Pak Rahman terdiam. Air matanya menetes saat memandang kunci ruang musik di telapak tangannya. Ia teringat masa kecilnya, saat ia harus berhenti bermain piano karena tak mampu membayar les. Namun ia tak pernah berhenti bermimpi.
"Tapi... bagaimana kalian tahu?" tanyanya terbata.
Bu Siti tersenyum. "Setiap sore, setelah menyapu halaman, Bapak selalu berhenti di depan ruang musik. Kami melihat jari Bapak bergerak di udara, seolah memainkan piano yang tak terlihat."
Ruang musik itu kini dipenuhi tawa dan nyanyian. Pak Rahman duduk di depan piano barunya, memainkan nada-nada pertama untuk murid-muridnya. Botol biru itu masih berdiri di sana, menjadi saksi bagaimana sebuah mimpi yang terkubur selama 25 tahun akhirnya menemukan jalannya untuk terwujud.
Ia akhirnya paham, terkadang teka-teki terbesar dalam hidup bukanlah tentang menemukan jawaban, tapi tentang menemukan keberanian untuk tetap bermimpi. Dan terkadang, seperti surat dalam botol biru, takdir memiliki caranya sendiri untuk mengantarkan kita pada impian yang hampir kita lupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H