpakaian hitam itu tersenyum. "Siapa namamu?" tanyanya lagi. Pria berpakaian hitam itu menatap anak kecil tersebut. "Aku belum memikirkan apa namaku," jawabnya. "Aku panggil Idris ya? Sama seperti nama bapak," kata anak itu. Pria berpakaian hitam itu mengangguk. Mereka lalu terus berjalan menuju cahaya terang di ujung jalan."Namaku sekarang Idris." Kata pria berpakaian hitam yang tengah berbincang dengan seorang pria bermata sipit yang juga memakai pakaian serba hitam. Pria bermata sipit itu tertawa. "Akhirnya kau punya nama," ucapnya, "sebuah nama yang bagus, dibanding namaku, 'Raju', karena seorang ibu yang aku jemput menyukai film India dan memberiku nama tersebut. Padahal wajahku ga ada india-indianya." Idris tersenyum. "Seorang anak memberiku nama bapaknya, sebuah kehormatan memakai nama itu."

"Sebuah hal yang lucu saat mereka memberi kita nama, bukan begitu Dris?" ucap Raju. Idris mengangguk. Di sekitar mereka berdatangan lagi orang-orang berpakaian hitam dengan wajah-wajah bersih. Mereka semua berdiri di atas awan-awan yang berarak. Jumlahnya ribuan. Mereka semua diam saat di batas antara langit dan bumi, cahaya matahari pertama muncul. Mata mereka terpejam. Cahaya matahari menyinari mereka semua dibalut dalam sonata hening yang mengalun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun