A. Pendahuluan
Kita banyak menemukan fenomena dimana perempuan selalu dinomorduakan setelah laki-laki di lingkungan masyarakat. Perempuan dianggap kurang capable dalam menjalani kehidupan luar selain pekerjaan domestik. Pandangan ini datang karena laki-laki dianggap lebih rasional daripada perempuan. Perempuan lebih dominan pada sikap afektif dan emosional dianggap sebagai kekurangan dalam melakukan pekerjaan publik karena akan kurang maksimal dan melibatkan perasaan daripada pemikirannya. Perbedaan gender dapat dilihat dari fenomena tersebut. Patriarki hingga saat ini masih eksis keberadaannya mengikuti pandangan jika laki-laki dianggap lebih kuat, lebih perkasa, lebih pantas mengerjakan hal-hal penting di luar sana, misalnya dalam hal pekerjaan yang bersifat pubik. Banyak pihak yang masih menganggap bahwa tugas dan kewajiban perempuan itu hanya dirumah, dapur, dan mengurus anak. Padahal, dibalik itu kodrat perempuan bukan hanya sekedar mengurus rumah, kodrat itu berbeda.
Kodrat adalah hal yang berhubungan dengan keadaan biologis atau jenis kelamin. Namun, masih banyak sekali masyarakat yang beranggapan bahwa memasak, menyapu, mengepel itu tugas perempuan dan jika perempuan tidak dapat mengerjakan pekerjaan rumah tersebut akan disebut gagal menjadi seorang perempuan seutuhnya. Gender yang melekat pada diri manusia dapat direkonstruksi oleh lingkungan sosialnya, sifat yang ada pada diri perempuan dikena sebagai makhluk lemah lembut dan emosional dan laki-laki yang dianggap maskulin dan rasional merupakan hasil dari konstruksi sosial dan bukan kodrat (Susanto, 2015). Masih dapat kita temui laki-laki yang memiliki sifat lemah lembut dan penyayang dan perempuan yang memiliki sifat kuat dan rasional, sifat manusia yang dasarnya dapat dikonstruksi oleh lingkungan sosialnya akan terbentuk secara natural sesuai dimana dia tumbuh dan melakukan kebiasaan bersama lingkungan sekitanya.
Pemahaman tentang kodrat dan gender sebagai hasil konstruksi sosial yang masih salah diartikan menyebabkan salahnya persepsi masyarakat terhadap kedua hal itu. Ketidaksetaraan gender masih menjadi suatu case yang perlu diperbaiki agar dapat mewujudkan suatu kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Masih banyak perempuan yang dianggap cukup berada di rumah dan harus bisa memasak agar dianggap menjadi perempuan idaman, dan laki-laki dituntut untuk selalu maskulin dan berpenampilan kekar agar dianggap sebagai laki-laki sempurna yang harus diluruskan bahwa hal ini bukan menjadi suatu kodrat yang hanya dimiliki oleh salah satu pihak saja (laki-laki atau perempuan) karena yang dinamakan kodrat adalah jika perempuan dapat mengalami haid, melahirkan, dan menyusui serta laki-laki memiliki kodrat misalnya mengalami pubertas dan jakun.
Di Indonesia sendiri sering terjadi stigmatisasi terhadap perempuan bahkan sejak zaman dahulu kala. Pada zaman dahulu banyak perempuan tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan oleh orang tuanya karena dianggap sebagai pekerjaan yang sia-sia. Menurut orang zaman dahulu perempuan hanya akan menjadi seorang ibu dan seorang istri sehingga tidak perlu mendapatkan pendidikan ataupun sekolah tinggi. Hingga munculnya tokoh Kartini sebagai seseorang yang mewakili seluruh perempuan di Indonesia atas ketidaksetaraan gender yang terjadi pada saat ini.
Walaupun emansipasi wanita sudah terjadi, saat ini masih banyak masyarakat yang memandang bahwa perempuan itu tetap berbeda dengan laki-laki. Nampaknya masih ada beberapa oknum yang menganggap perempuan itu lemah, penuh dengan perasaan, hanya bisa mengerjakan sesuatu yang ringan, dan tidak cocok untuk menjadi seorang ketua atau pemimpin. Di Indonesia sangat jarang ditemui seorang perempuan memiliki kedudukan penting dalam suatu masyarakat terlebih lagi dalam bidang politik dan pemerintahan. Biasanya seorang wanita hanya menduduki jabatan staf, sekretaris, atau bendahara. Jarang ditemui seorang perempuan menjabat sebagai kepala atau ketua umum. Dalam masyarakat juga masih tertanam anggapan bahwa seorang pemimpin harus laki-laki karena dianggap lebih memiliki image berwibawa, dan bijaksana,
Untuk sebuah gender antara satu sama lain masih bisa saling bertukar dan melengkapi tergantung dimana individu itu melakukan interaksi di masyarakat sekitar sehingga akan terbentuk suatu sifat yang melekat pada lingkungannya. Sehingga masyarakat saat ini diharapkan dapat lebih memahami antara kodrat dan konsep gender di masyarakat agar perempuan tidak selalu dipojokkan dengan kata-kata tidak bisa memasak bukanlah seorang perempuan sejati, agar perempuan tidak diremehkan dalam pekerjaan publik karena dianggap lebih cocok bekerja di sektor domestik.
B. Pembahasan
- Perempuan, Ibu, dan Rumah Tangga
Peran perempuan seringkali hanya dikaitkan dengan rumah. Sisi lain dalam dirinya juga jarang diakui. Masih banyak stereotipe masyarakat tentang perempuan "Tidak usah sekolah tinggi-tinggi, toh nanti juga cuma ngurus rumah". Padahal, sejatinya menjadi ibu tidak semudah yang dikatakan oleh para patriarkis dan orang-orang di luar sana. Menjadi seorang ibu membutuhkan persiapan mental yang serta fisik yang sehat. Sampai sekarang, masih seperti menjadi tradisi bahwa seperti hanya ibu lah yang memiliki tugas dan kewajiban dalam mebgurus anak dan rumah. Masih banyak yang berpikir bahwa ibu seharusnya full bekerja di rumah dan mengurus anak. Perempuan sudah seharusnya memiliki kebebasan untuk menuntut pendidikan setinggi-tingginya karena jika perempuan sudah menjadi ibu, perempuan lah yang akan menjadi "sekolah" pertama anak-anaknya. Ibu yang memiliki wawasan luas tentu sangat dibutuhkan mengingat di zaman semakin maju maka kebutuhan anak pasti akan berbeda, dalam hal pengetahuan dan juga eksplor anak di dunia luar. Dari sisi patriarkis, mereka lebih mendahulukan laki-laki dalam hal pendidikan karena kelak dianggap sebagai kepala rumah tangga dan harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Padahal, perempuan juga seharusnya bisa melakukan pekerjaan publik jika mereka juga mendapatkan kesempatan dalam aspek pendidikan. Berkaitan perempuan sebagai ibu, yang mungkin banyak yang masih "meng-hanyakan" sebagai seorang ibu, mereka mungkin hanya berpikir bahwa ibu sebatas mengurus anak, mengurus rumah, mengurus suami. Namun, pada realitanya, menjadi seorang ibu juga butuh perjuangan dan pengorbanan dimana banyak para ibu mengalami sindrom baby blue setelah melahirkan. Mengurus rumah juga bukan hal yang mudah sebuah tanggung jawab besar menjadi ibu untuk perempuan dengan segala tuntutan rumah yang harus bisa dikerjakan.
Fenomena seperti ini aepertinya sudah muncul sejak masa orde baru dimana terdapat konsep Women in Development atau Perempuan dalam Pembangunan dimana didalamnya terdapat narasi-narasi tentang subordinasi perempuan seperti perempuan harus menjadi istri, perempuan menanggung kesejahteraan keluarga, perempuan menanggung kesehatan anak, selain itu perempuan wajib mendukung pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh suami dapat diistilahkan perempuan sebagai penanggung jawab utama dalam keluarga. Bahkan sampai sekarang perempuan dianggap sebagai second citizenship atau menjadi citizen kedua yang mana perempuan bisa memiliki kesempatan dalam pekerjaan publik (seperti ketua PKK) jika berdiri di belakang sosok suami yang memiliki pekerjaan yang linier atau memiliki jabatan. Perempuan mendapat "panggung" dalam menjalankan proses pembangunan bukan didasari dengan kemampuannya sendiri melainkan karena menjadi bagian dari laki-laki atau suaminya tersebut.
- Patriarki dan Kebudayaan
Patriarki adalah sistem dimana menempatkan laki-laki pada posisi terpenting dan istri serta anak diposisikan sesuai kepentingan (the patriarch) (Nurmila, 2015). Patriarki memiliki dua bentuk, yaitu patriarki domestik dan patriarki publik. Dimana patriari domestik mengutamakan pekerjaan di rumah tangga yang sudah menjadi narasi perempuan, dimana pekerjaan rumah tangga menjadi kodrat yang dikerjakan oleh kaum perempuan, hal ini dapat menjadi salah satu bentuk ketidaksetaraan pada perempuan. Lalu patriarki publik yang dikaitkan dengan struktur masyarakat, yaitu relasi patriarki rumah tangga, pekerjaab, kehidupan berbangsa dan bernegara, kekerasan oleh laki-laki, relasi seksualitas, dan patriarki dalam lembaga budaya (Walby dalam Omara, 2004). Budaya patriarki membuat peredaan dalam perilaku, status, dan kekuasaan pada laki-laki di masyarakat sehingga menjadi hierarki gender. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal mula perbedaan gender. Perbedaann biologis yang ada pada keduanya dianggap oleh masyarakat sebagai bagian yang tidak setara, contohnya perempuan tidak mempunyai otot dianggap lemah dan diletakkan di posisi kedua dibanding laki-laki yang memiliki fisik kuat (Rokhimah, 2014).
Budaya patriarki yang mungkin sudah menjadi akar turun-temurun dari generasi sebelumnya membuat eksistensinya melekat pada masyarakat. Konstruksi sosial yang ada di masyarakat dalam budaya patriarki telah menyebabkan berbagai ketidakadilan gender, khususnya pada kaum perempuan. Di tengah-tengah masyarakat pun sisi patriarki masih sering terlihat, berakar dari kebudayaan masa lalu. Sejak zaman dahulu, pemimpin pada kerajaan diidentikkan dengan kaum laki-laki dan kaum perempuan dinarasikan sebagai selir dan pembantu dalam kerajaan. Ada kalanya pendekar perempuan hadir dalam sejarah kebudayaan tetapi itu pun tidak banyak dan banyak di dalamnya cerita tentag bagaimana para laki-laki memandang remeh pada kapabilitas yang dimiliki oleh perempuan.
Dengan perbedaan yang ada antara laki-laki dan perempuan, perempuan seringkali tersubordinasi dan termarginalisasi sehingga tak jarang pula mengalami ketidakadilan lain sebagai buntut dari permasalahan sebelumnnya, menurut (Rokhimah, 2014), beberapa ketidakadilan itu berupa:
a) Pelabelan negatif atau stereotipe pada perempuan, contohnya perempuan tidak bisa mengambil keputusan dan memiliki peran sebagai pencari nafkah tambahan, sedangkan laki-laki menjadi pencari nafkah utama
b) Kekerasan baik fisik maupun non fisik yang datang karena perempuan dianggap lemah sehingga dapat diperlakukan secara semena-mena, contohnya perilaku KDRT, pelecehan seksual, dan eksploitasi perempuan.
c) Subordinasi pada perempuan yang memperihatkan bahwa perempuan memiliki peran dalam domestik dan reproduksi sedangkan laki-laki pada publik dan reproduksi. Di lingkungan sosial masih banyak ditemui bahwa penghargaan yang didapat antara pemegang sektor domestik dan reproduksi serta publik dan reproduksi masih berbeda, masih cenderung pada peran laki-laki di bidang publik dan reproduksi, contohnya belum banyak perempuan yang ikut mengambil dan memutukan suatu kebijakan tertentu dan keterlibatan perempuan dalam bidang politik.
d) Beban ganda (double burden) atau beban pekerjaan suatu jenis kelamin lebih banyak daripada jenis kelamin lainnya. Perempuan seringkali diberi stigma bahwa reproduksi yang ada pada dirinya dianggap sebagai peran yang statis dan permanen. Contohnya, perempuan selain harus melayani suami, hamil, melahiran, sampai menyusui juga masih harus dibebankan tugas mengurus rumah dan kadang harus mencari nafkah yang tidak pula menghilangkan tugas-tugas yang ada di atas. Beban yang datang dari berbagai hal inilah yang disebut beban ganda pada "kodrat" yang dibangun oleh sistem masyarakat.
Karena adanya deskriminasi pada budaya patriarki perempuan harus patuh pada kodratnya yang telah ditentukan oleh masyarakat. Karena adanya deskrimiinasi ini perempuan harus menerima stereotype yang mana perempuan itu lemah, emosional, dan irasional sehingga kedudukannya selalu dianggap tidak terlalu penting bahkan dianggap tidak sejajajar dengan laki-laki. Sehingga perempuan diasumsikan harus selalu menggantungkan dirinyadan hidupnya pada laki-laki.
Selain itu, adanya sikap patriarki di kalangan masyarakat ternyata juga menjadi salah satu penyebab munculnya seksisme pada perempuan. Seksisme merupakan penggunaan frasa yang menjurus pada peremehan, salah satunya gender. Hal ini dapat kita lihat dari pelabelan masyarakat kepada perempuan tentang expired date atau penyudutan kepada perempuan dalam menikah. Masyarakat cenderung lebih mempermasalahkan umur perempuan daripada laki-laki, perempuan dianggap "untuk apa, sih melajang lama-lama, nunggu apa, mending nikah saja daripada jadi perawan tua", padahal disamping menjadi istri dan mengurus rumah, masyarakat harus bisa mendukung perempuan untuk mencapai cita-cita yang mereka inginkan.
- Feminisme
Feminisme muncul sebagai gerakan, ide, kesadaran dalam masyarakat yang bertujuan unutk penyuarakan persamaan hak politik bagi kaum perempuan pada akhir abad 18 dan mulai berkembang pesat pada abad 20. Para feminis menyerukan perhatian pada peran hukum tentang bertahtanya dominasi patriarkis. Kesetaraan gender diangkat oleh gerakan feminisme bertujuan agar laki-laki dan perempuan dapat bekerja sama, perempuan tidak bergantung pada laki-laki, kaum perempuan dapat melakukan berbagai kegiatan dan pekerjaaan yang saat ini mungkin dipandang merupakan pekerjaan laki-laki sehingga laki-laki juga dapat terbantu. Dengan berbagai latar belakang masalah dibalik bias gender di luar sana, feminisme memiliki beberapa paham dengan gerakan di dalamnya yang dapat digunakan sebagai pemecahan terkait bias gender yang sesuai dengan masalah yang ada, seperti (1) feminisme liberal yang menitikberatkan pada ketidaksetaraan pada perempuan berakar rasionalitas dimana perempuan dianggap kurang rasional, lebih menggunakan perasaan dibanding laki-laki. Gerakan aksi ini adalah memberi akses yang luas pada perempuan untuk mengenyam bangku pendidikan. (2) feminisme radikal yang berasumsi bahwa subordinasi yang dialami perempuan berasal dari adanya sistem patriarki dimana laki-laki memiliki akses atau previlege, seperti pada aspek ekonomi yang lebih besar daripada perempuan. Agenda aksi yang dilakukan oleh paham radikal adalah berusaha membongkar struktur patriarki dengan melibatkan peran perempuan dalam kehidupan sosial politik di masyarakat. (3) feminisme marxis berasumsi bahwa penindasan serta marginalisasi yang dialami perempuan berakar dari eksploitasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki dalam hal kelas dalam cara produksi. Aksi yang dilakukan oleh aliran ini adalah mendorong perempuan agar memiliki penghasiln sekecil apapun agar tidak terus bergantung di bawah penghasilan laki-laki. (4) feminisme sosialis yang berasumsi bahwa bahwa penindasan yang dialami peempuan tidak hanya pada sisi ekonomi tetapi juga dalam hal adanya sistem patriarki, seolah-olah perempuan tidak memiliki kesadaran kelas walaupun sudah memiliki penghasilan tetapi masih tersubordinasi dan menjadi warga kelas dua (second citizenship). Agenda aksi yang dilakukan oleh paham ini adalah dengan cara membantu meningkatkan kesadaran kelas pada kaum perempuan dengan meningkatkan kualitas serta kuantitas dalam keterlibatan perempuan dalam berpolitik.
Dengan berbagai macam ragam paham atau aliran yang muncul dimasyarakat dalam menanggapi ketidakadilan gender pada perempuan, kita sebagai masyarakat hendaknya lebih baik dapat menganalisis termasuk aliran manakah fenomena mengenai gender pada perempuan yang ada di sekitar kita agar dapat menggunakan serta mengaplikasikan agenda aksi yang tepat. Serta juga dapat meningkatkan tujuan kesetaraan gender pada laki-laki dan juga perempuan.
Selain feminisme sebagai dorongan kesetaraan gender bagi perempuan, gerakan seperti women support women menjadi topik hangat pada masanya, dengan tagar #WomenSupprotingWomen para perempuan saling menyemangati perempuan lain dan mensyukuri diri sebagai seorang wanita. Dilansir dari Kompas.com hal ini diikuti para perempuan dengan cara mengunggah foto monokrom dengan memberi kalimat-kalimat pendukung atas pencapaian mereka dan juga sebagai ucapan terima kasih kepada sahabat atau teman wanita. Selain sebagai ajang mensyukuri atas pencapaian yang telah dicapai tagar #WomenSupprotingWomen juga dipakai untuk memberi dukungan pada sesama wanita lain (Wirawan, 2020). Menurut saya, kegiatan seperti ini dapat mempererat sesama perempuan dengan saling memberi semangat mengingat di luar sana masih ada kasus-kasus kekerasan pada wanita. Selain itu, kegiatan ini juga bisa menjadi dorongan agar lebih kuat dalam menjalani kehidupan di tengah ekspetasi masyarakat sekitar yang diberikan kepada kaum perempuan. Kegiatan campaign ini walaupun dilakukan di media sosial menurut saya sangat bermanfaat untuk saling menjaga dan memberi support mengingat fenomena patriarki ini tidak hanya terjadi dinegara-negara berkembang saja, bahkan di negara maju yang masyarakatnya kita anggap sudah lebih modern masih meninggikan derajat laki-laki di atas segalanya (patriarki).
Selain itu, sebenarnya di tengah masyarakat masih ada pihak-pihak yang menentang munculnya feminisme ini karena merasa bahwa laki-laki lah yang paling pantas atas sesuatu dan menjadi yang pertama. Banyak kasus bunuh diri bahkan sesama perempuan karena ia menyerukan aksi feminisme, salah satunya yaitu selebriti Korea Selatan, Sulli yang sangat memiliki pemikiran maju terhadap isu-isu feminisme hingga politik dimana memang Negeri Gingseng itu memang masih menjunjung tinggi budaya patriarki. Dalam aksinya mendukung kesetaraan gender, salah satunya dengan secara blak-blakan berkomentar dan menyerukan bahwa perempuan belum sepenuhnya, secara bebas dapat mengekspresikan diri dengan leluasa tanpa adanya risiko dari masyarakat sekitar, terlebih yang pro patriarkis. Selain itu ia juga menjadi bulan-bulanan masyarakat karena menyerukan aksi No Bra Day yang diadakan untuk meningkatkan kesadaran kaum perempuan terhadap kanker payudara dan juga bra sebagai sebuah simbol kekuasaan dari patriarkis. Namun, dalam usahanya untuk menyuarakan kesetaraan gender di tengah-tengah masyarakat patriarkis menyebabkan Sulli tertekan atas hate comments serta tekanan dari lingkungan sekitarnya berakhir membuat depresi dan memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
- Perempuan dan Politik
Akhir-akhir ini mulai banyak perempuan yang terjun kedalam dunia politik. Adanya perkembangan zaman yang semakin maju mampu menciptakan posisi perempuan turut berpartisipasi dalam ruang publik. Mulai dari lingkungan pedesaan yaitu pemilihan lurah hingga lingkungan perkotaan seperti gubernur, walikota, atau anggota legislatif. Walaupun perempuan diberikan kemudahan dalam mencalonkan diri tetapi mereka harus bersaing lagi dengan laki-laki yang sejatinya sejak awal memang sudah diharapkan oleh masyarakat menjadi pemimpin mereka. Rendahnya kesadaran masyarakat akan kesetaraan gender membuat perempuan semakin sulit untuk menunjukkan dirinya pada publik. Perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap atau pemanis dalam dunia politik. Seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik pada bab II mengenai pembentukan partai politik pasal 2 ayat 2 bahwa pendirian dan pembentukan partai politik harus menyertakan 30% untuk keterwakilan perempuan. Maka dari itu maksud dari perempuan sebuah pelengkap yaitu disertakannya perempuan dalam partai politik  hanya untuk memenuhi syarat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang undang. Stigmatisasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kepemimpinan seorang perempuan merupakan sebuah konflik semu yaitu konflik yang sebenarnya ada tetapi tidak disadari oleh masyarakat luas. Sebagai contoh, di suatu pemilihan lurah terdapat kandidat yang berjenis kelamin perempuan kemudian ia tidak memenangkan pemilihan tersebut. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya kepercayaan masyarakat kepada kandidat perempuan tersebut untuk memimpin masyarakat. Dalam diri masyarakat masih terdapat pikiran kalau perempuan tidak dapat menjalankan tanggungjawab sebaik laki-laki dan masih berkembang pemikiran kalau perempuan itu hanya bisa disuruh bukan menyuruh.
Selain itu, perempuan sangat jarang untuk disosialisasikan dalam dunia politik sehingga akses kaum perempuan juga terbatas. Di zaman yang semakin maju ini beriringan dengan terbukanya ruang publik bagi perempuan pada kenyataanya belum berjalan dengan maksimal. Oleh karena itu, diperlukan adanya penataan kelembagaan pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat sipil. Pemerintah khususnya pihak advokasi harus bisa menjamin ruang politik yang cukup bagi perempuan serta mendukung kemenangan perempuan dalam pemilihan legislatif tanpa memandang status orang tersebut karena pada hakikatnya semua masyarakat dari segala lapisan berhak mencalonkan diri dan memenangkan pemilihan umum.
Hal ini menunjukkan apabila tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur, maka kemungkinan perempuan hanya mendapat kesempatan kecil dapat berkecimpung dalam partai politik. Langkah awalnya saja perempuan sudah dipersulit lalu bagaimana mereka dapat aktif dalam dunia perpolitikan. Selain itu, kandidat perempuan juga terkadang dibuat seolah-olah ada tetapi tidak banyak massa yang mendukungnya sehingga tidak mendapatkan kemenangan. Hal tersebut seringkali dimaksudkan untuk memperlihatkan adanya kesetaraan gender di suatu masyarakat. Terkadang juga terdapat partai poltik yang mengajukan perempuan menjadi wakilnya tetapi mereka yang dipilih adalah yang sudah memiliki nama di masyarakat seperti keluarga pejabat atau seorang artis. Sangat jarang ditemui perempuan dari kalangan biasa menjadi seorang pemimpin. Keterlibatan keluarga pejabat, konglomerat, dan seorang artis sangat diperlukan dalam dunia politik karena erat kaitannya dengan politik uang. Tidak ada sebuah partai yang menang tanpa mengeluarkan uang dan mempunyai popularitas.
C. KesimpulanÂ
Sejak dahulu kala hingga sekarang perempuan masih saja dikaitkan dengan hal-hal yang berbau pekerjaan seorang ibu dan seorang istri yaitu mengurus anak, mengurus rumah, dan mengurus suami. Pada hakikatnya perempuan pun memiliki potensi untuk menjadi seorang pemimpin. Yang mereka perlukan adalah dukungan orang lain untuk menambah rasa percaya diri mereka dalam melangkah. Budaya patriarki yang muncul di tengah-tengah masyarakat menjadi salah satu penyebab dominasi laki-laki atas perempuan, marginalisasi dan subordinasi menjadi masalah bagi kauum perempuan. Paham masyarakat tentang kodrat dan gender yang masih keliru membuat perempuan mendapat banyak tekanan dari berbagai sudut. Tuntutan pekerjaan rumah, kasur, dapur, dan sumur serta kurang terbukanya ruang untuk perempuan berekspresi atas dirinya menjadi tekanan tersendiri bagi kehidupannya. Perempuan sebagai pihak nomor dua tidak mendapatkan akses yang sama seperti laki-laki, misal dalam pendidikan, berpendapat, pekerjaan publik. Begitu juga dalam ranah politik sangat jarang ada partai politik yang mengajukan perempuan sebagai kandidat karena jika itu terjadi maka partai mereka akan mendapatkan sedikit pendukung. Perempuan difokuskan oleh konstruksi masyarakat sebagai ibu rumah tangga yang harus bisa memasak dan mengurus rumah. Kurangnya dorongan dari masyarakat bahkan orang terdekat menjadi faktor kepercayaan diri perempuan. Dalam hal sektor publik yang seharusnya dapat dikerjakan baik perempuan maupun laki-laki, dalam kenyataannya lebih mengutamakan laki-laki sebagai pengisi kursi utama sehingga dari fenomena yang ada membuat rasa percaya diri dan optimisme perempuan menjadi berkurang karena menganggap dirinya kurang capable. Atas banyaknya perlakukan tidak setara pada perempuan maka munculah kaum-kaum feminis yang menyerukan hak-hak dan kebebasan pada perempuan. Selain itu, juga muncul beberapa gerakan atau campaign tentang isu-isu perempuan dan kesetaraan gender, salah satunya tagar #WomenSupportingWomen.
D. Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. (2014). Politasi Gender dan Hak-Hak Perempuan. Jurnal Studi Gender. Vol 7 (2). 277-290. Diakses pada laman https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Palastren/article/view/1016/928
Widyananda, Rakha Fahreza. (2020). Diakses pada laman Stigma adalah Ciri Negatif yang Diakibatkan Pengaruh Lingkungan, Simak Penjelasannya | merdeka.com
Omara, A. (2004). Perempuan, Budaya Patriarki, dan Representasi. Vol 46. 148-165. Diakses pada laman https://www.semanticscholar.org/paper/Perempuan%2C-Budaya-Patriarki-Dan-Representasi-Omara/53a8f673aaffe096932ddd048374a1dd3d6f6a60
Rokhimah. (2014). Patriarkhisme dan Ketidakadilan Gender. Jurnal Muwazah. Vol 6 (1). 132-145. Diakses pada laman https://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/440/392
Susanto, N. H. (2015). Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya Patriarki. Jurnal Muwazah. Vol 7 (2). 120-130. Diakses pada laman https://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/517/680
Umagapi, J. L. (2020). Tantangan dan Peluang Women's Representation In The 2019 Parlement Election. Vol 25 (1). 19-34. Diakses pada laman https://dprexternal3.dpr.go.id/index.php/kajian/article/download/1886/894
Wirawan, M.K. (2020). Kompas.com. Diakses pada laman https://www.kompas.com/global/read/2020/07/29/133229570/tantangan-dengan-tagar-women-supporting-women-marak-apa-artinya?page=all#:~:
Indra. (2018). Kepemimpinan Berdasarkan Grnder: Efektivitas dan Tantangan. Diakses pada  laman https://repofeb.undip.ac.id/1683/1/16.%20S%20-%20Fulltext%20PDF%20Bookmarks%20-%20121010114140183.pdf
Jessica Noviandriani, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta Program Studi Pendidikan SosiologiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H