Mohon tunggu...
Jetho Lawet
Jetho Lawet Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah menghidupkan yang telah mati

Mahasiswa Sanata Dharma Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wajah dalam Segelas Kopi

23 Mei 2021   15:24 Diperbarui: 23 Mei 2021   15:27 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Segelas kopi yang masih panas itu seperti mengeluarkan asap. Menimbulkan aroma kopi yang sedap.

"Silahkan diminum pak! Mumpung masih aktual,"kataku bergurau.

"Oh ia mas," jawab Pak Kobus.

Sambil menyeruput kopi aku mendengar Pak Kobus bercericau tentang nasib hidupnya yang pahit. Mungkin sepahit kopi yang dibuatkan tukang kopi. 

Kerasnya hidup di kota Jogjakarta tidak serta merta melenyapkan semangat Pak Kobus untuk mengadu nasib demi mengepulkan asap dapur rumah tangganya. Ia memiliki seorang istri dengan lima orang anak. Anak tertuanya telah menginjakan kaki di kelas XII SMA. Sebentar lagi akan tamat dan ingin masuk ke perguruan tinggi di Jogjakarta. Itulah impian anaknya. Impian yang membuat Pak Kobus harus memeras keringat karena pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara istrinya, Yati, hanyalah seorang ibu rumah tangga yang bekerja serabutan dengan upah yang jauh di batas kewajaran. Upah itu sangatlah tidak mencukupi kebutuhan untuk kelima orang anaknya.

Sosok lelaki yang berada tepat di depanku membawaku pada sang ayah nun jauh di Flores. Kerutan wajahnya. Putihnya rambut di kepala bak salju dengan otot yang semakin melemah. Penampakannya persis seperti ayahku. Tanpa terasa, sebutir air mata menggerimis di pipi. Jatuh dalam gelas kopi. Dari dalam gelas itu terpantul wajah ayah.  "Akhh...ayahh semoga engkau sehat-sehat di sana," aku membatin. Sementara lelaki itu kebingungan memandangku. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia lantas menghabiskan sisa kopi.

Kopi hitam itu menyisahkan ampas. Segera aku menuju kasir. Merogoh kocek. Membayar lima ribuan dua lembar. Kembali kuajak sosok lelaki yang tengah duduk menunggu sambil memandang penuh kehampaan. Ia seperti memanggil kembali memorinya. Namun tak kunjung kembali.

"Ayo Pak," ajakanku menyadarkannya dari pandangan kosong.

Di atas sepeda motor, mataku terus melihat kiri kanan. Sebentar-sebentar kupastikan kepadanya apakah tempat yang dimaksudkan itu. Dan akhirnya, kami menemukannya.

 "Terima kasih mas. Semoga mas memperoleh banyak rejeki." demikian sepotong doa yang keluar dari mulutnya. Doa sederhana yang keluar dari mulut sosok yang sederhana pula.

"Sama-sama pak," aku membalas. Kemudian kuhidupkan kuda besi. Pergi membawa doa sang lelaki tua itu. Ia nampaknya mengawasiku hingga hilang dari pandangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun