Kok bisa yaa kalah? Padahal di twitter rame banget kemarin sampe jutaan engagementnya, yang interaksi juga ratusan ribu. Ngga nyangka ternyata si itu yang menang.
Seorang teman berkeluh kesah setelah melihat hasil quick count Pemilu di 14 Februari 2024 kemarin. Ia merasa bahwa paslon yang didukungnya akan menang karena animo masyarakat begitu besar, baik yang tampak di televisi, di orang-orang di sekitarnya hingga di media sosial yang ia miliki.
Namun, tahukah teman-teman dengan istilah Bubble Effect? Yuk simak dan berikan tanggapanmu dengan santun di sini ya.
Apa Itu Bubble Effect?
Saat ini kita hidup seperti "berdampingan" dengan media sosial. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, hampir semua aktivitas kita selalu hadir media sosial di sana. Entah itu grup obrolan keluarga atau kumpulan video-video bermanfaat hingga yang ngga penting sekalipun berkumpul di sana lalu tanpa sadar sudah satu jam lebih kita menghabiskan waktu untuk scrolling timeline.
Teori Bubble Effect ini saya dapat dari pelatihan untuk optimalisasi media sosial yang diadakan oleh salah satu perusahaan swasta bagi blogger dan juga blogger. Jadi, mudahnya Bubble Effect ini adalah hasil atau dampak dari algoritma media sosial yang sedang kita mainkan.
Ketika kita sering berinteraksi dengan akun yang membahas tentang bisnis makanan, maka konten-konten yang keluar di ruang explore kita adalah tentang bisnis makanan itu sendiri. Kalau kita sering berinteraksi (memberikan like, comment, share, atau saling bertukar pesan) dengan akun-akun yang berhubungan dengan paslon nomor 04 misalnya, maka yang akan muncul adalah tentang paslon nomor 04. Entah itu kekuatannya atau kelebihannya, maupun kekurangannya.
Jadi seolah-olah dunia kita tentang itu-itu saja.Â
Hiruk Pikuk Pemilu dan Bubble Effect
Hal inilah yang dialami oleh orang-orang dengan Bubble Effect itu sendiri. Persis dengan apa yang dikatakan oleh salah satu akun di X @SonyAndrio.Â
Pelajaran yang saya ambil dari Pemilu era medsos ini (terutama 2024), banyak dari kita yang terjebak dalam gelembung bias medsos itu sendiri. Masing-masing pendukung paslon begitu yakin jagoannya akan menang, sampai lupa untuk bersikap realistis. Sehingga ketika jagoannya kalah maka jadi sakit hati.
Kenapa yakin? Karena gelembung bias di medsos yang menggiring kita seolah jagoan kita dapat banyak dukungan dari masyarakat. Padahal masyarakat itu sendiri tidak cuma yang di medsos. Tidak cuma di Facebook, Twitter, Instagram, Tik Tok, dan lain-lain.
Ada ratusan jumlah pemilih di luar sana yang ngga main medsos yang jadi sasaran utama para paslon itu. Itulah kenapa kadang kita suka bingung. Kok program paslon ini aneh tapi banyak yang milih? Ya karena memang bukan kita target program mereka.
Apa yang disampaikan oleh akun tersebut benar adanya. Yang dinamakan bias media sosial itulah yang disebut bubble effect oleh para praktisi media sosial.Â
Sebenarnya bubble effect ini akan jadi dampak positif untuk kita ketika memang konten-konten yang kita butuhkan dan "harapkan" saja yang muncul di timeline. Namun, kelemahannya, beginilah yang akan terjadi. Kita hanya akan bertemu dan berinteraksi, serta hanya akan disuguhi konten-konten yang "sependapat" dengan kita.
Akhirnya, kita menjadi orang yang berpikiran sempit, sulit untuk menerima pendapat orang lain karena hal-hal yang berada di luar pendapat kita adalah tidak benar, karena itulah yang selama ini kita yakini. Padahal, ada begitu banyak pendapat di luar sana, di dunia yang sangat luas ini, tentang hal yang kita pikirkan.
Penting untuk melihat dari dua sisi, tidak hanya melihat dari wajah timeline media sosial kita. Sehingga kita akan menjadi orang yang lebih bijaksana dalam menerima sebuah perbedaan, menghadapi kenyataan yang mungkin di luar harapan, dan yang paling penting punya sudut pandang yang luas terhadap suatu permasalahan.
Pemilu yang berlangsung saat ini memang panas, ada banyak isu di sana sini, namun yang harusnya kita yakini adalah semua menginginkan yang terbaik untuk negeri kita, meskipun dengan jalan yang berbeda-beda. Oleh karena itu mari kita akhiri segala fanatisme berlebihan yang menumpulkan akal sehat, empati, dan juga kebijaksanaan yang semestinya kita miliki sebagai orang deeasa yang bisa membedakan mana yang baik dan buruk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H