Lelaki itu menenteng tas ransel yang menggelembung seperti wanita yang lagi hamil. Entahlah apa yang diisinya. Langkahnya berat. Mungkin karena beratnya beban yang ditentengnya. Kepalanya nampak mondar mandir. Sebentar ke kiri, kemudian ke kanan. Ibarat seorang pencuri yang sedang ketakutan ditangkap basah oleh massa. Tubuhnya yang uzur dan miskin lemak dibalut kemeja putih dan celana panjang krem. Semakin dekat sosok lelaki itu makin jelas. Wajahnya begitu lusuh. Penuh dengan kerutan-kerutan digerus masa. Rambut di kepalanya pun sudah mulai ranum. Memberikan pengertian bahwa ia sudah tak muda lagi. Entah berapa. Aku sendiri tak tahu pastinya. Sederet giginya sudah tidak lengkap menguning seperti padi di sawah menjadi signal bahwa ia adalah seorang penghisap dan penghembus asap rokok. Â
Siang itu rupanya tak lagi bersahabat. Langit begitu kelam, memikul beban berat awan yang sebentar lagi rontok menjadi tetesan air hujan. Ketakutan disergap hujan, pak tua itu mempercepat langkah kaki. Menjelajahi sepanjang jalan Mrican yang sesak oleh kendaraan bermotor.
"Mau ke mana pak?" Pertanyaanku membuatnya kaget.
"Aku mencari tempat kerjaku mas," jawabnya singkat.
 Merasa heran atas jawaban pak tua itu, aku menepikan motor. Kemudian bertanya lagi.
 "Tempat kerjanya dimana ya, pak?"
Sejurus kemudian pak tua itu membeberkan segudang alasan mengapa sampai ia berada di tengah kebisingan kota Jogjakarta. Seminggu yang lalu, ia datang bersama beberapa temannya sebagai buruh bangunan. Setelah seminggu bekerja, ia ingin menghabiskan akhir pekannya bersama istri dan anak-anaknya di kediamannya di Magelang. Sepulangnya dari Magelang, ia kebingungan mencari tempat kerjanya. Maklum ia masih tergolong sebagai pendatang baru di kota Jogjakarta. Selama seharian semenjak kepulangannya dari Magelang, ia hilir mudik kesana kemari mencari tempat yang ditujui namun tak kunjung ditemuinya. Masih segar dalam ingatanya, sebuah mushola dan kampus Sanata Dharma. Hanya itu yang terekam dan parkir di kepalanya. Maka berbekal secuil ingatnnya itu, aku memberanikan diri mencari.
Petualangan mencari tempat kerja itu terhenti pada sebuah warung kopi sebab hujan semakin lebat. Segera kupesan dua gelas kopi untuk mengahangatkan tubuh yang menggigil oleh sengatan sejuk udara soreh itu.
"Oh iya pak, kenalkan saya Alfred." sambil menyodorkan tangan.
"Nama saya Kobus, mas." sahutnya.
"Silahkan diminum pak!"aku mempersilahkannya ketika segelas kopi itu disajikan
Segelas kopi yang masih panas itu seperti mengeluarkan asap. Menimbulkan aroma kopi yang sedap.
"Silahkan diminum pak! Mumpung masih aktual,"kataku bergurau.
"Oh ia mas," jawab Pak Kobus.
Sambil menyeruput kopi aku mendengar Pak Kobus bercericau tentang nasib hidupnya yang pahit. Mungkin sepahit kopi yang dibuatkan tukang kopi.Â
Kerasnya hidup di kota Jogjakarta tidak serta merta melenyapkan semangat Pak Kobus untuk mengadu nasib demi mengepulkan asap dapur rumah tangganya. Ia memiliki seorang istri dengan lima orang anak. Anak tertuanya telah menginjakan kaki di kelas XII SMA. Sebentar lagi akan tamat dan ingin masuk ke perguruan tinggi di Jogjakarta. Itulah impian anaknya. Impian yang membuat Pak Kobus harus memeras keringat karena pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara istrinya, Yati, hanyalah seorang ibu rumah tangga yang bekerja serabutan dengan upah yang jauh di batas kewajaran. Upah itu sangatlah tidak mencukupi kebutuhan untuk kelima orang anaknya.
Sosok lelaki yang berada tepat di depanku membawaku pada sang ayah nun jauh di Flores. Kerutan wajahnya. Putihnya rambut di kepala bak salju dengan otot yang semakin melemah. Penampakannya persis seperti ayahku. Tanpa terasa, sebutir air mata menggerimis di pipi. Jatuh dalam gelas kopi. Dari dalam gelas itu terpantul wajah ayah. Â "Akhh...ayahh semoga engkau sehat-sehat di sana," aku membatin. Sementara lelaki itu kebingungan memandangku. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia lantas menghabiskan sisa kopi.
Kopi hitam itu menyisahkan ampas. Segera aku menuju kasir. Merogoh kocek. Membayar lima ribuan dua lembar. Kembali kuajak sosok lelaki yang tengah duduk menunggu sambil memandang penuh kehampaan. Ia seperti memanggil kembali memorinya. Namun tak kunjung kembali.
"Ayo Pak," ajakanku menyadarkannya dari pandangan kosong.
Di atas sepeda motor, mataku terus melihat kiri kanan. Sebentar-sebentar kupastikan kepadanya apakah tempat yang dimaksudkan itu. Dan akhirnya, kami menemukannya.
 "Terima kasih mas. Semoga mas memperoleh banyak rejeki." demikian sepotong doa yang keluar dari mulutnya. Doa sederhana yang keluar dari mulut sosok yang sederhana pula.
"Sama-sama pak," aku membalas. Kemudian kuhidupkan kuda besi. Pergi membawa doa sang lelaki tua itu. Ia nampaknya mengawasiku hingga hilang dari pandangannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI