Jedeeer jederr!!
Suara petasan alias mercon menggema di langit. Sangat keras sampai-sampai anak saya terbangun. Ketika saya melihat jam yang berdetik, waktu masih menunjukkan pukul satu pagi. Iya, satu pagi.
Tidak hanya itu, hari-hari selama bulan Ramadan, suara musik dangdut yang menggunakan speaker nikahan sebesar roda ban truk juga berkeliling membangunkan kami yang baru saja terlelap. Berharap bisa tidur dengan tenang karena jam 3 pagi harus bangun lagi untuk sahur. Sayangnya, jam 12 malam kami sudah dibangunkan :)
Belum lagi petasan yang dinyalakan setelah selesai salat tarawih, rasanya tak ada habisnya telinga kami mendengarnya. Praktis saya selalu uring-uringan. Tidak hanya wkatu tidur yang terganggu, anak saya juga jadi tidak punya jam tidur yang teratur berkat mereka.
Ketika ditegur baik-baik, mereka mengatakan ini adalah momen setahun sekali. Padahal tidak juga. Tidak jarang di setiap liburan panjang, atau tanggal merah keesokan harinya, petasan itu kadang menyala, membangunkan saya dengan suara yang menggelegar.
Ketika ditegur lagi, katanya justru kami yang mengganggu tradisi.Â
Entahlah saya yang memang tak bisa menikmati tradisi atau memang mereka yang tak tahu waktu. Kalau saja mereka punya empati bahwa kami harus bekerja di pagi hari dan beristirahat di malam hari, mungkin ini kebencian saya tak akan tumbuh subur setiap hari.
Pernah suatu kali saya berpikir untuk melaporkannya ke polisi. Namun saya urungkan karena masih berharap mereka akan berubah.
Dear kampung halaman yang kehangatan keluarganya saya rindukan, tolong dong kalau menyalakan petasan dengan suara kencang jangan di waktu-waktu istirahat kami. Bayangkan saja jika kami harus mendengar petasan yang tak berhenti sejak jam 12 malam hingga Subuh hari.