Secara tradisi dan teologis, Kekristenan adalah salah satu agama yang menentang keras homoseksualitas. Bukan hanya menentang, tetapi Kekristenan pada umumnya juga menggolongkan setiap orang yang terlibat dalam homoseksualitas sebagai orang-orang berdosa. Setidaknya di dalam Alkitab ada tujuh rujukan mengenai homoseksualitas yang telah menjadi dasar dan pegangan orang Kristen untuk menentang homoseksualitas, antara lain Kisah Sodom dan Gomora dalam Kejadian 19, tentang laki-laki yang tidur dengan laki-laki di dalam Imamat 18:22 dan Imamat 20:13, tentang persetubuhan yang tak wajar dalam Roma 1:26-27, mengenai orang-orang cabul yang tidak akan mendapat bagian di Kerajaan Sorga dalam 1 Kor. 6:9, pandangan negatif Paulus terhadap orang-orang homoseksual dalam I Timotius 1:3-10, dan Yudas 1:7 yang memperkuat bahwa orang-orang Sodom dan Gomora dihukum dalam api kekal.
Namun sejak LGBT menjadi viral karena disahkan oleh Undang-Undang di Amerika tahun 2015, rupanya banyak orang Kristen mulai mempertanyakan lagi pandangan tradisional Kristen terhadap LGBT. Beberapa penafsir Kristen bahkan mulai menulis artikel-artikel baru mengenai hal ini, dan terbukti ternyata tidak semua aliran Kristen sejalan dalam menanggapi isu ini. Sebut saja aliran Kristen liberal, mereka menentang keras tafsiran-tafsiran Kristen tradisional (khususnya Protestan atau Reformed) terhadap tujuh ayat sakti yang menentang LGBT di atas, dan mereka membuat tafsiran-tafsiran baru yang menurut mereka lebih tepat dan historis dibandingkan tafsiran orang Kristen fundamentalis selama ini. Mari kita lihat bagaimana para Kristen Liberal menafsirkan ketujuh ayat tersebut, dalam hal ini saya akan mengutip pandangan dari Stephen Suleeman (seorang aktivis pendukung LGBT dan sekaligus dosen di STT Jakarta) dan Ioanes Rakhmat (mantan pendeta GKI yang sekarang menggolongkan diri sebagai Scientist yang Agnostik, tetapi dalam menanggapi tujuh ayat ini, beliau masih menggunakan pendekatan liberal yang sangat rinci dan layak dibahas).
1. Kisah Sodom dan Gomora (Kej 19)
Menurut Stephen Suleeman, ayat-ayat di dalam Kejadian 19 sama sekali tidak merujuk kepada dosa homoseksual, yang membuat Sodom dan Gomora dihukum oleh Tuhan. Menurutnya, ketika warga Sodom dan Gomora ingin menggagahi dua orang pria (sebenarnya adalah malaikat) yang berkunjung ke rumah Lot, itu bukanlah karena mereka memiliki orientasi seksual sebagai gay, melainkan karena mereka ingin menunjukkan bahwa kedua orang itu tidak layak menjadi hakim atas bangsa itu, dengan jalan pemerkosaan massal. Menurut Ioanes Rakhmat, pemerkosaan massal semacam itu (antara laki-laki dengan laki-laki lewat anal seks) merupakan hal yang wajar di Timur Tengah saat itu sebagai lambang kemenangan atas musuh-musuh mereka. Lagipula, menurut Suleeman, kaum laki-laki yang datang mengepung rumah Lot saat itu juga bervariasi, ada yang muda dan tua, ini menunjukkan bahwa mereka heteroseksual (dapat menghasilkan keturunan).
Oke, katakanlah tafsiran mereka benar terhadap peristiwa ini, yaitu bahwa di Timur Tengah sudah bisa diadakan pemerkosaan massal untuk membuktikan kemenangan atas musuh. Tetapi yang menjadi pertanyaan saya, siapakah dua orang itu sehingga orang-orang Sodom dan Gomora ingin menunjukkan kekuasaan mereka atau kemenangan mereka atas dua orang ini? Ioanes Rakhmat beralasan orang-orang Sodom dan Gomora marah karena dua orang itu adalah orang asing tetapi ingin menjadi hakim atas mereka (19:9). Tapi mari cermati lagi, siapakah yang dituduh oleh orang-orang Sodom dan Gomora hendak menjadi hakim atas mereka? Mari cermati ayat 9 dengan tepat:
Tetapi mereka (orang-orang Sodom dan Gomora) berkata: "Enyahlah!" Lagi kata mereka: "Orang ini datang ke sini sebagai orang asing dan dia mau menjadi hakim atas kita! Sekarang kami akan menganiaya engkau lebih dari pada kedua orang itu!" Lalu mereka mendesak orang itu, yaitu Lot, dengan keras, dan mereka mendekat untuk mendobrak pintu.
Jadi, siapakah yang dituduh mau menjadi hakim atas mereka? Ya, orang itu adalah Lot, yang memang merupakan orang asing di tanah Sodom dan Gomora! Sangat tidak beralasan mengapa dua orang itu, yang adalah tamu Lot, tiba-tiba dituduh menjadi hakim atas mereka dan dengan demikian harus dipermalukan dengan cara diperkosa secara massal. Kalau demikian, benar adanya tafsiran kita selama ini, bahwa memang orang-orang Sodom dan Gomora datang untuk menyetubuhi dua orang malaikat ini, bahkan Lot juga akan jadi korban mereka. Sodom dan Gomora, jelas merupakan kota yang cabul dengan hebatnya, bukan hanya secara hetero, melainkan juga secara homoseksual. Mereka bisa digolongkan sebagai orang-orang yang hanya memikirkan kesenangan seksual mereka sendiri, dengan cara apapun dan dengan siapapun. Itulah mengapa Tuhan harus menghukum mereka.
2. Larangan bersetubuh sesama jenis (Imamat 18:22 dan Imamat 20:13)
Im. 18:22 Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, r karena itu suatu kekejian.
Im. 20:13 Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.
Menurut Suleeman, ayat-ayat ini seluruhnya berbicara mengenai penyembahan berhala yang seringkali dilakukan pada jaman itu oleh bangsa-bangsa lain. Jadi, yang Allah larang bukanlah kegiatan tidur atau bersetubuh dengan sesama jenis itu sendiri, melainkan karena kegiatan itu juga dilakukan oleh bangsa-bangsa lain sebagai wujud kekafiran mereka.
Rakhmat mengatakan bahwa ayat-ayat ini harus dilihat dari konteks ayat-ayat sebelumnya, yang menunjukkan dengan jelas bahwa kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penyembahan berhala pada saat itu dilarang, termasuk kegiatan pelacuran bakti (termasuk pelacuran sesama jenis). Sama dengan Suleeman, ia berpendapat bahwa bukanlah homoseksualitas yang ditentang Allah, melainkan tujuan kegiatan itu sebagai penyembahan berhala.
Mari kita bahas pendapat ini berdasarkan konteks ayat-ayat ini. Dalam pasal 18 (yang sangat mirip juga dengan pasal 20), ayat 6-20 berbicara mengenai larangan incest, lalu ayat 21 berbicara mengenai penyembahan terhadap Dewa Molokh, dan baru ayat 22-23 berbicara mengenai persetubuhan tidak lazim (homoseksual dan dengan binatang). Benarkah konteks seluruh pasal ini adalah mengenai penyembahan berhala seperti yang dikatakan Suleeman dan Rakhmat? Dewa Molokh adalah sesembahan bangsa Amon, Asyur, Kanaan dan bangsa-bangsa lain di sekitaran bangsa Israel. Untuk menyembah Dewa Molokh, biasanya seseorang harus mengorbahkan anak-anak, entah itu anak mereka sendiri atau anak orang lain yang diculik untuk menjadi tumbal. Perbuatan ini adalah kejijikan bagi Tuhan. Tetapi tidak ada indikasi bahwa Dewa Molokh menganjurkan mereka juga untuk melakukan incest (ayat 6-20) atau bersetubuh dengan tidak wajar (ayat 22-23). Berarti jelas bahwa perintah Allah dalam ayat 6-20, ayat 21, ayat 22-23 adalah perintah yang berbeda, sama sekali tidak mengacu hanya pada penyembahan dewa Molokh atau berhala manapun. Melainkan jika kita membaca ayat 24-25, jelas Tuhan menggolongkan perbuatan-perbuatan itu sebagai perbuatan najis yang membuat mereka dihukum. Jadi ketiga perbuatan itu adalah perbuatan yang berbeda, dan ketiga-tiganya (incest, penyembahan berhala, homoseksualitas/penyimpangan lainnya) dibenci oleh Tuhan. Jelas pula bahwa apa yang menjadi fokus Tuhan di pasal ini adalah perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan bangsa lain yang merupakan kekejian di mata-Nya (18:3), dan tentu terlalu dangkal jika kita memahami perbuatan serta kebiasaan itu terbatas hanya dalam penyembahan berhala saja. Bangsa-bangsa itu juga punya kebiasaan-kebiasaan lain, khususnya percabulan, incest, dan persetubuhan tidak wajar.
Ah, tidak mau tau, pokoknya pasal itu berbicara mengenai penyembahan berhala! Oke, jika mereka tetap bersikukuh bahwa seluruh pasal ini memang berbicara mengenai penyembahan berhala, berarti mereka secara tidak sadar mengakui bahwa homoseksualitas adalah lambang penyembahan berhala yang merupakan kekejian di hadapan Tuhan. Mengapa seseorang harus mempertahankan sesuatu yang dibenci Tuhan, bahkan dianggap sebagai penyembahan berhala itu? Suleeman membela pandangannya dengan berkata bahwa kebanyakan perintah dalam PL tidak perlu lagi diikuti di jaman PB (seperti larangan makan babi, dsb), tetapi adakah PB menolak perintah Allah untuk tidak menyembah berhala? Perintah untuk tidak menyembah berhala adalah perintah yang inti dari keseluruhan ajaran Kristen, terbukti ketika Yesus mengatakan hal ini:
Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu , dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama (Mat. 22:37-38).
3. Persetubuhan tak wajar (Roma 1:26-27)
“Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, lelaki dengan lelaki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.”
Suleeman menjelaskan bahwa ayat 26 merupakan akibat (terdapat kata “karena itu”) dari penyembahan berhala (kesesatan di ayat 27). Jadi karena penyembahan berhala lah orang-orang tersebut dihukum untuk menjadi homoseksual. Lagipula, banyak orang-orang homoseksual yang serius dalam keimanannya dan sama sekali tidak menyembah berhala. Tidak berbeda, Rakhmat juga menilai hubungan-hubungan seksual semacam itu terjadi sebagai akibat dari mereka bergabung dalam komunitas pagan.
Tidak dapat disangkali, memang Roma 1:18-32 berbicara mengenai orang-orang yang menyembah berhala. Hal ini tampak di ayat 23 dan 25, di mana mereka terang-terangan menyembah ilah lain. Jadi apakah persetubuhan yang tidak wajar itu merupakan hasil dari, atau hukuman Tuhan atas penyembahan berhala, atau justru Tuhan menghukum mereka karena penyembahan berhala dan persetubuhan yang tidak wajar? Jawabannya ada di ayat 26 sendiri. Di situ frase yang tertulis adalah: “Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar. Demikian juga suami-suami…”
Kata “karena itu” menggunakan kata Yunani “dia” (Genetif), yang merupakan jawaban dari mengapa Allah menghukum mereka, sedangkan kata “sebab” menggunakan kata “gar,” yang bisa berarti “karena, sebab, bahkan.” Jadi jelas penghukuman datang kepada mereka karena dua hal, yaitu penyembahan berhala dan juga persetubuhan yang tidak wajar. Rakhmat bersikeras bahwa persetubuhan yang tidak wajar atau homoseksual tersebut bukan terjadi karena penyimpangan orientasi seksual, tetapi semata-mata hanya karena persetubuhan semacam itu adalah syarat dari penyembahan berhala saat itu. Secara logis, apakah mungkin seseorang melakukan persetubuhan hanya karena kewajiban dan tidak melibatkan kesenangan pribadi? Sekalipun pada saat itu Paulus belum mengenal orientasi seksual yang menyimpang, tapi praktek-praktek semacam itu sudah sangat lazim sejak jaman Perjanjian Lama. Dan praktek itu pada kenyataannya tetap dilanjutkan sampai pada jaman Paulus, bukan hanya karena itu merupakan ritual penyembahan berhala, tetapi karena manusia merasakan kenikmatan di dalam melakukan hal tersebut, yang merupakan kejijikan di hadapan Tuhan.
Hukuman balasan setimpal yang akan mereka terima adalah di dalam diri mereka sendiri. Dalam hal ini Paulus berbicara mengenai penyakit-penyakit kelamin mengerikan yang akan menimpa mereka yang melakukan praktek persetubuhan yang tidak wajar ini. Hukuman ini adalah akibat dari kesesatan mereka, yaitu karena mereka menyembah berhala dan juga melakukan praktek homoseksual. Jelas praktek homoseksual termasuk perbuatan yang dihukum di sini. Lalu bagaimana dengan kata “kesesatan,” bukankah itu harusnya merujuk pada penyembahan berhala, bukan homoseksualitas? Kata kesesatan berasal dari kata “plane.” Memang kata ini seringkali dihubungkan dengan pengajaran sesat secara doktrinal, tetapi tidak berarti kata ini tidak mencakup kesesatan secara moral. Kata “plane” juga dapat melambangkan suatu perbuatan yang berdosa, perbuatan yang tidak sesuai hukum, seperti digunakan juga di dalam Yakobus 5:20 dan 2 Pet. 2:18 untuk melambangkan perbuatan dosa. Jadi membatasi kesesatan hanya dengan perbuatan menyembah berhala adalah penyempitan makna yang mengada-ada.
4. Pandangan Paulus mengenai arsenokoites dan malakoi (1 Kor. 6:9 dan I Tim. 1:10)
Menurut Suleeman dan Rakhmat, ada kesalahan tafsir yang selama ini dilakukan oleh Kristen konservatif pada kedua ayat ini, khususnya di dalam kata arsenokoites, yang diterjemahkan sebagai pemburit (atau homoseksual) dan malakoi yang diterjemahkan sebagai banci. Menurut mereka, arsenokoites tidak dapat disamakan dengan homoseksual. Jika memang itu mengacu pada homoseksual, seharusnya Paulus menggunakan kata “paidarastes,” yaitu sebuah kata yang mencerminkan hubungan sejenis pada saat itu. Menurut mereka, kata arsenokoites berhubungan dengan pelacuran bakti yang saat itu sedang marak terjadi di kuil-kuil penyembahan berhala. Arsenokoites adalah para pelacur laki-laki yang menerima pelanggan wanita (heteroseksual) dan praktek ini sangat erat dengan penyembahan berhala. Kedua, kata malakoi juga tidak boleh diterjemahkan sebagai banci, walaupun memang ini mengisyaratkan seorang laki-laki yang lemah lembut. Menurut Rakhmat, laki-laki lembut ini melambangkan laki-laki muda atau anak lelaki yang dijadikan budak seks oleh pria-pria dewasa yang memiliki status sosial tinggi, yang sudah merupakan kebiasaan pada saat itu.
Kita akan membahas pandangan ini. Yang pertama adalah mengenai arsenokoites. Kata arsenokoites memang bukan sebuah kata yang populer pada saat itu. Ini adalah kata-kata Paulus yang unik, dengan cara menggabungkan antara “arseno” (laki-laki) dan “koites” (ranjang/hubungan suami-istri). Uniknya, kedua kata yang sama juga digunakan dalam Imamat 18:22 dalam versi Yunaninya (Septuaginta) untuk menggambarkan homoseksualitas. Imamat 18:22 berbunyi: “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, r karena itu suatu kekejian.” Dalam Bahasa Yunani berbunyi, “kai meta arsenos ou koimethesei koiten gunaikos bdelugma gar estin.” Di sini tampak ada dua kata yang bersanding, antara arsenos dan koiten untuk menggambarkan hubungan seks sejenis. Selain itu dua kata tersebut juga digunakan dalam Imamat 20:13, “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
Dengan memahami latar belakang Paulus sebagai seorang Yahudi tulen yang tidak asing dengan Perjanjian Lama, tidak sulit untuk menangkap maksud Paulus ketika ia menggunakan kata “arsenokoites” di dalam I Kor. 6:9 dan I Tim. 1:10.
Lalu bagaimana dengan malakoi sendiri? Apakah malakoi sebenarnya tidak berarti banci? Jika malakoi ini benar-benar berarti seorang anak laki-laki yang menjadi korban dari nafsu kedegilan para pria dewasa, tidak mungkin malakoi disandingkan dengan arsenokoites (homoseks), porno (orang-orang cabul), dan moichos (perzinahan) dalam I Kor. 6:9. Jelas di sini bahwa malakoi bermakna penyimpangan seksual dan merupakan dosa, sama seperti hal-hal yang disebutkan Paulus di ayat tersebut dan sebelumnya. Malakoi dapat digolongkan sebagai pria-pria yang memang berwatak lembut, tetapi bukan hanya itu, mereka juga memiliki penyimpangan seksual, sehingga mau disetubuhi oleh para arsenokoites.
5. Siksaan Api Kekal (Yudas 1:7)
"sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang."
Menurut Suleeman dan Rakhmat, kepuasan-kepuasan yang tidak wajar di Sodom dan Gomora bukanlah homoseksualitas, melainkan ketika mereka menginginkan untuk bersetubuh dengan dua malaikat di rumah Lot. Kepuasan yang tidak wajar ini dalam Bahasa aslinya adalah sarkon heteran, yang berarti mengingini tubuh yang “lain,” yang diartikan Rakhmat sebagai non-manusia atau malaikat. Lebih jauh lagi Suleeman mengatakan bahwa sarkon heteran mengacu pada tubuh-tubuh orang asing dan mengaplikasikan hal ini pada orang-orang Indonesia yang mencari kepuasan seksual dengan pelacur-pelacur dari luar negri, seperti Thailand dan Cina.
Penjelasan Rakhmat sangat tidak masuk akal, karena pada saat kejadian itu, orang-orang Sodom dan Gomora tidak mengetahui bahwa kedua laki-laki di rumah Lot adalah malaikat. Mereka hanya mengetahui bahwa ada dua pria asing dan mereka ingin menyetubuhi dua pria asing tersebut. Sarkon heteran tidak boleh diartikan sebagai mengingini bersetubuh dengan makhluk sejenis malaikat, tetapi adalah keinginan untuk bersetubuh dengan tidak wajar. Argumen Suleeman juga tidak dapat dibenarkan, karena seharusnya tidak ada yang aneh jika seseorang ingin menikah dan menikmati hubungan seksual dengan orang-orang asing atau orang-orang luar negri. Yang menjadi sorotan Alkitab bukan dengan siapa hubungan seks dilakukan, tetapi dengan cara bagaimana dan apakah dilakukan dengan wajar? Jelas sekali bahwa Paulus mengacu bukan pada tubuh orang asing, tetapi perbuatan bersetubuh yang tidak wajar, yang dalam hal ini adalah perilaku homoseksual.
Bagaimanapun, usaha kaum Kristen Liberal untuk membela kaum LGBT secara doktrin Kristen memang layak untuk diapresiasi. Mereka bukan orang-orang Kristen yang sembarangan memberikan argumen, sekalipun di dalam artikel ini saya menyangkali argumen-argumen mereka sebagai kebenaran. Argumen-argumen yang berbeda dari Kristen Liberal juga menandakan bahwa Kekristenan itu luas dan beragam, juga dengan berbagai penafsiran.
Kembali kepada persoalan LGBT, ternyata Kekristenan secara mayoritas masih tetap dapat meyakini argumennya menggunakan tujuh ayat “sakti” di atas. Bagaimanapun, tidak ada satupun doktrin dalam Kekristenan dapat digunakan untuk membenarkan homoseksual. Tindakan homoseksual sendiri merupakan tindakan yang tidak wajar di jaman Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, sekalipun saat ini kaum LGBT berusaha melegalkan perbuatan mereka di mana-mana. Kekristenan tetap meyakini bahwa manusia diciptakan Imago Dei, dengan dua gender, yaitu laki-laki dan perempuan, serta Tuhan memberkati persatuan keduanya untuk menghasilkan keturunan-keturunan.
Tujuh Ayat Sakti VS Dua Ayat Emas
Sekarang saya akan masuk ke sisi praktis dari Alkitab untuk menghadapi kaum LGBT. Kita harus memahami bahwa LGBT bukan hanya sekedar masalah doktrinal yang menyebabkan perang doktrin di mana-mana. Masalah LGBT adalah masalah etika, yang tergolong praktis dan juga harus diselesaikan sepraktis mungkin.
Walaupun secara doctrinal kita memiliki tujuh ayat sakti yang telah terbukti “masih sakti” sampai saat ini, jangan lupa bahwa Yesus Kristus juga memberikan kita dua ayat emas di dalam Matius 22:37-39
Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Apapun masalahnya, yang terutama adalah kasih. Kasih akan membuat kita menemukan banyak hal yang menarik dalam menangani kaum LGBT. Kasih akan membuka mata dan telinga kita terhadap apa yang sebenarnya dialami oleh sebagian besar kaum LGBT. Kasih akan membuat kita mampu menerima kelemahan mereka, tentu tanpa mendukung hal itu. Kasih akan membuat kita mampu mengalahkan rasa takut kita terhadap mereka. Kasih akan membuat kita tulus mencoba menolong mereka. Kasih adalah jawabannya.
NB: Dilarang memplagiat kerja keras saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H