Mohon tunggu...
Jetho Lawet
Jetho Lawet Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah menghidupkan yang telah mati

Mahasiswa Sanata Dharma Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Xenoglosofilia Kaum Milenial

22 Mei 2021   21:59 Diperbarui: 23 Mei 2021   13:31 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

 

Perilaku kebahasaan kaum muda di era milenial dalam komunikasi semakin aneh bin ajaib sehingga menyedot perhatian. Kebiasaan mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing sudah menjadi perilaku linguistis yang tak dapat dihindarkan apalagi ditolak. Bernadette Kushartanti, Pakar Linguistik dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan risiko dari kontak bahasa (Suratkabar.id 13/9/2018). Fenomena ini bukanlah sebuah peristiwa alam yang mau tidak mau dibiarkan mengalir secara alamiah, tetapi merupakan fenomena sosial linguis yang harus direspon untuk segera dicarikan strategi untuk menghadapinya.

Ketika membuka akun media sosial Facebook, saya tergelitik dengan status yang ditulis oleh pengguna akun Facebook Muh Rizal yang berasal dari Indonesia. “Indahnya samsat di sore hari..makanya jangan suka jungle org sembarangan..ingat karma is rael.” Postingan ini kemudian direspon ,  Denni Manongga dengan menggunggah kembali sambil memberi komentar, “Ketika your English language only sedikit2..omaigat…jang ba paksa lea.

Bukan hanya itu, perilaku kebahasaan kaum muda di Jakarta Selatan lebih  yang dikenal dengan sebutan wicis. Bentuk percampurannya kira-kira demikian, “Gosah pada ribut ama anak Jaksel ngomong wicis kalo belom denger cainis Suroboyo yang literally juga ngomong wicis medok but berusaha ketok lit and cool af. Basically mereka juga ngomong keak gitu kok masio ndek enggok2an.” 

Kaum milenial biasanya mencampuradukan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dalam komunikasi. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya percampuran ke dalam bahasa lain. Lebih menggelitik ketika melihat pedagang kaki lima yang membuka usaha tahu goreng. Bagian depan kaca gerobaknya tertera tulisan,”Kuch Kuch Hot Tahu.”

Fenomena-fenomena linguistik tersebut di atas menunjukkan bahwa adanya fenomena xenoglosofilia yang marak terjadi di kalangan milenial. Realitas yang disuguhkan tersebut di atas memberikan gambaran miris bahwa begitulah bahasa Indonesia yang menjadi Bahasa nasional diperlakukan di rumahnya sendiri. Rasa bangga terhadap bahasa Indonesia yang telah menempatkan bahasa itu sebagai lambang jati diri bangsa Indonesia semakin hari semakin melorot. Kaum muda lebih merasa bangga, elit ketika menggunakan bahasa asing ketimbang Bahasa Indonesia seperti yang dikatakan oleh Ivan Lenin, penulis buku ”Xenoglosofilia, Kenapa Harus Nginggris?” bahwa pencampuran bahasa dilakukan sebagai usaha untuk menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi. Inilah konsep keliru yang hidup di kalangan milenial. Menjadi pertanyaan, apakah dengan menggunakan bahasa Indonesia, tingkat intelektualitas pengguna menurun , rendah, atau bahkan luntur? Saya pikir tidak demikian. Oleh karena itu, perilaku ini tidak perlu disikapi sebab jika tidak, maka bukan tidak mungkin Bahasa Indonesia akan tercerabut dari negerinya sendiri. Mungkinkah ada secercah harapan bahwa Bahasa Indonesia bakal berkembang di Indonesia? Inilah pertanyaan bagi kita bersama yang juga dipertanyakan oleh Ivan.

Fakta linguitis dengan adanya xenoglosofilia nampaknya kontrakditoris dengan apa yang digaungkan dalam Kongres Bahasa Indonesia XI yang telah digelar di Jakarta, 28 Oktober-1 November 2018. Forum besar lima tahunan mengusung tema ”Menjayakan Bahasa dan Sastra Indonesia” tersebut digelar bertepatan dengan peringatan 80 tahun Kongres Bahasa I di Solo, 25-28 Juni 1938, dan 90 tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Alih-alih menjayakan bahasa dan Sastra Indonesia, kaum muda yang merupakan generasi penerus bangsa malah ‘menjajah’ bahasanya sendiri. Jika demikian yang terjadi, bagaimana dengan nasib bahasa Indonesia di kemudian hari?

Xenoglosofilia Ancam Bahasa Indonesia

            Lahirnya xenoglosofilia disignalir merupakan konsekuensi logis adanya kontak bahasa seperti yang dikatakan oleh Bernadette Kushartanti. Sebagai seorang Pakar Linguistik dari Universitas Indonesia, Bernadette melihat fenomena tersebut tidak  mengkhwatirkan. Ia mencoba untuk melihat fenomena linguistik tersebut dari dua sisi. Menurut beliau di satu sisi kita membutuhkan cara untuk tetap mengungkapkan bahasa dengan benar, tapi di sisi lain, bahasa juga punya fungsi. Kalau terlalu formal, maka pada situasi tertentu kita akan menjadi terasing papar wanita bergelar doktor tersebut (Suratkabar.id 13/9/2018).

Menyoal pandangan Bernadette dalam kapasitasnya sebagai Pakar Linguistik, penulis merasa tergugah untuk melihat lebih dalam fenomena linguitik tersebut. Menurut penulis problem bukanlah masalah ‘kacangan’ yang tidak berdampak besar pada perkembangan bahasa. Jika tidak direspon secara serius maka bukan tidak mungkin akan terjadi persoalan lain yang lebih akut. Bagi penulis fenomena tersebut merupakan sebuah ancaman terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Bagaimana mau berkembang jika tidak dihargai oleh generasi muda sendiri?

Ketergugahan penulis sebenarnya disulut oleh pertanyaan, apakah benar bahwa bahasa yang formal selalu membuat penutur menjadi terasing? Saya pikir tidak. Bahwa bahasa yang formal itu baku menjadi sebuah kebenaran yang tak terbantahkan. Tetapi apakah yang benar dan baku tersebut tidak membuat penutur menjadi teralienasi dari komunitas tutur. Saya pikir pernyataan tersebut terlalu naïf.

Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober 1928 telah memberikan gambaran bagi warga Indonesia betapa perjuangan pemuda menyatukan Nusantara dengan bersumpah, “Kami bangsa Indonesia berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Sumpah yang telah diikrarkan pemuda 80 tahun yang lalu dikhianati oleh perilaku linguistis pemuda milenial di bawah semboyan,”Kami bangsa tak Indonesia berbahasa satu, bahasa campuran”.

Perlunya Aturan dan Kesadaran

 Era Industri 4,0 dengan sarana teknologi yang kian canggih membuka peluang bagi kaum milenial untuk berinteraksi dengan siapapun dan dimanapun. Proses interaksi tanpa batas tersebut dapat dianasir menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi dapat memberikan manfaat, tetapi di sisi lain membawa efek negatif terhadap perilaku kebahasaan anak bangsa. Oleh karena itu, respon kita bukannya membiarkan fenomena itu terjadi begitu saja. Sebab fenomena tersebut bukan merupakan sebuah gejalah alam seperti bencana tsunami yang mau tidak mau kita menerimanya sebagai sebuah bencana, tetapi merupakan fenomena sosial linguistis yang terjadi karena kontak bahasa. Hal ini bukan berarti bahwa kita menutup diri terhadap kehadiran bahasa lain, tetapi kita mencoba untuk menjunjung atau menaruh di atas kepala bahasa kita sendiri.

Adapun beberapa hal yang penting untung diperhatikan sebagai langkah untuk meminimalisir adanya xenodiglosofilia. Pertama, pemerintah perlu merancang sebuah peraturan khusus mengenai sanksi yang akan dikenakan dalam kasus-kasus kebahasaan. Jika perlu pemerintah melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa memasukan padanan bahasa yang tidak dapat diakomodasi dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, bahasa Indonesia mempunyai padanan kata yang pas untuk sebuah kata baru. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam hal ini harus juga berperan seperti ‘KPK’ yang memberikan perhatian penuh pada penggunaan bahasa Indonesia. Jika perlu ditetapkan sanksi yang jelas kepada siapapun yang melanggar peraturan penggunaan bahasa Indonesia. Dengan demikian, setiap orang mau tidak mau, senang tidak senang, harus menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Kaum milenial tentunya juga harus digembleng melalui proses pembelajaran Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahwa menggunakan bahasa Indonesia tidak membuat harga diri sebagai manusia menjadi luntur. Sebagai generasi penerus bangsa, kaum milenial hendaknya menyadari bahwa masa depan bahasa Indonesia ada di pundak mereka. Untuk itu menjunjung tinggi bahasa Indonesia menjadi salah satu sikap yang harus ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjunjung berarti menempatkan bahasa Indonesia itu di atas kepala bukan diinjak-injak. Dengan menjunjung tinggi bahasa Indonesia, maka kedudukan kita sebagai bangsa Indonesia pun disanjungi Aplikasinya adalah bahwa dalam kehidupan sehari-hari hendaknya kita menggunakan bahasa Indonesia yang baik yang formal maupun informal, tanpa perlu mencampurkan dengan bahasa asing. Toh kita tidak dipuji ketika kita menggunakan bahasa asing. Begitu pun sebaliknya penggunaan bahasa asing tidak membuat kita terpuji diantara orang lain dalam sebuah komunikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun