Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober 1928 telah memberikan gambaran bagi warga Indonesia betapa perjuangan pemuda menyatukan Nusantara dengan bersumpah, “Kami bangsa Indonesia berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Sumpah yang telah diikrarkan pemuda 80 tahun yang lalu dikhianati oleh perilaku linguistis pemuda milenial di bawah semboyan,”Kami bangsa tak Indonesia berbahasa satu, bahasa campuran”.
Perlunya Aturan dan Kesadaran
Era Industri 4,0 dengan sarana teknologi yang kian canggih membuka peluang bagi kaum milenial untuk berinteraksi dengan siapapun dan dimanapun. Proses interaksi tanpa batas tersebut dapat dianasir menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi dapat memberikan manfaat, tetapi di sisi lain membawa efek negatif terhadap perilaku kebahasaan anak bangsa. Oleh karena itu, respon kita bukannya membiarkan fenomena itu terjadi begitu saja. Sebab fenomena tersebut bukan merupakan sebuah gejalah alam seperti bencana tsunami yang mau tidak mau kita menerimanya sebagai sebuah bencana, tetapi merupakan fenomena sosial linguistis yang terjadi karena kontak bahasa. Hal ini bukan berarti bahwa kita menutup diri terhadap kehadiran bahasa lain, tetapi kita mencoba untuk menjunjung atau menaruh di atas kepala bahasa kita sendiri.
Adapun beberapa hal yang penting untung diperhatikan sebagai langkah untuk meminimalisir adanya xenodiglosofilia. Pertama, pemerintah perlu merancang sebuah peraturan khusus mengenai sanksi yang akan dikenakan dalam kasus-kasus kebahasaan. Jika perlu pemerintah melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa memasukan padanan bahasa yang tidak dapat diakomodasi dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, bahasa Indonesia mempunyai padanan kata yang pas untuk sebuah kata baru. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam hal ini harus juga berperan seperti ‘KPK’ yang memberikan perhatian penuh pada penggunaan bahasa Indonesia. Jika perlu ditetapkan sanksi yang jelas kepada siapapun yang melanggar peraturan penggunaan bahasa Indonesia. Dengan demikian, setiap orang mau tidak mau, senang tidak senang, harus menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Kaum milenial tentunya juga harus digembleng melalui proses pembelajaran Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahwa menggunakan bahasa Indonesia tidak membuat harga diri sebagai manusia menjadi luntur. Sebagai generasi penerus bangsa, kaum milenial hendaknya menyadari bahwa masa depan bahasa Indonesia ada di pundak mereka. Untuk itu menjunjung tinggi bahasa Indonesia menjadi salah satu sikap yang harus ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjunjung berarti menempatkan bahasa Indonesia itu di atas kepala bukan diinjak-injak. Dengan menjunjung tinggi bahasa Indonesia, maka kedudukan kita sebagai bangsa Indonesia pun disanjungi Aplikasinya adalah bahwa dalam kehidupan sehari-hari hendaknya kita menggunakan bahasa Indonesia yang baik yang formal maupun informal, tanpa perlu mencampurkan dengan bahasa asing. Toh kita tidak dipuji ketika kita menggunakan bahasa asing. Begitu pun sebaliknya penggunaan bahasa asing tidak membuat kita terpuji diantara orang lain dalam sebuah komunikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H