Mohon tunggu...
Jetho Lawet
Jetho Lawet Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah menghidupkan yang telah mati

Mahasiswa Sanata Dharma Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kesantunan Berbahasa di Media Sosial

23 Mei 2021   01:11 Diperbarui: 23 Mei 2021   07:00 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Segala bentuk umpatan, hujatan bahkan makian yang diluapkan oleh netizen niscaya akan melahirkan keretakan sosial yang berujung pada hilangnya semangat persatuan dan kesatuan. Bahasa tidak lagi menjadi alat yang merekatkan setiap warga dalam relasi sosial seperti yang digagas oleh Sudaryanto (1990). Bahasa malah dianasir menjadi senjata yang paling ampuh menghujat, mengumpat, bahkan memaki sesama yang bermuara pada perpecahan. Hal ini sudah didengungkan oleh Lakoff (dalam Purwo, 1994) bahwa kesantunan dikembangkan oleh masyarakat guna mengurangi friksi (perbedaan pendapat/perpecahan). Realitas sosial inilah yang sedang dan bakal terus kita hadapi jika tak ada kesadaran dan langkah tegas dari berbagai pihak. Tentu kita tak ingin agar ketidaksantunan ini diwariskan kepada anak cucu.

Ketidaksantunan berbahasa tidak boleh dipandang sebagai persoalan remeh temeh sebab jika perilaku tersebut dibiarkan bukan tidak mungkin perpecahan bakal terjadi. Petuah ini sudah digaungkan oleh Leech (1993) bahwa dalam bertutur hendaknya memperhatikan kesantunan karena kesantunan tidak bisa diaanggap remeh. Bertolak dari kenyataan ini tersebut maka penulis mengemukakan beberapa hal agar diperhatikan secara seksama. Pertama, membangun kesadaran berbahasa santun masyarakat Indonesia melalui pendidikan baik formal maupun informal. Peserta didik di berbagai level pendidikan perlu mendapatkan pembelajaran terkait kesantunan berbahasa tidak hanya di media sosial tetapi juga dalam kenyataan hidup sehari-hari. 

Penulis teringat akan masa-masa menjalani pendidikan di perguruan tinggi. Salah satu matakuliah yang diajarkan adalah Kesantunan Berbahasa. Mungkin banyak yang menganggap matakuliah tersebut tidak terlalu berdampak dalam dunia kerja, tetapi secara tak langsung pembelajaran itu sangat berguna dalam menggunakan pilihan kata dalam berkomunikasi. Pada level informal, perlu adanya sosialisasi dari pemerintah terhadap warga dalam berselancar di media sosial sehingga menumbuhkan kesadaran untuk santun berbahasa. Kedua, pemerintah melalui Keminfo perlu menyaring dan menyembunyikan komentar-komentar yang bernada menghujat, mengumpat, bahkan memaki sesama di media sosial. Ketiga, perlunya sanksi yang tegas dari pemerintah kepada para penghujat, pengumpat dan pemaki di media sosial sehingga menimbulkan efek jera.

Hemat penulis, fenomena ketidaksantunan berbahasa ini bukan merupakan sebuah bencana alam, sesuatu yang dbiarkan terjadi karena berada di luar kapasitas manusia, melainkan sebuah ironi yang mesti diperangi. Kalau bukan sekarang kapan lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun