Namun proses Brexit tidak berhenti disitu saja. RUU May yang telah disetujui parlemen ini merupakan garis awal dalam menempuh jalan memisahkan diri dari Uni Eropa. Jika semua proses berjalan lancar maka sesuai rencana, Inggris akan resmi meninggalkan Uni Eropa pada Maret 2019.
 Proses Brexit berlanjut dengan negosiasi berikutnya, May bertolak ke markas besar Uni Eropa di Brussels dan bertemu dengan Ketua Dewan Eropa, Donald Tusk untuk memproses kelancaran Brexit sesuai prosedur yang tertuang di Pasal 50 Perjanjian Lisbon. Meminta restu dari 27 negara-negara anggota Uni Eropa lainnya terkait mundurnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa menjadi jalan berikutnya yang harus ditempuh. Hal ini akhirnya berhasil setelah 18 bulan lamanya.
Perjuangan yang dilakukan Theresa May diuji kembali dengan adanya masalah internal kepemimpinan nya. Hubungan nya dengan parlemen Inggris tidak stabil. Disaat yang bersamaan ia harus mengusahakan Brexit tepat waktu. Berkali-kali May dilayangkan mosi tidak percaya oleh Parlemen Inggris dikarenakan Kabinet nya dan Parlemen kerap kali berselisih paham terkait Brexit. Kesepakatan yang dicanangkan May terkait dengan Brexit berulang kali ditolak oleh Parlemen.Â
May ingin Inggris dan Uni Eropa tetap berhubungan dan menjalin Kerjasama walaupun Inggris sudah tidak menjadi anggota Uni Eropa. Sebagaimana yang telah disebutkan diawal bahwa May sejatinya merupakan tokoh pendukung Kubu Kontra Brexit namun kedudukan nya sebagai Perdana Menteri mewajibkan May untuk menjalankan amanat rakyat yaitu Brexit.Â
Karena ia tidak bisa menentang suara mayoritas maka ia pun menciptakan cara lain agar Inggris masih bisa berhubungan dengan Uni Eropa selepas perceraian terjadi yaitu dengan Kesepakatan Kerjasama Inggris dan Uni Eropa pasca Brexit.
 Dilain pihak, Parlemen ingin Inggris sepenuhnya memutuskan hubungan dengan Uni Eropa. Perbedaan pendapat ini yang mengakibatkan hasil kesepakatan PM Theresa May dengan Uni Eropa berulang kali ditolak oleh parlemen.Â
Tensi yang besar tak terhindarkan, Brexit kemudian dijadikan alat politik oleh tokoh-tokoh pemerintah lainnya. Kejelasan akan Brexit semakin kabur, tenggat waktu dua tahun yang diberikan oleh Uni Eropa kepada May untuk membenahi segala kesepakatan pasca Brexit nantinya sudah didepan mata sehingga Uni Eropa memberikan waktu tambahan kepada Inggris untuk membereskan urusannya.
Terang saja dengan adanya penundaan dan penolakan mengakibatkan rencana Theresa May menjadi berantakan. Ada dua pilihan yang bisa diambil May untuk strategi berikutnya; pertama ia akan pergi ke Brussels dan meminta perpanjangan kembali sedangkan pilihan kedua yaitu ia akan menggelar sidang parlemen dan mengumumkan tentang apakah ia setuju terhadap pemilihan tanpa kesepakatan. May memilih opsi kedua dengan mempertimbangkan bahwa itu adalah hal yang terbaik yang dapat ia lakukan. Â Â Â
Satu-satunya harapan yang dimiliki May ditolak mentah-mentah oleh parlemen. Tehitung sudah tiga kali ia mengirimkan paket kesepakatan nya dengan Uni Eropa kepada Parlemen. Strategi terakhir yang digunakan oleh PM Theresa May gagal total sehingga ia mengumumkan pengunduran diri dari posisi Kepala Pemerintahan Inggris serta mundur dari kursi kepimpinan Partai Konservatif. PM Theresa May tetap akan menjadi Perdana Menteri setelah ia mengumumkan pengunduran dirinya hingga Calon Perdana Menteri selanjutnya muncul.
Kandidat terkuat yang akan menggantikan Theresa May adalah Mantan Menteri Luar Negeri Boris Johnson yang mundur dari posisi Menteri Luar Negeri karena tidak setuju dengan cara May dalam memproses Brexit. Boris Johnson merupakan tokoh yang memegang peranan penting dalam referendum yang terjadi pada tahun 2016. Benar saja, Boris Johnson kemudian naik jabatan menjadi Perdana Menteri Inggris dan melanjutkan kinerja May dalam proses Brexit.