Gorengan dan es sirup selalu jadi andalan hidangan takjil saya dan suami. Selain praktis dan ngga neko-neko, saya adalah aliran yang langsung makan berat barulah lanjut salat tarawih. Alhasil takjil hanya syarat untuk membatalkan puasa saja. Ada takjil bersyukur, tidak ada pun kami tetap bahagia.
Namun masyaAllah di 10 hari terakhir Ramadan ini kami banyak mendapatkan berkat. Salah satunya termasuk melimpahnya makanan berat hingga dessert yang bahkan sampai membuat saya bingung akan diberikan pada siapa (maklum tidak punya tetangga), sebelah rumah masih ruko kosong, dan jarak beberapa rumah di depan rumah kami hanya toko yang ditinggal pemiliknya di malam hari, bahkan kadang-kadang tidak buka sama sekali.
Jadi ketika ada undangan untuk buka bersama di sekolah anak saya, spontan saya langsung mengeluarkan persediaan camilan dari kulkas. Berharap bisa membagi itu semua untuk pengguna jalan menjelang azan Maghrib. Alhamdulillahnya lagi ternyata sekolah pun punya agenda yang sama dengan saya.
Jadilah hari itu saya menyiapkan menu takjil seperti buko pandan pemberian seorang teman, pisang molen, hingga karipap coklat yang semuanya adalah hidangan manis.Â
Tidak hanya buko, karipap, dan juga pisang molennya yang manis. Tapi kenangan yang terukir hari ini juga manis. Ngabuburit sambil berbagi rezeki. Ngabuburit sambil meluaskan hati karena jadi banyak-banyak bersyukur atas limpahan nikmat dari Allah yang sangat luar biasa ini.Â
Ketika menemani anak dan teman-temannya membagikan takjil untuk kali pertamanya, nampak raut kebahagiaan yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Sepanjang malam itu anak saya terus-menerus bercerita apa yang ia lakukan bersama teman-temannya tadi di pinggir jalan raya.
"Buk tadi diajarin apa?"
"Kebalik ya kak, harusnya ibuk yang nanya hhahaha.."
"Oh iya coba Ibuk nanya"
"Isya tadi diajarin apa di sekolah?"
"Diajarin berbagi Buk.. Isya happy deh!"