Mohon tunggu...
Humaniora

Larangan-larangan dan Permasalahan dalam Sewa Menyewa

19 Maret 2019   07:20 Diperbarui: 4 Juli 2021   04:08 4311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Larangan-larangan dan Permasalahan dalam Sewa Menyewa (dokpri)

Artinya; "Dari Ibnu Umar berkata; Rasulullah SAW melarang penyewaan mani hewan pejantan". (HR. Abu Daud)

Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan, alangkah baiknya kita mengetahui terbelih dahulu apa arti dari sewa dasar hukum sewa dan rukun sewa Menyewa.                                                                           

 1.Pengerian Sewa.

Sewa dalam bahasa arab di istilahkan dengan al-ijarah. Ijarah adalah perjanjian sewa menyewa suatu barang dalam waktu tertentu melalui pewbayaran sewa. 

Atau ijarah adalah transaksi sewa-menyewa suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melaui pembayaran sewa atau imbalan jasa (Refika Aditama, 2008). Menurut Dr. Muhammad Syafi'i Antonio, ijarah adalah pemindahan hak guna atas barang jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri (Jakarta: Tazkiyah institut, 1999). 

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. Ijarah dapat juga di artikan sebagai lease contract dan juga hire contract. 

Karena itu, ijarah dalam konteks perbankan syariah adalah suatu lease contract. Lease contract adalah suatu lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment), baik dalam bentuk sebuah bangunan maupun barang-barang, seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain. kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah di tentukan secara pasti sebelumnya (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1999).

Baca juga : Jual Sewa atau Beli Sewa

2.Dasar Hukum Sewa.
Dasar hukum ijarah adalah firman Allah QS al-Baqarah/2:232 sebagai berikut: "Dan jika kamu ingin anakmu di susukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut..."

Ayat di atas menjadi dasar hukum adanya sistem sewa dalam hukum islam, seperti yang di ungkapkan dalam ayat bahwa seorang ibu boleh menyewa orang lain untuk menyusui anaknya, tentu saja ayat ini akan berlaku umum terhadap segala bentuk sewa-menyewa (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

3.Rukun Sewa.
Rukun sewa adalah:
Pihak yang menyewa.
Pihak yang menyewakan.
Benda yang di sewakan.
Akad.

Landasan Syara' Ijarah
Hampir semua ulama' ahli fiqih sepakat bahwa ijaran di syariatkan di dalam islam. Adapun golangan yang tidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Ibn Aliah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawi, dan Ibn Kaisan beralasan bahwa ijarah adalah jual beli kemanfaatan, yang tidak dapat di pegang atau tidak ada. 

Sesuatu yang tidak ada tidak dapat di kategorikan jual beli. Dalam menjawab pandangan paraa ulama, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat di jadikan alat pembayaran menurut kebiasaan atau adat (Ibn Rusyd, juz II hlm. 218).

Baca juga : Sewa Menyewa (Ijarah) dalam Pandangan Islam

Menurut istilah hukum islam, orang yang menyewakan disebut dengan mu'ajir. Sedangkan orang yang menyewa disebut dengan musta'jir. Benda yang di sewakan diistilahkan dengan ma'jur dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang tersebut disebut ujrah (Jakarta: kencana,2006).

Dalil yang di syari'atkan ijarah berdasarkan pada firman Allah, sebagai berikut:
Salah seorang dari wanita itu berkata: "Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat di percaya". 

"Berkata Syu'aib: "Seungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari putriku ini, atas dasar kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah suatu kebaikan dari kamu, maka aku tidak ingin memberati kamu. Dan kamu insyallah akan mendapatiku termasuk orang orang yang bai". (QS Al-Qashas [28]:26-27).

Ijarah atau sewa menyewa pada suatu yang dapat di berikan manfaatnya, seperti menyewkan air susu ibu, menyewakan tenaga, menyewakan ilmu, dan barang barang yang lain yang dapat memnberikan manfaat. 

Baca juga : Mengenal Sewa-menyewa dalam Islam

Oleh karena itu, tidak sah menyewakan pohon untuk mengambil buahnya, tidak boleh menyewakan uang, dan tidak boleh pula menyewakan makanan karena semua itu tidak layak untu di sewakan. Sebab, yang ada buah dari pohon layak di beli, makanan juga layak di beli, dan uang layak untuk di pinjamkan bukan untuk di sewakan.

Ijarah menjadi sah dengan ijab qabul lafazd sewa atau yang berhubungan dengannya, serta lafadz atau ungkapan apa saja yang dapaat menunjukkan hal tersebut. Syarat sah ijarah lainnya adalah sebagai berikut. 

Pertama harus ada ke ridhaan dari kedua orang yang akad. Kedua, mengetahui dari apa yang akan di sewakan. Ketiga, sesuatu yang di sewakan dapat memenuhi keinginan si penyewa secara hakikat dan syara'. Keempat, ada kemampuan atas keselamatan diri dari yang di sewa. 

Kelima, penyewaan tersebut pada suatu yang mubah, bukan suatu yang haram atau wajib. Oleh karena itu, tidak sah menyewa untuk sesuatu yang mengandung maksiat dan juga tidak sah ijarah untuk shalat dan puasa.
Berikut adalah Permasalahan dalam sewa menyewa atau ijarah:
Menyewa orang untuk taat

Ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, atau puasa, atau mengerjakan haji, atau membaca Al-Qur'an, atau adzan yang pahalanya di hadiahkan kepada orang yang menyewa menurut madzhab hanafi dan hambali tidak di bolehkan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw:

"Dan janganlah kamu mengangkat seseorang menjadi muzzin yang memmungut dari azan suatu upah".(HR.Ibnu Majah).

Dengan alasan bahwa perbuatan yang tergolong takarub apabila berlangsung, pahalanya jatuh kepada si pelaku karena itu tidak boleh mengambil upah dari orang lain untuk pekerjaan itu.

Berbeda dengan Syafi'i, Maliki, dan Ibn Hazm bahwa hukum mengambil upah dari perbuatan tersebut di bolehkan sebagai jenis imbalan dari perbuatan yang di ketahui dan dengan tenaga yang di ketahui pula. Pendpat mereka ini di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw:

"Sesungguhnya upah yang paling hak untuk kamu ambil ialah imbalan dari kitabullah". (HR. Bukhari).

Berdasarkan hadis di atas, Madzhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa sebagaimana boleh mengambil imbalan pengajaran Al-Qur'an, boleh pula mengambilnya untuk adzan dan haji, sebagaimana kita mengenal adaa haji baadal.

Mempercepat dan menangguhkan upah

Upah tidak menjadi milik dengan hanya sekedar akad, adapun mempercepat ataupun menangguhkan upah sangat tergantung, adapun mempercepat atau menangguhkan upah sangat tergantung kepada persyaratan yang telah mereka perbuat , pembayaran dapat di bayar di muka, di tengah dan di akhir sesuai dengan persyaratan yang telah di buat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

"Orang orang muslim itu sesuai dengan syarat mereka".(HR. Bukhari).

Upah secara sempurna harus telah di berikan setelah pekerjaan telah sempurna di selesaikan, dan tidak boleh di tunda tunda. Kecuali, ada pekerjaan yang belum sempurna maka boleh di tangguhkan.

Menyewakan tanah dan binatang
Barang atau jenis yang di sewakan harus jelas termasuk untuk apa di manfaatkan barang itu. Misalnya, menyewahkan tanah untuk pertanian, maka di perbolehkan, tetapi jika menyewakan tanah dan tidak jelas di manfaatkan untuk apa, maka tidak ddi perbolehkan.

Begitu pula menyewakan bainatang, harus umtuk apa kegunaannya, seperti untuk mengangkut barang, untuk di tunggangi dengan perlu juga menjelaskan tempo waktunya, tempat dan upah yang akan di terimanya.

Menyewakan barang sewaan

Pada hakikatnya, barang yang di sewakan tidak boleh di sewakan kepada orang lain, karena tidak jelas. Sebab, jika terjadi kerusakan pada barang yang di sewakan, siapa yang bertanggung jawab terhadap kerusakan baarang tersebut. Karena penyewa pertama, kedua dan ketiga sangat sulit menentukan dari mana sumber kerusakan tersebut.

Akan tetapi, jika di pastikan barang itu tidak akan rusak, dan ia juga menjamin untuk mengganti rugi terhadap barang sewaan, boleh menyewakan barang sewaan kepada orang lain.

Kerusakan pada barang sewaan
Sewaan adalah amanat yang ada  di tangan penyewa, karena ia menguasai utuk dapat mengambil manfaat yang ia berhak. Apabila terjadi kecelakaan atau kerusakan, ia tidak akan berkewajiban menjaminnya kecuali dengan sengaja atau karena pemeliharaan yang kurang biasanya.

Daftar Pustaka
 Dr. MARDANI, FIQH  Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Kencana Prenadamedia Group)
 Prof. Dr. H. Rachmat Syafe'i, M.A., FIQIH MUAMALAH, (Pustaka Setia Bandung)
 Dr. Hasbiyallah, M.Ag., SUDAH SYAR'IKAH MUAMALAHMU? Panduan memahami seluk-beluk Fiqh Muamalah, (Salma Idea)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun