Segelas kopi yang masih panas itu seperti mengeluarkan asap. Menimbulkan aroma kopi yang sedap.
"Silahkan diminum pak! Mumpung masih aktual,"kataku bergurau.
"Oh ia mas," jawab Pak Kobus.
Sambil menyeruput kopi aku mendengar Pak Kobus bercericau tentang nasib hidupnya yang pahit. Mungkin sepahit kopi yang dibuatkan tukang kopi.Â
Kerasnya hidup di kota Jogjakarta tidak serta merta melenyapkan semangat Pak Kobus untuk mengadu nasib demi mengepulkan asap dapur rumah tangganya. Ia memiliki seorang istri dengan lima orang anak. Anak tertuanya telah menginjakan kaki di kelas XII SMA. Sebentar lagi akan tamat dan ingin masuk ke perguruan tinggi di Jogjakarta. Itulah impian anaknya. Impian yang membuat Pak Kobus harus memeras keringat karena pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara istrinya, Yati, hanyalah seorang ibu rumah tangga yang bekerja serabutan dengan upah yang jauh di batas kewajaran. Upah itu sangatlah tidak mencukupi kebutuhan untuk kelima orang anaknya.
Sosok lelaki yang berada tepat di depanku membawaku pada sang ayah nun jauh di Flores. Kerutan wajahnya. Putihnya rambut di kepala bak salju dengan otot yang semakin melemah. Penampakannya persis seperti ayahku. Tanpa terasa, sebutir air mata menggerimis di pipi. Jatuh dalam gelas kopi. Dari dalam gelas itu terpantul wajah ayah. Â "Akhh...ayahh semoga engkau sehat-sehat di sana," aku membatin. Sementara lelaki itu kebingungan memandangku. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia lantas menghabiskan sisa kopi.
Kopi hitam itu menyisahkan ampas. Segera aku menuju kasir. Merogoh kocek. Membayar lima ribuan dua lembar. Kembali kuajak sosok lelaki yang tengah duduk menunggu sambil memandang penuh kehampaan. Ia seperti memanggil kembali memorinya. Namun tak kunjung kembali.
"Ayo Pak," ajakanku menyadarkannya dari pandangan kosong.
Di atas sepeda motor, mataku terus melihat kiri kanan. Sebentar-sebentar kupastikan kepadanya apakah tempat yang dimaksudkan itu. Dan akhirnya, kami menemukannya.
 "Terima kasih mas. Semoga mas memperoleh banyak rejeki." demikian sepotong doa yang keluar dari mulutnya. Doa sederhana yang keluar dari mulut sosok yang sederhana pula.
"Sama-sama pak," aku membalas. Kemudian kuhidupkan kuda besi. Pergi membawa doa sang lelaki tua itu. Ia nampaknya mengawasiku hingga hilang dari pandangannya.