Pagi itu, seperti biasa, Pak Rahman menyapu halaman sekolah yang dipenuhi dedaunan kering. Dua puluh lima tahun ia mengabdi sebagai penjaga sekolah dasar di pinggiran kota. Namun, hari ini berbeda. Di antara tumpukan daun, ia menemukan sebuah botol biru tua yang masih tersegel rapat.
"Untuk yang menemukan botol ini," begitu pesan yang tertulis dalam gulungan kertas di dalamnya. "Tolong antarkan ke ruang musik lantai dua, letakkan di atas piano hitam tepat pukul 10 pagi hari ini."
Pak Rahman mengamati botol itu dengan seksama. Ada sesuatu yang berkilau di dalamnya, seperti logam kecil yang memantulkan cahaya matahari. Ia melirik jam tangannya, pukul 09.15.
"Aneh," gumamnya. "Ruang musik sudah dikunci sejak dua bulan lalu karena bocor saat hujan."
Rasa penasaran membawanya ke kantor kepala sekolah untuk meminjam kunci ruang musik. Bu Siti, yang baru menjabat tiga bulan, tampak heran dengan permintaan itu.
"Ruang musik? Tapi hari ini..." Bu Siti tidak melanjutkan kalimatnya. Ia justru tersenyum dan menyerahkan kunci dengan tangan gemetar.
Pak Rahman menaiki tangga menuju lantai dua. Lorong itu sunyi, hanya derit kayu yang menemani langkahnya. Pintu ruang musik berdebu, jelas menandakan lama tak tersentuh. Dengan hati-hati, ia membuka pintu itu. Di dalam, pemandangan yang ia temukan membuatnya tertegun. Piano hitam itu masih berdiri kokoh, tapi ruangan itu bersih. Tidak ada debu, tidak ada jejak kerusakan. Bahkan sinar matahari menembus jendela yang berkilau, menciptakan mozaik cahaya di lantai kayu.
Tepat pukul 10.00, Pak Rahman meletakkan botol biru itu di atas piano. Saat itulah ia mendengar derap langkah kaki, puluhan langkah kaki menaiki tangga. Suara tawa riang anak-anak memenuhi lorong.
"Selamat ulang tahun, Pak Rahman!"
Murid-murid berbaris masuk, dipimpin Bu Siti dan guru-guru lain. Mereka membawa kue dan sebuah amplop besar. Di belakang mereka, piano tua itu telah lenyap, berganti dengan piano digital baru. Botol biru itu kini berdiri di atasnya, dengan isi yang akhirnya terlihat jelas, sebuah kunci dari logam mengkilap.
"Kami tahu Bapak selalu bermimpi mengajarkan musik pada anak-anak," kata Bu Siti dengan mata berkaca-kaca. "Mulai hari ini, ruang musik akan hidup lagi. Dan Bapak akan menjadi guru musik pertama kami."
Pak Rahman terdiam. Air matanya menetes saat memandang kunci ruang musik di telapak tangannya. Ia teringat masa kecilnya, saat ia harus berhenti bermain piano karena tak mampu membayar les. Namun ia tak pernah berhenti bermimpi.
"Tapi... bagaimana kalian tahu?" tanyanya terbata.
Bu Siti tersenyum. "Setiap sore, setelah menyapu halaman, Bapak selalu berhenti di depan ruang musik. Kami melihat jari Bapak bergerak di udara, seolah memainkan piano yang tak terlihat."
Ruang musik itu kini dipenuhi tawa dan nyanyian. Pak Rahman duduk di depan piano barunya, memainkan nada-nada pertama untuk murid-muridnya. Botol biru itu masih berdiri di sana, menjadi saksi bagaimana sebuah mimpi yang terkubur selama 25 tahun akhirnya menemukan jalannya untuk terwujud.
Ia akhirnya paham, terkadang teka-teki terbesar dalam hidup bukanlah tentang menemukan jawaban, tapi tentang menemukan keberanian untuk tetap bermimpi. Dan terkadang, seperti surat dalam botol biru, takdir memiliki caranya sendiri untuk mengantarkan kita pada impian yang hampir kita lupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H