hujan yang mengguyur di penghujung tahun 2019 tidak hanya menyebabkan musibah banjir di beberapa wilayah Indonesia tetapi juga banjir musibah di jagad media sosial seperti facebook, youtube, twitter, instagram. Musibah tersebut berupa umpatan, hujatan, bahkan makian yang dilontarkan oleh netizen baik dalam bentuk teks maupun emoticon. Jika ditelisik lebih jauh, komentar-komentar netizen yang jauh panggang dari etika, moral, dan nilai-nilai merupakan ekspresi emosi netizen terhadap tokoh pemerintahan tertentu.Â
Salah satu tokoh yang paling banyak memanennya adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Netizen beramai-ramai memvonis sang gubernur sebagai 'gabener' yang paling bertanggungjawab atas masalah banjir yang diderita warga DKI Jakarta. Tidak hanya itu, netizen juga saling serang terkait masalah banjir tersebut.Â
Salah satu netizen di media sosial youtube bahkan menghujat dengan berkata,"Yang salah itu bukan sang gubernur, tetapi yang memilihnya yang goblok." Terlepas dari benar tidaknya vonis tersebut, penulis ingin menyoroti perilaku kebahasaan netizen di media sosial yang sudah keterlaluan karena tidak dibarengi dengan kesantunan berbahasa. Alih-alih mengkritik kinerja sang gubernur, netizen kebablasan dalam ketidaksantunan berbahasa yang memberikan gambaran kepada publik betapa rendahnya kesantunan berbahasa masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial.
Santun Berbahasa sebagai cermin perilaku diri
Pengguna media sosial di Indonesia tidak sedikit. Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019 pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20% dari survei sebelumnya. Sementara pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari populasi. Peningkatan jumlah pengguna media sosial di Indonesia tidak diimbangi dengan kesadaran akan kesantunan berbahasa dalam memberikan kritikan atau komentar. Jumlah pengguna yang membengkak berbanding terbalik dengan kesantunan bertutur kata di media sosial.
Santun berbahasa menjadi sebuah perilaku langkah dalam atmosfer bermedia sosial netizen Indonesia. Tentu kita masih ingat akan kasus umpatan idiot yang mendera Ahmad Dhany di media sosial sehingga eks Dewa Band tersebut harus mendekam di penjara selama setahun (Tempo.com, 11/6/2019). Tentu masih banyak lagi kasus serupa yang lolos dari perhatian pemerintah.Â
Salah satu penyebabnya adalah status yang disandang setiap orang. Jika yang mengumpat, menghujat, atau memaki adalah salah satu publik figur maka sudah tentu hal tersebut menjadi viral. Sejatinya, masih teralu banyak orang yang berkomentar lebih tidak santun dari yang dilakukan Ahmad Dhany. Dan itu luput dari perhatian media dan pemerintah.
Kesantunan berbahasa memberikan gambaran sifat dan kepribdian pemakainya. Tidak heran kalau ada peribahasa yang mengatakan bahasa menunjukkan bangsa. Penutur yang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang santun mencerminkan sifat dan kepribadiannya yang baik. Demikian pun sebaliknya. Komunikasi yang dibangun dengan bahasa yang tidak santun mendeskripsikan kepribadian penutur yang amburadul.Â
Relasi kausalitas antara bahasa dan perilaku penutur ini telah dibahas oleh Saphir dan Worf () yang mengemukakan bahwa bahasa menentukan perilaku budaya manusia. Bertolak dari teori tersebut, muncul pertanyaan, apakah benar budaya Indonesia budaya yang tidak beradab? Saya pikir tidak. Di mata dunia, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang adil dan beradab. Tentu ketidaksantunan berbahasa di media sosial yang marak terjadi mencoreng keadaban Indonesia yang mencintai persatuan dan kesatuan.
Bahasa; Perekat Relasi Sosial
      Manusia sejatinya tidak hanya sebagai makluk yang berakal budi (homo rationale), makhluk ekonomi (homo economicus), tetapi juga sebagai makhluk sosial (homo social). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa membangun dan menjalin relasi dengan sesamanya. Usaha ini dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai mediator. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Sudaryanto (2009) bahwa bahasa memiliki fungsi interpersonal dimana digunakan untuk membangun dan menjalin relasi sosial. Manusia tidak hidup sendiri di sebuah pulau yang menutup kemungkinan baginya untuk berinteraksi dengan sesamanya. No man is no islan, demikian petuah berbahasa Inggris menasehati.
Segala bentuk umpatan, hujatan bahkan makian yang diluapkan oleh netizen niscaya akan melahirkan keretakan sosial yang berujung pada hilangnya semangat persatuan dan kesatuan. Bahasa tidak lagi menjadi alat yang merekatkan setiap warga dalam relasi sosial seperti yang digagas oleh Sudaryanto (1990). Bahasa malah dianasir menjadi senjata yang paling ampuh menghujat, mengumpat, bahkan memaki sesama yang bermuara pada perpecahan. Hal ini sudah didengungkan oleh Lakoff (dalam Purwo, 1994) bahwa kesantunan dikembangkan oleh masyarakat guna mengurangi friksi (perbedaan pendapat/perpecahan). Realitas sosial inilah yang sedang dan bakal terus kita hadapi jika tak ada kesadaran dan langkah tegas dari berbagai pihak. Tentu kita tak ingin agar ketidaksantunan ini diwariskan kepada anak cucu.
Ketidaksantunan berbahasa tidak boleh dipandang sebagai persoalan remeh temeh sebab jika perilaku tersebut dibiarkan bukan tidak mungkin perpecahan bakal terjadi. Petuah ini sudah digaungkan oleh Leech (1993) bahwa dalam bertutur hendaknya memperhatikan kesantunan karena kesantunan tidak bisa diaanggap remeh. Bertolak dari kenyataan ini tersebut maka penulis mengemukakan beberapa hal agar diperhatikan secara seksama. Pertama, membangun kesadaran berbahasa santun masyarakat Indonesia melalui pendidikan baik formal maupun informal. Peserta didik di berbagai level pendidikan perlu mendapatkan pembelajaran terkait kesantunan berbahasa tidak hanya di media sosial tetapi juga dalam kenyataan hidup sehari-hari.Â
Penulis teringat akan masa-masa menjalani pendidikan di perguruan tinggi. Salah satu matakuliah yang diajarkan adalah Kesantunan Berbahasa. Mungkin banyak yang menganggap matakuliah tersebut tidak terlalu berdampak dalam dunia kerja, tetapi secara tak langsung pembelajaran itu sangat berguna dalam menggunakan pilihan kata dalam berkomunikasi. Pada level informal, perlu adanya sosialisasi dari pemerintah terhadap warga dalam berselancar di media sosial sehingga menumbuhkan kesadaran untuk santun berbahasa. Kedua, pemerintah melalui Keminfo perlu menyaring dan menyembunyikan komentar-komentar yang bernada menghujat, mengumpat, bahkan memaki sesama di media sosial. Ketiga, perlunya sanksi yang tegas dari pemerintah kepada para penghujat, pengumpat dan pemaki di media sosial sehingga menimbulkan efek jera.
Hemat penulis, fenomena ketidaksantunan berbahasa ini bukan merupakan sebuah bencana alam, sesuatu yang dbiarkan terjadi karena berada di luar kapasitas manusia, melainkan sebuah ironi yang mesti diperangi. Kalau bukan sekarang kapan lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H