Mohon tunggu...
Jessica Gresina
Jessica Gresina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication Student at Atma Jaya Yogyakarta University

Please take a look at my article, Thank you.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Era Postmodern Jadi Sorotan, Popularitas Culture Jamming Semakin Tersohor

29 Maret 2021   12:07 Diperbarui: 29 Maret 2021   12:31 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: https://www.awwwards.com/sites/nike-cortez-45th-anniversary

Berkenalan lebih jauh dengan Nike

Kemunculan Nike pada tahun 1964 awalnya dikenal dengan Blue Ribbon Sports. Ide ini digagas oleh Philip Knight dan Bill Bowerman sebagai pelatih olahraga di Universitas. Tak langsung menjadi besar seperti sekarang, pada mulanya perusahaan hanya menjadi distributor brand sepatu buatan Jepang, karena harganya yang lebih murah sehingga dapat menyaingi pasar di Amerika. 

Perannya menjadi distributor akhirnya berakhir. Sepatu pertama yang dijual kepada publik adalah sepatu sepak bola bernama "Nike", yang dirilis pada musim panas 1971 (Staff, 2018). Dalam mitologi Yunnani sendiri, Nike berarti kemenangan. Pada tahun 1978, BRS,Inc resmi berganti nama menjadi Nike (Staff, 2018). Pada saat yang bersamaan juga Nike akhirnya terkenal dengan logo "centang" atau dikenal juga dengan "swoosh" dan slogan "Just Do It".

Perjalanan Nike dari awal hingga kini bukan lah hal yang mudah. Sudah banyak metode yang ditempuh untuk mencapai keberhasilan seperti saat ini. Cara promosi yang menarik serta unik membuat Nike semakin mendapatkan tempat khusus di mata masyarakat. Kehadiran Nike kini tidak hanya terfokus pada sepatu saja, tetapi juga pada perlengkapan olahraga seperti baju. Tak hanya itu, semakin meningkatnya respon pasar yang positif membuat Nike memperluas jangkauan produknya. Bukan hanya sebagai produk yang nyaman dipakai saat berolahraga, namun juga yang dapat disebut fashionable. 

Brand Nike yang semakin mendominasi pasar global, membuatnya mau tidak mau harus selalu berinovasi. Tak hanya dari segi kualitas produk, tetapi juga pada bagaimana Nike menjangkau lebih banyak konsumen. Hal tersebut kini bukan hanya mimpi bagi Nike, karena kini kita dapat melihatnya dari berbagi iklan dan campaign baik secara fisik maupun digital. Bahkan pada saat pandemi tercatat Nike berhasil pulih lebih cepat dibandingkan brand dengan produk sejenis. Tahun 2020, Nike berhasil mengalami peningkatan penjualan online sebanyak 82%, dan berpengaruh pada kenaikan saham sebesar 15% (Hasibuan, 2020).


Kesuksesan Nike tuai Culture Jamming

Di balik kesuksesan yang sedari dulu dinikmati oleh Nike sebagai salah satu brand produk olahraga paling terkenal di dunia, ternyata ada kisah pahit di baliknya. Pada tahun 1991 aktivis buruh Amerika Jeffrey Ballinger melaporkan bahwa perusahaan Nike memberikan upah rendah terhadap para pekerjanya, ditambah jam kerja yang cukup lama serta kondisi yang kurang baik bagi Kesehatan buruh (New Idea, 2018). Tak hanya itu, yang lebih menjadi ironi tidak jarang para buruh yang dipekerjakan adalah mereka yang masih berusia dibawah umur. Perusahaan besar seperti Nike lebih memilih mendirikan pabriknya di negara yang masih berkembang dengan alasan tenaga kerja masih cukup murah. Melihat dari capaian profit yang sangat besar setiap harinya, hal ini menimbulkan banyak protes dari publik, dimana menuntut Nike untuk lebih mensejahterakan para buruh. Lain individu, lain pula cara mereka menyuarakan aspirasi mereka, ada diantara mereka yang membuat berbagai petisi, hingga sebagian yang lain menunjukannya lewat culture jamming.

source: http://insanislupus.blogspot.com/2012/11/thankful-15-nike.html?m=1
source: http://insanislupus.blogspot.com/2012/11/thankful-15-nike.html?m=1

Gambar di atas hanya salah satu dari sekian banyak culture jamming yang ditujukan publik kepada Nike. Fokus yang hendak disampaikan dari gambar tersebut adalah tentang keprihatinan publik kepada para buruh terutama anak-anak yang diperkerjakan dengan upah minimum sedangkan dituntut bekerja dengan durasi yang cukup lama. Hal tersebut terlihat dari ekspresi anak tersebut yang sedih dan lelah karena harus bekerja, sedangkan di luar teman seusianya tengah bermain dengan riang. Publik sering menganggap hal ini sebagai salah satu bentuk eksploitasi pekerja dan anak. Seperti yang telah dibahas sebelumnya fenomena culture jamming terjadi didorong juga dengan pemikiran era postmodern. Karakteristiknya yang bebas dan menekankan pada aspek kebebasan membuat banyak orang kini lebih buka suara untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat mereka terhadap sebuah situasi atau budaya yang dianggap memiliki isu sosial.

 Berkembangnya perusahaan besar seperti Nike tentu cukup berpengaruh dalam sektor ekonomi. Namun jika ditinjau melalui kacamata sosial, jika dirasa ada hal yang bermasalah publik tidak segan untuk mengkritik. Kesuksesan dan reputasi Nike yang telah mampu membius publik dengan budaya kapitalisme akhirnya menjadikan eksploitasi dapat terjadi. Eksploitasi para pekerja khususnya anak-anak, pasti tidak lepas dari permintaan yang tinggi dari pasar seluruh dunia. Culture jamming ini menjadi bukti nyata dekonstruksi budaya, dengan harapan menciptakan kondisi yang lebih baik lagi bagi setiap insan. Tak hanya itu, culture jamming secara tidak langsung telah menjadi sarana bagi kita untuk menyadari salah satu dampak positif dari postmodernisme yaitu untuk membawa keberagaman bentuk pendapat terhadap segala isu sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun