Mohon tunggu...
JESSICA IVANA
JESSICA IVANA Mohon Tunggu... Pengacara - Universitas Airlangga

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Gen Z di Tengah Perubahan Iklim: Frustasi atau Berinovasi?

21 Mei 2024   23:12 Diperbarui: 21 Mei 2024   23:53 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita memiliki satu misi: untuk melindungi dan menyerahkan planet ini kepada generasi berikutnya." - Francois Hollande

Maldives. Pulau indah yang disebut-sebut sebagai destinasi wisata surga ini menjadi tempat impian yang wajib dikunjungi setidaknya sekali seumur hidup. Menyaksikan pemandangan keindahan laut di malam hari sambil mendengar suara deburan ombak dan merasakan segarnya angin sepoi-sepoi, merupakan pengalaman yang didambakan oleh semua orang. 

Namun, siapa sangka, lantaran es di kutub perlahan meleleh akibat perubahan iklim, Maldives, sebagai negara kepulauan datar yang berhadapan langsung dengan lautan, diprediksikan akan tenggelam dalam 100 tahun mendatang. Tak hanya Maldives, namun Solomon, Tuvalu, Vanuatu, Kiribati, Fiji, dan Palau, merupakan negara kepulauan lain yang terancam hilang dari peradaban. 

Di belahan dunia lain, Indonesia, negara maritim di Asia Tenggara, dari 17.000-an pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, 115 diantaranya diperkirakan akan tenggelam.

Bukan hanya terancam tenggelam, akhir-akhir ini seluruh penjuru dunia seolah menjadi langganan datangnya musibah, bahkan tak sedikit diantaranya yang memakan korban jiwa. 

Mirisnya, sebagian bencana tersebut terjadi pada ruang lingkup hidrometeorologi yang dipengaruhi oleh cuaca sebagai akibat dari perubahan iklim (climate change). 

Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer Bumi, seperti suhu dan curah hujan, yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Bayangkan hidup di tengah-tengah cuaca ekstrem yang sulit ditebak, atau hidup berdampingan dengan kekeringan sehingga harus menahan dahaga sepanjang hari. 

Keadaan seperti itulah yang akan dialami manusia apabila mereka acuh tak acuh dalam menangani isu perubahan iklim. Generasi Z adalah generasi yang memegang nasib manusia di masa kini dan di masa yang akan mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu melakukan berbagai perubahan serta inovasi, untuk memerangi perubahan iklim yang sedang terjadi.

Manusia mulai menyadari masalah perubahan iklim pada akhir 1970-an. Peristiwa yang mengarah ke titik ini terjadi pada tahun 1800-1870, yaitu ketika orang-orang memperhatikan bahwa tingkat gas karbondioksida di atmosfer meningkat setelah revolusi industri. 

Permasalahan tersebut timbul akibat berbagai aktivitas manusia yang mencemari udara dan air, sehingga gas rumah kaca lepas ke atmosfer dan meningkatkan suhu udara, lalu memicu terjadinya pemanasan global di wilayah Arktik. 

Penggunaan bahan bakar fosil merupakan contoh aktivitas yang melepaskan bahan kimia berbahaya ke atmosfer, dan berakibat pada terbentuknya lubang di lapisan ozon (oleh CFC). 

Selain itu, polutan udara juga ikut andil dalam mempengaruhi jumlah sinar matahari yang masuk ke atmosfer. Deforestasi hutan merupakan penyebab utama lainnya. Kegiatan tersebut membalikkan efek penyerapan karbon dan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer.

Berdasarkan data beberapa tahun ke belakang, bukannya kian membaik, namun perubahan iklim di dunia menjadi isu yang semakin hari semakin serius. Perubahan iklim dapat diukur dalam bentuk statistik melalui Intergovernmental International Panel on Climate Change (IPCC) berdasarkan perubahan komponen utama iklim, yaitu temperatur, musim, kelembaban, dan angin. 

Informasi suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization (WMO), menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas, sedangkan tahun 2020 merupakan salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat (WMO, 2020). Sebagai pembanding bahwa isu ini masih berkelanjutan, di Indonesia, anomali suhu udara di Indonesia pada bulan Maret 2022 merupakan yang tertinggi ke-9 sepanjang periode pengamatan sejak 1981.

Menelisik beberapa tahun ke belakang, sebuah fenomena abnormal menjadi perhatian sebagian besar populasi global. Tepatnya pada tahun 2015, suhu setinggi 21,1C tercatat pada Hari Natal di Boston. 

Para ilmuwan telah memperkirakan bahwa pada tingkat saat ini, setidaknya 100 juta jiwa bisa mati pada tahun 2030 sebagai akibat dari perubahan iklim. 2030 sudah tak lama lagi dan bukan menjadi pertanyaan apakah manusia akan memerangi perubahan iklim atau tidak, karena demi bertahan hidup hal tersebut merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dalam untuk mengatasi ancaman yang meningkat pesat ini.

 Perubahan iklim menyebabkan banyak masalah lingkungan. Fenomena melelehnya es di kutub yang menyebabkan hewan dan tumbuhan Arktik mati, serta banjir akibat naiknya permukaan air, merupakan contoh dari masalah tersebut. Hujan besar yang terjadi akibat pemanasan global, menyebabkan cepatnya proses evaporasi (penguapan) dan terjadi hujan tropis penyebab banjir. 

Bencana ini amat mengerikan karena tidak dapat dikendalikan dan berujung pada tragedi, terutama di daerah pantai dan sekitarnya. Ditambah lagi dengan cuaca ekstrem yang belakangan ini sering terjadi, seperti musim kemarau berkepanjangan dan gelombang panas yang meningkatkan suhu udara. Angka kebakaran hutan juga meningkat dan menjadi sumber masalah bagi masyarakat.

Kondisi-kondisi ini menimbulkan permasalahan lingkungan yang berdampak pada kesehatan manusia. Polusi udara dan gas berbahaya yang berlayangan di udara dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit pernapasan, seperti penyakit paru obstruktif kronis, asma, dan menghambat pertumbuhan paru-paru anak. 

Kemudian, perubahan iklim menyebabkan curah hujan dan suhu udara naik yang berkaitan dengan peningkatan jumlah hewan pembawa penyakit, seperti nyamuk. Hewan ini menjadi perantara penyakit malaria, demam berdarah, dan kaki gajah (Kemenkes RI, 2021).

Perubahan iklim berdampak pula di bidang sosial ekonomi, khususnya keamanan pangan global karena menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan. Sebagai bukti nyata, bencana El Nino yang merupakan bencana terbesar di dunia akibat perubahan iklim yang terjadi karena meningkatnya suhu secara signifikan. 

Tanpa adanya upaya adaptasi, produksi tanaman utama, seperti gandum, beras, dan jagung, mengalami penurunan dan begitu pula dengan tingkat produktivitas. Hal tersebut berpengaruh pada lambatnya pertumbuhan ekonomi dan menjadikan usaha pengurangan angka kemiskinan semakin sulit karena tingkat produksi yang menurun, ditambah lagi dengan adanya kegiatan perpindahan manusia (migrasi) yang akan memperkeruh masalah.

Dampak-dampak dari perubahan iklim dapat berimplikasi pada tekanan psikologis yang umumnya terjadi akibat meningkatnya tingkat liputan media tentang perubahan iklim. 

Pada wawancara kepada Cornellius Matthew, 'Raka' atau Duta Sekolah SMA Santa Maria Surabaya 2021/202 yang berusia 17 tahun, ia mengaku, "Saya merasakan kecemasan yang amat besar mengenai perubahan iklim yang sedang terjadi di Bumi kita ini, terlebih karena sudah mendatangkan banyak bencana. Saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan kehidupan manusia di masa mendatang." 

Pernyataan tersebut didukung dengan hasil survei kepada orang-orang berusia 14 sampai 24 tahun di Amerika yang menunjukkan bahwa sekitar 83% responden khawatir tentang kesehatan planet ini dan mengatakan bahwa kualitas lingkungan  memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan (Next Gen, 2021).

Untuk menekan masalah-masalah akibat perubahan iklim, generasi muda dapat menjadi aktor yang berperan aktif dalam memberikan kontribusi positif dengan memunculkan ide dan mewujudkan inovasi terkait Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Generasi Z adalah generasi yang lahir dalam rentang tahun 1996 sampai dengan 2012, yang tumbuh bersamaan dengan kemajuan teknologi, sehingga Generasi Z terbiasa memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mempermudah kehidupan sehari-hari. 

Oleh karena itu, mereka memiliki ciri kreatif, inovatif, dan mempunyai kemampuan menyerap nilai dan gagasan baru. Selain itu, Generasi Z juga identik dengan orang-orang yang berani mengemukakan pendapat, memiliki kepedulian sosial yang tinggi, peduli dan tanggap akan kejadian di sekitarnya, serta suka berbagi pengetahuan. Kriteria generasi yang demikian akan sangat mudah untuk menggeliatkan agenda-agenda pengendalian perubahan iklim di dunia.

Sebuah survei pada tahun 2021 menemukan bahwa 76% responden menganggap isu perubahan iklim sebagai prioritas sosial terbesar Generasi Z, dan lebih dari sepertiga menyebutnya sebagai perhatian utama mereka. 

Sebagai wujud nyata dari kepeduliannya, sekitar satu dari tiga responden telah berpartisipasi dalam rapat umum dan menjadi sukarelawan untuk organisasi perubahan iklim selama setahun terakhir. 

Banyak sekali generasi muda yang tertarik dengan isu-isu pengendalian perubahan iklim dan transisi energi baru dan terbarukan. Generasi Z memiliki pandangan yang melampaui Generasi X dan Boomer. 

Dibuktikan dengan hasil survei, hanya 23% Generasi X dan 21% Boomer yang berpartisipasi dalam >1 kegiatan untuk membantu mengatasi perubahan iklim (Pew Research, 2021). Peluang ketertarikan Generasi Z dapat dikemas dengan berbagai inovasi menarik, sehingga dapat menyukseskan upaya mengendalikan bencana akibat perubahan iklim.

Verena Tirza Bandioko, seorang anggota Duta Lingkungan SMP Santa Maria Surabaya yang berusia 14 tahun, membagikan sedikit pengalamannya selama menjadi anggota Duta Lingkungan di SMP Santa Maria Surabaya. 

"Kalau di Duta Lingkungan, yang saya pahami lebih ke penyadaran dan perubahan. Setahu saya, pada tahun-tahun sebelumnya (berdasarkan cerita dari anggota 'DuLink' angkatan sebelumnya), 'DuLink' sempat mengadakan kampanye untuk berhenti menggunakan kemasan plastik dan tisu di lingkungan sekolah, yang disubstitusikan dengan penggunaan tempat pangan dan sapu tangan. Sebelum pandemi, kami juga pernah mengadakan lomba daur ulang dengan membuat pohon natal dari barang bekas. Sementara, pada tahun kemarin, secara daring, kami mengadakan pachamama symposium bertema Awakening the Dreamer: Changing the Dream yang garis besarnya berisi penyadaran tentang kondisi ibu Bumi kita dan ajakan untuk mulai berubah."

Cara yang diambil oleh para anggota Duta Lingkungan SMP Santa Maria Surabaya untuk memerangi perubahan iklim adalah dengan mengurangi penggunaan barang-barang yang dapat menjadi wastes. 

Pemusnahan beberapa jenis wastes menggunakan metode pembakaran dapat menimbulkan karbondioksida yang akan menipiskan lapisan atmosfer dan meningkatkan emisi karbon dalam bumi. Mereka juga kerap melakukan sosialisasi sebagai bentuk penyadaran terhadap teman-teman sebaya untuk berubah demi kelangsungan hidup bumi.

Selain hal-hal di atas, kontribusi yang dapat Generasi Z berikan lebih banyak untuk menanggulangi bencana akibat perubahan iklim ini adalah dengan pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Implementasi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) tidak akan sukses tanpa partisipasi aktif dari masyarakat, khususnya Generasi Z. Peran aktif masyarakat sangatlah penting dalam akselerasi EBT, terutama pada masa transisi dari energi fosil saat ini. Saat ini, mayoritas Generasi Z telah menjadi konsumen Energi Baru dan Terbarukan (EBT). 

Mereka rela mengeluarkan lebih banyak uang untuk membayar listrik yang bersumber dari energi bersih. Namun, peran yang dapat Generasi Z kontribusikan adalah lebih dari menjadi konsumen. Pertanyaannya, bagaimana cara agar Generasi Z mampu menjadi penggerak penyebarluasan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di kalangan masyarakat luas sebagai upaya memerangi perubahan iklim?

Pertama, mendorong terbentuknya komunitas EcoTok yang luas dan mendunia. EcoTok adalah kolektif pendidik dan aktivis lingkungan yang menggunakan TikTok sebagai platform untuk kebaikan. TikTok merupakan media sosial yang sangat populer dan penggunanya sebagian besar merupakan Generasi Z. Faktanya, 42% pengguna aplikasi ini berasal dari kalangan usia 18-24 tahun dan mereka dapat menghabiskan 89 menit dalam sehari untuk mengaksesnya (Music Business Worldwide, 2018). 

Perubahan iklim harus dilihat dengan apa adanya, yaitu sebagai sebuah krisis. EcoTok diharapkan dapat menjadi sarana untuk memberdayakan generasi muda, khususnya Generasi Z, untuk melakukan usaha peminimalisiran dampak dari perubahan iklim, dengan menyebarluaskan pengetahuan tentang sains, aktivisme, dan cara membuat perubahan dalam hidup mereka sendiri. Generasi Z diharapkan memiliki wawasan yang berkembang berkaitan dengan urgensi mengatasi isu perubahan iklim, salah satunya dengan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Kedua, Generasi Z dapat mendirikan dan mengelola bisnis startup HIMOS (Hydrology Motorcycle Stations). HIMOS menyediakan layanan penyewaan sepeda motor berbasis bahan bakar hidrogen. Prinsip dasarnya, kendaraan hidrogen ini digerakkan oleh motor listrik yang memperoleh tenaga listriknya dari listrik yang dihasilkan oleh hidrogen. Bukan asap knalpot, hasil dari proses ini hanyalah air, berbeda dengan sepeda motor biasa yang menghasilkan emisi CO2 yang dapat mengakibatkan pemanasan global. 

Penentuan stasiun-stasiun peletakan HIMOS adalah di dekat area perumahan, dengan stasiun pengisian bahan bakar hidrogen disampingnya. Dengan menscan barcode yang tertera pada loker kunci sepeda motor dan melengkapi data-data yang diperlukan, loker akan terbuka secara otomatis dan kunci dapat diambil untuk mengakses sepeda motor hidrogen.

Keunggulan sepeda motor hidrogen adalah mesinnya tidak berisik dan perawatan yang dibutuhkan minimal, serta pengisian bahan bakar cepat. Selain bermanfaat bagi lingkungan, HIMOS juga dapat mendongkrak ekonomi bangsa. Ekonomi kuat mampu membantu negara memproduksi energi baik, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. 

Berlandaskan passion kuat yang telah dimiliki Generasi Z dalam bidang energi dan lingkungan, mereka dapat secara aktif melakukan peran membangun usaha-usaha startup yang ramah lingkungan. 

Dengan aktifnya sebagian besar Generasi Z dalam upaya ini, maka lama kelamaan akan ikut mendorong orang-orang di sekitarnya untuk turut melakukan upaya yang sama dalam memerangi perubahan iklim.

Ketiga, introduksi aplikasi MYSOPA (My Solar Panel) yang merupakan aplikasi penyedia layanan instalasi dan perawatan atap panel surya. MYSOPA memberdayakan Generasi Z sebagai tenaga kerja, sehingga dapat mempermudah para remaja yang sedang mencari part-time job. 

Generasi Z dapat berkontribusi dalam mengurangi lepasnya emisi karbon ke atmosfer sebagai penyebab perubahan iklim, yang ditimbulkan oleh pembangkit listrik dengan bahan baku batubara. 

Selain itu, MYSOPA juga dapat membantu mengurangi angka pengangguran karena menyediakan lapangan pekerjaan, dan membantu meningkatkan angka tenaga kerja produktif. Hasilnya akan sampai berpengaruh pada peningkatan pendapatan negara. 

Selain itu, penggunaan panel surya dapat membebaskan masyarakat dari biaya listrik yang tinggi dan tidak menentu. Walaupun harga atap panel surya ini lebih mahal, namun jika dihitung dalam jangka waktu panjang akan jauh lebih hemat. Hal ini dikarenakan selama menggunakan atap panel surya, masyarakat tidak perlu membayar biaya listrik.

Generasi Z yang ingin meneken kontrak pekerjaan paruh waktu dapat memilih layanan "SoPa Hire". Pekerja melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti memasang atap panel surya, merawat atap panel surya, maupun menjadi customer service, dan akan diupah menggunakan e-Money. Sebelum turun ke lapangan, akan diadakan pelatihan khusus bagi para calon pekerja.

 "SoPa Installment" bagi para pelanggan yang ingin melakukan pemasangan atap panel surya. Layanan ini memberikan pelanggan kemudahan memasang panel surya di rumah karena MYSOPA juga menyediakan berbagai jenis atap panel surya. 

Setelah mengisi data diri, teknisi pemasang atap akan datang pada jadwal yang telah ditentukan. "SoPa Maintenance" adalah layanan yang berfungsi untuk menjaga dan merawat atap panel surya rumah pelanggan. 

Layanan ini mencakup pembersihan atap panel surya dan pemeriksaan fungsi komponen, yang bertujuan untuk memastikan kinerja optimal pada sistem panel surya. Permukaan panel surya perlu dibersihkan secara rutin agar tidak ada kotoran yang dapat menghambat kinerja sistemnya. "SoPa Box" menyediakan forum tanya jawab dan penyampaian keluhan.

Perubahan iklim bukanlah kejadian yang alami. Apa yang manusia lihat sekarang adalah hasil dari tingkah lakunya sendiri. Manusia telah mengeksploitasi Bumi terlalu banyak, dan efeknya sudah terpampang nyata di depan mata. Generasi Z adalah pemegang kunci untuk mengatasi isu ini. Generasi kritis, kreatif, dan inovatif, yang mampu membuka pintu-pintu baru dalam memerangi perubahan iklim. 

Tidak cukup hanya menyebarkan berita, tetapi Generasi Z harus menjadi leader bagi rekan-rekan dan generasi tua, dengan menerapkan solusi yang ada. Berawal dari menggunakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), akhirnya perwujudan dari mimpi untuk menyelamatkan Bumi dapat mulai tercapai. Suara-suara muda tidak hanya menyalakan sumbu untuk perubahan dalam gerakan iklim, namun mereka harus mampu menyalakan api yang berkobar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun