Tiba-tiba rasa sesal muncul dalam diri saya. Saya menyayangkan sikap partai politik, khususnya di Buru Selatan, yang hanya bisa membuka tangan, tidak mengulurkan tangan untuk menabur pupuk berkualitas demi menumbuhkan bibit-bobot sumber daya manusia Buru Selatan yang unggul dan siap menyambut dunia baru yang serba digitalisasi ini.
Partai politik, apa pun namanya partai itu, khususnya di Buru Selatan, harus menjadi laboratorium ide-ide besar tentang kemajuan masyarakat. Maksudnya, partai politik jangan cuma menunggu dengan membuka pendaftaran calon kandidat. Petugas partai politik harus mencari, bila perlu menggali sedalam-dalamnya untuk menemukan manusia terbaik dari dalam bumi Buru Selatan.
Pengurus partai politik harus berani meninggalkan tradisi tukar-tambah yang sudah menjadi kebiasaan buruk dalam politik Indonesia pada umumnya. Kondisi Buru Selatan, diam-diam menyakiti batin, itu harus diperbaiki.
Saya yakin betul bukan cuma keluarga saya  saja yang cemas memikirkan bagaimana masa depan pekerjaan mereka. Ada banyak orang di luar sana yang juga was-was setelah pemilihan usai bingung akan makan apa. Adakah pekerjaan yang tersedia untuk mereka? Pertanyaannya bukan cuma itu.
Pertanyaan terbesar yang ada di kepala setiap orang adalah apakah memilih berdasarkan tuntutan nurani tidak akan disingkirkan seandainya kandidat yang dipilih kalah dalam Pilkada? Hanya waktu dan kebaikan hati si pemenang lah yang bisa menjawab pertanyaan ini.
Saya semakin mencemaskan masa depan keluarga saya di Buru Selatan. Sebab, tak ada satu pun orang, terutama bakal calon Bupati dan Wakil Bupati, yang menjaminkan dirinya akan memberikan keadilan seadil adilnya bagi setiap orang. Sayangnya, tidak bisa dinafikan, semua orang yang maju di Pilkada menginginkan kemenangan. Tak ada satu orang pun yang berniat maju supaya kalah. Artinya, ancaman dan tipuan, terutama kekecewaan, mungkin saja akan selalu diadakan dalam Pilkada.
"Astaga, saking asyiknya bercerita, saya hampir lupa memberikan solusi/saran kepada keluarga saya agar tak salah memilih.", bicara saya dalam hati. Halo, halo, halo kakak...
Daripada menimbang panjang-lebar, mengingat belum ada data yang mumpuni, saya bilang saja dulu ke mereka bahwa pertama-tama yang harus diperhatikan dan dijadikan pertimbangan adalah: "Pemimpin yang tidak menimbulkan kecemasan dalam diri rakyatnya memikirkan besok mau kerja apa supaya bisa makan. Carilah pemimpin yang Ikhlas maju mencalonkan diri. Bukan cuma ikhlas, ia juga harus mampu lahir batin".
Syukurlah, mendengar saya bilang begitu kecemasan keluarga saya sedikit berkurang. Meski saya sadar jawaban itu tidak memberikan jawaban apa pun, kecuali omong kosong belaka.
Di ujung pembicaraan lewat telepon, mereka tiba-tiba kembali bertanya; "Menurut Ose para calon itu harus bagaimana supaya menang?". Waduh, pertanyaan ini kok mirip pertanyaan team sukses ya? Saya jadi bertanya-tanya dalam hati apakah keluarga saya sedang bekerja untuk seorang bakal calon? Haruskah pertanyaan itu saya jawab? Ah, jawab saja lah. Toh untuk keluarga sendiri.
Saya bilang: "Untuk menang, pertama-tama, si calon harus tahu kelemahannya sendiri. Kedua, harus tahu kelemahan lawannya. Tapi sebelum itu, si calon harus menentukan dan memutuskan siapa yang akan menjadi lawan politik-nya dalam pemilihan kepala daerah nanti. Tanpa menentukan lawan politik, saya pastikan, kekuatan yang dihimpun adalah kekuatan yang dihitung secara serampangan, alias hitung galabor".