Mohon tunggu...
Jihan Mawaddah
Jihan Mawaddah Mohon Tunggu... Penulis - Knowledge seeker

Halo, saya Jihan. Lifestyle blogger yang sedang belajar banyak hal. Yuk saling bertukar pengalaman lewat tulisan. Baca tulisan saya lainnya di www.jeyjingga.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Andai Aku Bisa Melaporkanmu ke Polisi, Kampung Halamanku

30 April 2023   22:12 Diperbarui: 30 April 2023   22:30 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jedeeer jederr!!

Suara petasan alias mercon menggema di langit. Sangat keras sampai-sampai anak saya terbangun. Ketika saya melihat jam yang berdetik, waktu masih menunjukkan pukul satu pagi. Iya, satu pagi.

Tidak hanya itu, hari-hari selama bulan Ramadan, suara musik dangdut yang menggunakan speaker nikahan sebesar roda ban truk juga berkeliling membangunkan kami yang baru saja terlelap. Berharap bisa tidur dengan tenang karena jam 3 pagi harus bangun lagi untuk sahur. Sayangnya, jam 12 malam kami sudah dibangunkan :)

Belum lagi petasan yang dinyalakan setelah selesai salat tarawih, rasanya tak ada habisnya telinga kami mendengarnya. Praktis saya selalu uring-uringan. Tidak hanya wkatu tidur yang terganggu, anak saya juga jadi tidak punya jam tidur yang teratur berkat mereka.

Ketika ditegur baik-baik, mereka mengatakan ini adalah momen setahun sekali. Padahal tidak juga. Tidak jarang di setiap liburan panjang, atau tanggal merah keesokan harinya, petasan itu kadang menyala, membangunkan saya dengan suara yang menggelegar.

Ketika ditegur lagi, katanya justru kami yang mengganggu tradisi. 

Entahlah saya yang memang tak bisa menikmati tradisi atau memang mereka yang tak tahu waktu. Kalau saja mereka punya empati bahwa kami harus bekerja di pagi hari dan beristirahat di malam hari, mungkin ini kebencian saya tak akan tumbuh subur setiap hari.

Pernah suatu kali saya berpikir untuk melaporkannya ke polisi. Namun saya urungkan karena masih berharap mereka akan berubah.

Dear kampung halaman yang kehangatan keluarganya saya rindukan, tolong dong kalau menyalakan petasan dengan suara kencang jangan di waktu-waktu istirahat kami. Bayangkan saja jika kami harus mendengar petasan yang tak berhenti sejak jam 12 malam hingga Subuh hari.

Hari Raya tentu saja akan datang satu tahun sekali dan saya tak akan keberatan jika kalian merayakannya dengan pesta kembang api dan petasan yang gegap gempita. Namun alangkah baiknya perayaan yang bisa dilakukan dengan khidmat dan penuh rasa syukur ini tidak sampai membuat orang lain menepi dan mengutuk diri, jangan-jangan kami yang tak bisa beradaptasi?

Yuk kita saling memahami dan menghormati waktu-waktu istirahat mereka yang berharga.

Surat ini untuk kampung halamanku yang hanya berjarak 30 menit dari hunian kami yang sepi. Ada kalanya saya rindu, ada kalanya saya berharap bisa tinggal di tengah-tengah kampung yang hangat dan menjadi tempat pulang terbaik ketika hati sepi.

Semoga kamu bisa mendengar tulisan ini. Mencoba mengevaluasi diri dan mengubah hal-hal yang dapat merugikan banyak orang. Ingat bahwa kita hidup hanya sekali. Jangan sampai tinta merah yang terbakar karena kemarahan orang-orang yang terganggu itu menghiasi jurnal kehidupan kita. Hidup ini hanya sekali, masalahnya dengan tinta apa kisah hidup kita ditulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun