Kebijakan-Kebijakan Theresa May dalam Proses BrexitÂ
Theresa May membuat kejutan dengan mengadakan pemilihan perlemen di bulan April 2017. Banyak yang menganggap hal ini terlalu buru-buru dan dipaksakan mengingat yang menjadi fokus utama seharusnya adalah Proses Negosiasi Brexit. May menjawab semua keraguan untuk menggelar pemilihan parlemen dengan alasan bahwa dengan diadakannya pemilihan maka akan membawa keseimbangan dan mempermudah Inggris dalam masa peralihan  dari  keanggotaan dari Uni Eropa.
May memiliki maksud lain dalam menggelar pemilihan cepat di parlemen. Posisi partai Konservatif yang kekurangan perwakilan dipercaya banyak pengamat menjadi alasan utama May dibalik berlangsung nya pemilihan cepat. Sesuai dugaan, Partai Konservatif mengungguli pesaingnya yaitu Partai Buruh dengan agregat 20%.Â
Hal ini menjadikan May bisa lebih mudah menyuarakan dukungan untuk proses Brexit di parlemen. Parlemen jadi lebih mudah terkendali dengan berkurangnya oposisi yang kerap kali menolak Paket Kesepakatan Inggris dan Uni Eropa yang dilampirkan May. Namun, kenyataan tidak seindah ekspektasi yang diharapkan.
Di pemilihan berikutnya, May kehilangan dukungan dari rakyat. Kinerjanya dinilai tidak piawai dalam menangani Brexit menjadi alasan utama berkurangnya empati pemilih. Partai Konservatif yang merupakan Partai yang dipimpin May kehilangan 12 kursi perwakilan di House of Commons.Â
Semakin melemahnya citra May sebagai Kepala Pemerintahan mengisyarakat ia harus segera mundur. Serangan datang dari berbagai arah baik dari eksternal maupun internal Partai yang diusungnya. Namun May, tidak buru-buru mengibarkan bendera putih. Ia berusaha menarik simpati dari Partai Persatuan Demokratik Irlandia Utara dengan membantu partai tersebut dalam mengamankan 2 kursi dari 10 kursi yang diperebutkan di Parlemen.
Kesepakatan terjadi, Partai Persatuan Demokratik Irlandia Utara menyetujui untuk mempermudah kebijakan yang akan dicanangkan oleh Pemerintahan May seperti memberikan mosi percaya dan pemungutan suara seputar Brexit, Undang-Undang Keamanan, Anggaran  dan Pengeluaran Pertahanan NATO. Sebagai imbalannya, pemerintah memberikan bantuan sebesar 1 milliar Euro yang dapat digunakan untuk pendanaan Irlandia diberbagai bidang.
Setelah berulang kali mendapat batu sandungan dari parlemen, May mendapat cobaan berikutnya dari internal kabinet nya yang kacau. Ditinggal oleh beberapa Menteri yang terlibat skandal; salah satu Menteri nya terlibat skandal yang memalukan. Bukan hanya masalah skandal yang terjadi dikabinet nya. Menteri Luar Negeri yaitu Boris Johnson memutuskan mundur karena tidak sejalan dengan May dalam menghadapi Brexit. Perombakan kabinet membuat focus May dalam menghadapi Brexit menjadi terbelah.
Tidak hanya itu, May memerintahkan pasukan Inggris untuk bergabung dengan militer  Amerika Serikat dan Prancis untuk bersama memerangi rezim Bashar Al Asaad di Suriah tanpa sepengetahuan dari parlemen. Parlemen menganggap hal ini sebagai penyalahgunaan kekuasaan. May berdalih bahwa hal ini merupakan urgensi yang harus dilakukan dengan mengatasnamakan kemanusiaan, yang mana berarti restu dari parlemen tidak dibutuhkan.
Masalah yang menimpa May tak kunjung usai, selanjutnya pendukung utama May dalam pemerintahan harus mengundurkan diri dikarenakan skandal terkait imigran Karibia yang terjadi pada tahun 1950-1960. Hilangnya dokumen yang mengatur hak-hak imigran tersebut secara otomatis mengakibatkan imigran yang datang dari Karibia ke Inggris dinyatakan sebagai imigran gelap walaupun mereka telah menetap di Inggris berpuluh-puluh tahun lamanya.Â
May diminta bertanggung jawab dalam masalah ini karena jabatan nya dulu sebagai Menteri Dalam Negeri yang mengawasi dokumen tersebut selama bertahun-tahun dipertanyakan. May kemudian memperbarui kembali kebijakan terkait imigran tersebut dan menyampaikan permintaan maafnya.