Gelap. Hanya cahaya monitor yang menyinari wajah Satrio. Jemarinya menari di atas papan ketik, mengetikkan kode-kode rumit yang hanya ia pahami. Di layar, ribuan kata dalam Bahasa Tegal Kuno bermunculan dan menghilang dalam hitungan detik. Ia telah menghabiskan lima tahun hidupnya untuk proyek rahasia ini, menciptakan algoritma enkripsi berbasis Bahasa Tegal Kuno.
"Nyong kudu nemokna kuncine", gumamnya dalam bahasa Tegal, sembari mengusap peluh yang mengalir di dahinya.
Semua berawal dari wasiat kakeknya, seorang mantan mata-mata di era perang kemerdekaan. Dalam sepucuk surat yang diterimanya lima tahun lalu, tertulis "Rahasia terbesar bangsa ini tersimpan dalam lidah para leluhur. Temukan kuncinya dalam Bahasa Tegal Kuno, sebelum mereka menemukannya."
Awalnya Satrio menganggap itu hanya igauan seorang kakek di penghujung hidupnya. Namun, setelah kematian kakeknya yang misterius, ditemukan tewas di perpustakaan pribadinya dengan kondisi ruangan yang porak-poranda, Satrio mulai menyelidiki. Ia menemukan sesuatu yang mengejutkan. Selama perang kemerdekaan, para pejuang menggunakan Bahasa Tegal Kuno yang telah dimodifikasi sebagai kode rahasia. Sistem enkripsi ini tak pernah bisa dipecahkan oleh para penjajah dan di suatu tempat dalam sistem itu, tersimpan sebuah rahasia yang mampu mengguncang pondasi negara.
"Mas Satrio", sebuah suara mengejutkannya. Kinanti, rekan kerjanya di lab penelitian bahasa, berdiri di ambang pintu.Â
"Sudah larut. Ayo pulang."
Satrio menggeleng. "Sedikit lagi, Kin. Ada yang aneh dengan pola kata ini."
Kinanti mendekat, matanya menyipit menatap layar. Sebagai ahli linguistik, ia memang sering membantu Satrio menganalisis struktur Bahasa Tegal Kuno. Namun belakangan, ia merasa ada yang tidak beres dengan obsesi Satrio.
"Mas", kata Kinanti ragu, "sebenarnya apa yang Mas cari?"
Â
Belum sempat Satrio menjawab, alarm keamanan gedung berbunyi nyaring. Lampu-lampu darurat menyala, menerangi koridor dengan cahaya merah menyala.
"Cepat, kita harus pergi!" Satrio menyambar memori flash dari komputernya dan menarik tangan Kinanti. Mereka berlari menyusuri koridor gelap. Di belakang mereka, terdengar derap langkah berat dan suara tembakan. Peluru melesat, menghantam dinding di samping kepala Satrio.
"Siapa mereka?" teriak Kinanti panik.
Â
"Ora usah takon!" jawab Satrio dalam bahasa Tegal, menarik Kinanti ke dalam lift barang. Di dalam lift yang turun perlahan, Satrio mengeluarkan sebuah buku usang dari tasnya.