"Saya kaget anak saya pulang bawa sampah-sampah. Saya tanya darimana ini Nak? Katanya dari mulung, nanti dijual, bisa ditabung uangnya."
Dari apa yang dilakukan oleh sang anak lah, Bu Efrida Hartini, pegiat Bank Sampah Kota Malang terinspirasi untuk mengumpulkan sampah-sampah di sekitarnya untuk dikelola, didaur ulang, dan menjadikan masyarakat lebih peduli pada lingkungan dan berdaya karena mendapat rupiah dari sampah yang terkumpul.
Kebayang kan bagaimana kekuatan perempuan sekaligus seorang Ibu di tengah keluarganya dan juga masyarakat?
Bu Efrida Hartini menjadi salah satu contoh perempuan berdaya yang menginspirasi saya agar lebih peduli terhadap lingkungan dan bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
Meneladani Bu Efrida Hartini Menuju Net Zero Emission (NZE) 2060
Jika merujuk dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di tahun 2019 lalu, jumlah sampah kita mencapai 68 ton yang terdiri dari 57% sampah organik, 15% sampah plastik, 11% sampah kertas dan 17% sampah lainnya. Bisa dibayangkan seperti apa gunungan sampah tersebut hingga akhirnya TPA penuh sesak dan ditutup satu demi satu.
Sebenarnya di Indonesia sendiri sudah ada lebih dari 5000 unit bank sampah yang tersebar di seluruh kabupaten atau kota di Indonesia. Dari 5000 unit bank sampah tersebut alhamdulillah jumlah sampah kita mengalami penurunan setiap tahunnya. Namun, jika bisa lebih ditekan lagi, tentu Indonesia akan menjadi negara yang lebih bersih dan sehat udara serta lingkungannya kan? Begitu juga dengan tujuan Net Zero Emission di tahun 2060 kelak.
Harapannya sebenarnya sederhana, masyarakat sudah mulai memisahkan dan mengelompokkan sampah organik maupun anorganik. Belajar dari negara-negara maju dan terkenal dengan kebersihannya seperti Jepang, Korea, Singapore, dan lainnya, sampah memang sudah dipisahkan sejak dari rumah.
Bahkan ada hari-hari tertentu untuk membuang limbah rumah tangga. Seperti hari Selasa untuk sampah elektronik. Rabu untuk sampah tekstil, dan seterusnya. Lagi-lagi, perubahan besar tidak akan terjadi jika tidak dimulai dari lingkup terkecil, yaitu rumah.
Oleh karena itu peran seorang Ibu atau perempuan menjadi hal yang sangat krusial di sini.Â
Siapa yang kebanyakan memasak di rumah? Ibu.
Siapa yang kebanyakan mengatur perabot rumah, menatanya hingga tampak cantik dan menawan? Ibu.
Siapa yang mengajarkan anak lebih banyak tentang life skill di rumah? Ibu.
Oleh karena itu, perempuan menjadi ujung tombak yang sangat penting untuk perubahan kecil yang kelak akan menjadi perubahan besar untuk dunia, khususnya soal sampah dan perbaikan lingkungan.
Memulai Bank Sampah dari Rumah Menuju Net Zero Emission 2060
Tentu kita pernah mendengar gagasan pengelolaan sampah melalui Bank Sampah yang pernah dipopulerkan oleh salah seorang dokter dari kota Malang yang berhasil mendapatkan undangan King Charles di Inggris tentang inovasinya untuk melayani masyarakat di bidang kesehatan melalui Bank Sampah.
Mekanismenya yakni sampah-sampah yang dikumpulkan dan dipilah oleh masyarakat tersebut boleh ditukarkan dengan pengobatan atau pemeriksaan kesehatan gratis di Klinik Kesehatan dr. Gamal Albinsaid, seorang dokter asli Malang yang ternyata saat itu juga pernah magang di Bank Sampah Malang di bawah bimbingan Bu Efrida Hartini, salah satu pengelola Bank Sampah Kota Malang.
Sebelum Bank Sampah Kota Malang dikenal oleh banyak orang, Ibu Efrida bersama dengan suami dan juga anak-anaknya tak lelah melakukan sosialisasi tentang bank sampah pada satu per satu warga di sekitar rumahnya.
Hal ini dilakukan semata karena kepedulian beliau terhadap sampah yang terus menggunung, banyak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di kota-kota yang terpaksa harus ditutup karena overload, membuat Bu Efrida tak menyerah untuk memberikan edukasi pada masyarakat.
Bersama kelompok pemberdayaan yang beranggotakan Ibu-Ibu di sekitar rumahnya, Bu Efrida akhirnya mampu mengelola sampah anorganik menjadi barang-barang yang punya nilai guna. Meskipun tidak laku banyak, tapi setidaknya bisa dimanfaatkan sendiri.
Melalui kunjungan kami ke Bank Sampah Kota Malang dan juga proses penulisan ini pun saya juga belajar untuk mengelola sampah organik menjadi kompos, sampah anorganik menjadi baju daur ulang, rajutan dari kantong plastik, ecoprint hingga limbah kain sebagaimana yang dicontohkan oleh Bu Efrida pada kami.
Mewujudkan Net Zero Emission 2060 dari rumah rasanya akan menjadi
Mewujudkan Transisi Energi Adil dari Rumah Untuk Dunia yang Lebih Baik
Melansir dari laman resmi Oxfam, yang dimaksud dengan transisi energi adil adalah bagaimana cara kita menghilangkan pembiayaan untuk bahan bakar fosil dengan cara mengurangi kesenjangan, mengalihkan biaya aksi iklim ke negara-negara kaya yang melakukan lebih banyak polusi sambil memprioritaskan keadilan ekonomi, ras dan juga gender.
Bagaimana caranya? Ada contekannya nih dari Oxfam agar teman-teman juga bisa mewujudkan mimpi kita bersama, berangkat dari rumah :
- Memulainya dari hal sederhana : pemilahan sampah dimulai dari rumah. Mengurangi sampah rumah tangga, bahkan kalau bisa meniadakan sampah rumah tangga. Berkurangnya sampah akan memberikan banyak "nafas baru" untuk bumi yang lebih baik dan setidaknya mengurangi emisi.Â
- Mengurangi atau kalau bisa sih menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan memanfaatkan sumber energi terbarukan. Sambil memastikan bahwa upaya kita untuk meningkatkan produksi energi terbarukan tersebut tidak meninggalkan dampak buruk di berbagai sektor.
- Menyuarakan penolakan terhadap perampasan tanah dari masyarakat adat tanpa persetujuan dan kompensasi yang tidak adil dimulai dari gawai masing-masing. Kampanye digital di era seperti ini sangat memengaruhi kebijakan Pemerintah lho! Jadi, Ibu di rumah pun bisa mengambil peran.
- Bersama-sama dengan masyarakat sekitar (misalnya saja dimulai dari Ibu-Ibu PKK) untuk merumuskan konsep energi terbarukan. Misalnya membuat penampung air hujan, patungan untuk membangun panel surya, dan hal-hal lain yang bisa kita lakukan dari rumah dan lingkungan sekitar.
- Menormalisasi pengurangan bahan bakar fosil dengan mendukung penerapan kebijakan baru seperti perluasan sektor lapangan kerja, melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan kebijakan terutama kebijakan tentang perlindungan lingkungan, dan terus menggaungkan kepentingan kesejahteraan masyarakat di atas keuntungan perusahaan energi.
Semua langkah tersebut tentu saja tidak bisa kita mulai begitu saja kecuali dari rumah. Berangkat dari rumah, berangkat dari suara perempuan, kita bisa mewujudkan transisi energi adil dari lingkup terkecil. Bukankah semua hal besar dimulai dari hal kecil?
Source :
Oxfam Indonesia
Bank Sampah Kota Malang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H