Mohon tunggu...
Jetho Lawet
Jetho Lawet Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah menghidupkan yang telah mati

Mahasiswa Sanata Dharma Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kesantunan Berbahasa di Media Sosial

23 Mei 2021   01:11 Diperbarui: 23 Mei 2021   07:00 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

hujan yang mengguyur di penghujung tahun 2019 tidak hanya menyebabkan musibah banjir di beberapa wilayah Indonesia tetapi juga banjir musibah di jagad media sosial seperti facebook, youtube, twitter, instagram. Musibah tersebut berupa umpatan, hujatan, bahkan makian yang dilontarkan oleh netizen baik dalam bentuk teks maupun emoticon. Jika ditelisik lebih jauh, komentar-komentar netizen yang jauh panggang dari etika, moral, dan nilai-nilai merupakan ekspresi emosi netizen terhadap tokoh pemerintahan tertentu. 

Salah satu tokoh yang paling banyak memanennya adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Netizen beramai-ramai memvonis sang gubernur sebagai 'gabener' yang paling bertanggungjawab atas masalah banjir yang diderita warga DKI Jakarta. Tidak hanya itu, netizen juga saling serang terkait masalah banjir tersebut. 

Salah satu netizen di media sosial youtube bahkan menghujat dengan berkata,"Yang salah itu bukan sang gubernur, tetapi yang memilihnya yang goblok." Terlepas dari benar tidaknya vonis tersebut, penulis ingin menyoroti perilaku kebahasaan netizen di media sosial yang sudah keterlaluan karena tidak dibarengi dengan kesantunan berbahasa. Alih-alih mengkritik kinerja sang gubernur, netizen kebablasan dalam ketidaksantunan berbahasa yang memberikan gambaran kepada publik betapa rendahnya kesantunan berbahasa masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial.

Santun Berbahasa sebagai cermin perilaku diri

Pengguna media sosial di Indonesia tidak sedikit. Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019 pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20% dari survei sebelumnya. Sementara pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari populasi. Peningkatan jumlah pengguna media sosial di Indonesia tidak diimbangi dengan kesadaran akan kesantunan berbahasa dalam memberikan kritikan atau komentar. Jumlah pengguna yang membengkak berbanding terbalik dengan kesantunan bertutur kata di media sosial.

Santun berbahasa menjadi sebuah perilaku langkah dalam atmosfer bermedia sosial netizen Indonesia. Tentu kita masih ingat akan kasus umpatan idiot yang mendera Ahmad Dhany di media sosial sehingga eks Dewa Band tersebut harus mendekam di penjara selama setahun (Tempo.com, 11/6/2019). Tentu masih banyak lagi kasus serupa yang lolos dari perhatian pemerintah. 

Salah satu penyebabnya adalah status yang disandang setiap orang. Jika yang mengumpat, menghujat, atau memaki adalah salah satu publik figur maka sudah tentu hal tersebut menjadi viral. Sejatinya, masih teralu banyak orang yang berkomentar lebih tidak santun dari yang dilakukan Ahmad Dhany. Dan itu luput dari perhatian media dan pemerintah.

Kesantunan berbahasa memberikan gambaran sifat dan kepribdian pemakainya. Tidak heran kalau ada peribahasa yang mengatakan bahasa menunjukkan bangsa. Penutur yang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang santun mencerminkan sifat dan kepribadiannya yang baik. Demikian pun sebaliknya. Komunikasi yang dibangun dengan bahasa yang tidak santun mendeskripsikan kepribadian penutur yang amburadul. 

Relasi kausalitas antara bahasa dan perilaku penutur ini telah dibahas oleh Saphir dan Worf () yang mengemukakan bahwa bahasa menentukan perilaku budaya manusia. Bertolak dari teori tersebut, muncul pertanyaan, apakah benar budaya Indonesia budaya yang tidak beradab? Saya pikir tidak. Di mata dunia, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang adil dan beradab. Tentu ketidaksantunan berbahasa di media sosial yang marak terjadi mencoreng keadaban Indonesia yang mencintai persatuan dan kesatuan.

Bahasa; Perekat Relasi Sosial

            Manusia sejatinya tidak hanya sebagai makluk yang berakal budi (homo rationale), makhluk ekonomi (homo economicus), tetapi juga sebagai makhluk sosial (homo social). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa membangun dan menjalin relasi dengan sesamanya. Usaha ini dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai mediator. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Sudaryanto (2009) bahwa bahasa memiliki fungsi interpersonal dimana digunakan untuk membangun dan menjalin relasi sosial. Manusia tidak hidup sendiri di sebuah pulau yang menutup kemungkinan baginya untuk berinteraksi dengan sesamanya. No man is no islan, demikian petuah berbahasa Inggris menasehati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun