Mohon tunggu...
Jessyka Malau
Jessyka Malau Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Penikmat musik dan kopi hitam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pentingnya Pemulihan Trauma pada Anak Pasca Bencana

24 Agustus 2018   17:04 Diperbarui: 30 Agustus 2018   22:48 7277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendongeng untuk anak di pos pengungsian. Foto : Instagram @bkknnofficial

Dalam 3 minggu terakhir, kita menyaksikan berita tentang gempa yang terjadi di Lombok. Dilansir dari laman Kompas.com, Data Penanganan Darurat Bencana mencatat hingga Kamis (23/8/2018) gempa bumi di Lombok mengakibatkan 555 korban meninggal dunia dan 390.529 jiwa penduduk mengungsi. Dampak dari bencana alam ini menjadi duka dan kegelisahan bukan hanya bagi saudara-saudara kita di Lombok, namun juga bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Bencana alam, salah satunya gempa bumi merupakan suatu kejadian yang tiba-tiba, tak terduga, tak dapat dicegah dan mengakibatkan kehilangan dan kerusakan. 

Kehilangan anggota keluarga yang dicintai menyebabkan rasa duka dan sedih yang mendalam bagi yang ditinggalkan. Begitu juga dengan kerusakan pada harta benda seperti rumah, sekolah, kendaraan, sawah dan lainnya menyebabkan terganggunya aktivitas terkait pekerjaan, sekolah, dan ibadah. Terlebih lagi, apabila bencana tersebut berlangsung terus menerus dan belum pasti kapan akan berakhir. 

Korban bencana alam pun mengalami masa transisi. Semula, hidup aman dan nyaman di rumah masing-masing bersama keluarga terkasih, akhirnya harus mengungsi di tempat yang disediakan demi menjaga keamanan dan keberlangsungan hidup. 

Kehilangan, kerusakan, perpindahan merupakan pengalaman tiba-tiba yang dapat menimbulkan syok, tekanan, kecemasan, rasa bersalah bahkan trauma. Bila berkelanjutan dan tidak ditangani,  dapat berujung pada gangguan psikologis seperti kecemasan, depresi dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Salah satu bukti dampak psikologis dari bencana alam dialami oleh para pengungsi pasca erupsi Gunung Merapi, Yogyakarta di tahun 2010. Ada 312 orang dari total 531 pengungsi yang mengalami gangguan kecemasan; yaitu 129 laki-laki dan 183 perempuan yang mana 75 orang di bawah usia 19 tahun, 202 orang di usia 20-59 tahun, dan 35 orang di usia 60-70 tahun yang mana. Sebanyak 80 % mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani mengalami kecemasan ringan 20 %, kecemasan sedang 65 % dan 15 % mengalami kecemasan berat (Dinas Kesehatan Sleman, 2010)

Menurut American Psychological Association, ada beberapa reaksi dan respon yang umumnya dialami saat menghadapi bencana antara lain:

  1. Merasa cemas, gugup, lebih sensitif dari pada biasanya
  2. Terjadinya perubahan pada pola pikir dan perilaku. Biasanya, korban mengingat kembali peristiwa yang telah terjadi meskipun ia tidak menginginkannya (re-experiencing). Hal ini mempengaruhi kondisi fisik (hyper arousal) seperti berkeringat dingin, meningkatnya detak jantung, sulit berkonsentrasi sehingga pola tidur dan makan pun menjadi terganggu.
  3. Sensitif terhadap lingkungan sekitar. Suara ribut, getaran atau stimulus lainnya yang memicu ingatan akan bencana menimbulkan kecemasan serta rasa takut akan terulangnya bencana 
  4. Munculnya gejala fisik yang berkaitan dengan stres (psikosomatis) seperti sakit kepala, sakit dada, insomnia dan lainnya.

Mengapa pemulihan trauma itu penting?

Kompas Regional
Kompas Regional
Bantuan berupa materi untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan serta penanganan medis adalah hal yang penting yang dapat mendukung keberlangsungan hidup para korban bencana. Namun, satu hal yang tak kalah penting adalah bantuan penanganan psikologis berupa pemulihan trauma.

Pemulihan trauma pasca bencana akan mencegah munculnya gangguan psikologis yang lebih berat. Selain itu, pemberian pelayanan psikologis yang intensif dalam level individu, kelompok atau komunitas bagi korban bencana dapat meningkatkan ketahanan (resiliensi) sehingga kelak mereka menjadi lebih tangguh dan siap menghadapi permasalahan yang ada.

Pemulihan trauma bukanlah hal yang instan. Kegiatan ini membutuhkan waktu yang realistis dan sumber daya manusia (fasilitator seperti psikolog, pekerja kreatif, pekerja sosial, relawan, dll) yang profesional dan memadai. 

Saat satu atau dua penanganan psikologis telah dilakukan, bukan berarti semuanya telah berakhir. Proses monitoring dan evaluasi juga masih perlu dikerjakan agar program pemulihan trauma dapat mencapai hasil yang signifikan, yaitu terwujudnya kesejahteraan psikologis pada korban bencana.

Pemulihan trauma berarti mengatasi rasa bersalah, kecemasan, ketakutan dan menyediakan mekanisme coping (penyelesaian) terhadap pikiran dan perasaan negatif yang muncul. 

Pihak yang paling rentan mengalami trauma akibat bencana adalah anak dan remaja. Hal ini disebabkan karena mereka belum memiliki kapasitas yang memadai dalam mengontrol emosi dan menyelesaikan masalah secara adaptif. 

Setelah bencana terjadi, anak harus pindah dari situasi dan rutinitas keseharian yang membuatnya aman dan nyaman. Ada yang kehilangan orang tua atau saudara. Ada yang pindah dari rumah dan tinggal sementara waktu di tempat pengungsian. Malah, ada yang tidak bisa bersekolah, bermain dan mendapatkan istirahat yang cukup. Oleh karena itu, diperlukan metode dan media yang tepat untuk membantu anak mengekspresikan rasa takut, cemas, pesimis dan menumbuhkan harapan serta optimisme mengenai masa yang akan datang. 

Apa yang dapat dilakukan untuk anak?

Florence Halstead, seorang peneliti Geografi Manusia (Antropogeografi) dari Universitas Hull, Inggris menyarankan cara memfasilitasi anak dalam pemulihan trauma pasca bencana bagi orang tua, guru, pekerja sosial, atau pihak yang terlibat langsung dalam penanganan bencana. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain :

1. Mendorong anak untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya

Anak yang menjadi korban bencana alam seringkali menyampaikan bahwa keluarga dan sekolah tidak mendengarkan kekuatiran atau masalah yang mereka alami. Mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak ingin membebani keluarga dan guru dengan kekuatiran yang mereka rasakan. Meskipun anak tampak baik-baik saja dari luar, namun belum tentu demikian dengan perasaan yang di dalam diri anak.

Orang tua, guru atau pekerja sosial perlu peka dalam melihat kondisi dan kebutuhan anak. Yakinkan anak bahwa perasaan adalah hal yang penting untuk disampaikan. Berikan kesempatan bagi anak untuk berbicara mengenai perasaan dan pengalaman yang mereka alami terkait dengan bencana. Rancanglah aktivitas semenarik mungkin yang dapat membuat anak merasa nyaman dan terbuka untuk bercerita, misalnya dengan menggambar, menulis, bercerita dengan boneka.

Anak-anak yang sedang menulis di posko pengungsian, Lombok. Foto : Instagram @bkkbnofficial
Anak-anak yang sedang menulis di posko pengungsian, Lombok. Foto : Instagram @bkkbnofficial

2. Menjadi role model yang positif dan optimis bagi anak

Orang tua, guru atau pekerja sosial dan pihak lainnya perlu menyadari bahwa anak memandang orang dewasa sebagai role model (teladan) dalam menghadapi kesulitan yang terjadi pasca bencana.

Jangan menyampaikan hal-hal yang dapat membuat anak merasa takut. Sebaliknya, tunjukkan sikap dan perilaku yang optimis bahwa hari yang akan datang akan lebih baik. Yakinkan pada anak untuk mengetahui bahwa mereka akan tetap aman dengan bantuan dan perlindungan yang tersedia.

3. Mengedukasi anak mengenai bencana

Fakta mengenai bencana dapat menjadi suatu pengetahuan dan wawasan baru bagi anak. Sampaikanlah dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan dapat dipahami oleh anak. Misalnya, penyebab terjadinya gempa atau cara melindungi diri dan orang lain bila gempa terjadi lagi. Hal ini akan membantu anak untuk merasa lebih berdaya dan percaya diri untuk mengatasi masalah-masalah akibat bencana yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. 

4. Menciptakan rutinitas sederhana bagi anak

Meminta anak untuk melakukan rutinitas, apalagi saat tinggal di tempat pengungsian merupakan hal yang agak sulit. Namun, hal ini dapat dimulai dengan memberlakukan rutinitas sehari-hari seperti jam makan dan jam tidur. Selain itu, berikan waktu pada anak untuk tetap berinteraksi dan bermain dengan teman-temannya. Dengan menjalankan rutinitas dapat membantu mengurangi rasa cemas atau kebosanan  yang mungkin dirasakan oleh anak karena kehilangan mainan yang dimiliki atau karena ditutupnya sekolah. 

Saya tertarik dengan salah satu postingan di akun Instagram @bkkbnofficial  tentang pemulihan trauma yang dilakukan untuk anak-anak di Lombok. 

Mendongeng untuk anak di pos pengungsian. Foto : Instagram @bkknnofficial
Mendongeng untuk anak di pos pengungsian. Foto : Instagram @bkknnofficial
"BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana) bekerjasama dengan HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) dan Kerajaan Dongeng Indonesia mengadakan trauma healing bagi para korban gempa di lokasi pengungsian. Dongeng sangat efektif untuk membantu mengurangi kesedihan atau bahkan penderitaan korban bencana. Pemulihan kondisi psikologis anak-anak korban bencana sangat penting untuk segera dilakukan, agar mereka bisa segera pulih. Di kegiatan ini tampak anak-anak sangat menikmati dan senang. Mereka menuliskan banyak harapan, agar kondisi segera membaik. Ayo kita saling membantu dan mendoakan saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah. Semoga kondisi segera normal.

Ulasan di atas menunjukkan bahwa pemerintah bekerjasama dengan mitra dalam memberikan pelayanan psikologis bagi anak-anak korban bencana alam dengan metode yang menarik; mendongeng, menggambar dan menuliskan harapan dan impian anak (storyboard). Kegiatan ini kelihatan sederhana, namun mampu memfasilitasi anak untuk menyuarakan perasaan dan harapannya. Seorang anak bahkan tampak optimis saat menuliskan, "Harapan saya ingin rumah kembali". 

Harapan anak korban gempa Lombok. Foto : Instagram @bkkbnofficial
Harapan anak korban gempa Lombok. Foto : Instagram @bkkbnofficial
Saya meyakini bahwa selalu ada harapan dan kekuatan di balik kesulitan dan penderitaan. Berbagai masalah dalam hidup dapat diatasi bila ada harapan, dukungan dan kasih sayang. Saat ini, saudara-saudara kita di Lombok sedang mengalami kesulitan akibat gempa yang melanda.

Apakah yang dapat kita lakukan bagi mereka? Maukah kita peduli dan berbagi?

***

Referensi :

[1] American Psychological Association

[2] How to help children recover from the trauma of disaster

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun